Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tokoh Utama: Langit di Jendela

4 Juni 2021   15:51 Diperbarui: 4 Juni 2021   16:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Cocoparisienne via Pixabay

Kau tahu? Jendela adalah kawanku.
Sejuk angin membelai bagai beludru.
Burung-burung berkicau tanpa malu.
Sederhana, mampu menghangatkan hatiku.

Kau tahu? Aku sangat ingin langit mendengarku.
Sebab akal selalu tercabik oleh nostalgia yang tak perlu.
Berat bahu dan punggung terlupakan waktu.
Jadi, angin bebas di jendela sedikit meringankan napasku.
 
.......................................

Mendadak, suara-suara itu datang dalam gelap.
Jiwaku goyah, tubuhku memberat seakan sedang dilahap.
Menggigil, bergetar, seakan dipecut lalu diserap.
Jeritan terdengar, bilang, "Jangan lupa! Kau anak si bajingan biadap!"

.......................................

Aku tak mengerti.
Mereka bilang hidupku tak berarti.
Mereka bilang aku pantas mati.
Sebentar. Apa mereka Tuhan yang mampu mengatur hidup dan mati?

Atau mungkin, Aku memang pantas mati?
Ah. Sial!

Maksudku, jendela harusnya menghiburku.
Memori-memori itu terus menerorku, menghujamku.
Dunia seakan senang mengejek busuknya kisahku.
Hai langit! Kau memang tak ingin menghiburku?

Lalu, ketuk sepatu menggema.
Seseorang berdiri di hadapanku tampak berwibawa.
Ia gagah bak seorang pangeran berkuda.
Namun, kau tahu? Senyumnya tak mencapai mata.

Oh. Apa ia si ganda lain hari ini?
Yang wajah dan hatinya berlain diksi?
Yang carut marut lidahnya mampu membuat tuli?
Aneh. Daripada aku, bukankah parasit yang lebih baik dibasmi?

Si pangeran berdiri pongah di hadapanku.
Senyum kecutnya mungkin mampu mengusir abu.
Tatapannya bagai mantra pengutuk buruk hariku.
Lalu ia berkata, "Hai kawan... Kau mengingatku?"

Ku alihkan pandangku, menatap langit yang membisu.

Langit... Aku benar-benar membencimu.

[Saning bakar, Solok, 4 Juni 2021]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun