Mohon tunggu...
Sawitra Danda
Sawitra Danda Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Udayana

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepemimpinan Sejati di Era Krisis Kepemimpinan: Belajar Kepemimpinan dari Budaya Agung Bali Gunung

30 November 2022   15:04 Diperbarui: 30 November 2022   15:11 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Krisis Kepemimpinan di Indonesia

Saat ini Indonesia sedang mengalami masa krisis kepemimpinan. Kondisi ini disebabkan oleh 5 faktor yaitu rendahnya kesadaran beragama, kurangnya percaya diri, rendahnya kesadaran moral, proses pemilihan pemimpin yang kurang ketat, dan rendahnya penegakan hukum. Krisis kepemimpinan berdampak pada pecahnya persatuan Indonesia akibat konflik berdasarkan suku, agama, dan ras (Nugrahaeni, 2022). Selain itu, krisis kepemimpinan merupakan akar penyebab dari berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia yaitu keadilan, kemiskinan, korupsi yang tinggi, kualitas pendidikan yang rendah, kebijakan yang tidak memihak rakyat, hingga kurangnya persiapan dalam menghadapi pandemi covid – 19 (Lesiangi, 2022).

Krisis kepemimpinan juga merupakan masalah yang serius dalam kehidupan demokrasi. Terdapat “intervensi politik” yaitu terselipnya unsur politis ke dalam penyelenggaraan demokrasi, dimana kontrol partai politik menjadi lebih utama daripada kedaulatan ditangan rakyat. Terdapat pula kasus menteri Luhut Luhut B. Pandjaitan yang merangkap berbagai jabatan (Silalahi, 2020), politik ”balas budi” dengan bagi – bagi jabatan dalam tubuh pemerintahan, hingga terjadinya praktik politik dinasti. Memasuki tahun pemilu 2024, krisis kepemimpinan di Indonesia bukannya mereda malah semakin parah. Terdapat wacana penundaan pemilu, presiden 3 periode, sampai muncul calon – calon pemimpin yang tidak berkompeten dan hanya bermodalkan popularitas belaka.

Peran pemuda, terlebih mahasiswa sangat diperlukan untuk mengurangi bahkan menyelesaikan permasalahan krisis kepemimpinan yang belum juga menemukan solusi ini. Mahasiswa sebagai future leader Indonesia merupakan garda terdepan dalam mencari arah perubahan dan perbaikan kemajuan bangsa, menjaga keutuhan bangsa, dan menentukan nasib kemana negara Indonesia kedepan. Seorang mahasiswa patut memiliki kecerdasan, keberanian, kesetiaan, dan komitmen untuk mengembangkan kepemimpinan didalam dirinya. Kesempatan mahasiswa menjadi pemimpin harus dikorbankan oleh karena kepentingan oligarki dinasti politik yang haus akan kekuasaan. Menurut penelitian yang disampaikan dalam Lead The Fest 2021 yang digelar oleh platform Pemimpin.id, hanya 7% pemuda yang berkompeten menjadi pemimpin apalagi ditambah kekurangan 8 juta pemimpin di sektor privat (Sarasa, 2021).

Ulu Apad: Belajar Kepemimpinan dari Kearifan Lokal Bali Gunung 

Indonesia memiliki banyak kearifan lokal tentang kepemimpin adat yang kaya akan nilai filosofis, salah satunya adalah ulu apad dari masyarakat Bali Gunung[1]. Secara harfiah, kata ulu apad berasal dari bahasa Kawi yang berarti “menarik dari bawah, mendorong ke atas”. Dikutip dari buku Rumah Leluhur Kami: Kelebihdahuluan dan Dualisme dalam Masyarakat Bali Dataran Tinggi karya seorang antropolog Australia Thomas A. Reuter (2018), memberikan pengertian ulu apad sebagai seperangkat majelis tetua desa yang sangat penting, beranggotakan warga yang sudah menikah dan memiliki ayahan catu laba (hak dan kewajiban atas tanah Pura). Lebih lanjut ia menjelaskan jika ulu apad dijalankan dengan sistem rangking berdasarkan senioritas ‘kelebihdahuluan’ perkawinan.

Menurut Nugrahaningari (2017), ulu apad merupakan sistem politik lokal yang bersifat komunal dan berprinsip kolektif kolegial. Ulu apad berlaku secara umum diseluruh desa – desa Bali Gunung seperi kawasan Kintamani (Bangli), Tejakula (Buleleng), Petang (Badung), Payangan (Gianyar), hingga Kabupaten Karangasem (Desa Tenganan Pegringsingan), namun terdapat perbedaan pada struktur dan mekanismenya. Ada yang berjumlah  6 orang (pengenem), 8 orang (saing kutus), 12 orang (kanca roras), 16 orang (saing nembelas), 23 orang (krama telu likur), hingga 45 orang (kraman setiman). Sistem ulu apad memiliki pola rotasi kepemimpinan yang berbentuk zig-zag dengan posisi tertinggi diduduki oleh Jero Kubayan. Seseorang akan dinyatakan pensiun sebagai anggota ulu apad apabila semua keturunannya telah menikah atau ia meninggal dunia.

Terkait krisis kepemimpinan di Indonesia, ulu apad sangat cocok dijadikan sebagai sumber belajar karena didalamnya terdapat nilai filosofis tentang kepemimpinan sejati. Dalam menjadi pemimpin tertinggi ulu apad yakni Jero Kubayan, seseorang anggota ulu apad harus menunggu waktu yang lama bahkan hingga mencapai puluhan tahun. Diperlukan kesabaran dan ketabahan yang kuat sambil mencari pengalaman dan pelajaran sebelum menjadi seorang pemimpin. Setelah mencapai posisi Jero Kubayan, orang tersebut akan mendapatkan legitimasi sebagai pemimpin yang kedudukannya tidak dapat diganggu atau dikudeta oleh siapapun. Kepemimpinan seorang Jero Kubayan dalam sistem ulu apad sangat disucikan bahkan disakralkan sehingga segala keputusan yang dikeluarkannya dianggap bijaksana dan wajib dilaksanakan. Menjadi Jero Kubayan sangatlah tidak mudah karena terdapat berbagai pantangan dan harus mengutamakan pelayanan serta kepentingan masyarakat.

Sistem pemerintahan ulu apad menggunakan konsep rwabhineda (kiwa dan tengen), pandangan idiologis harmonisasi dari dua pertentangan sehingga mengakibatkan ada dua orang pemimpin (Noviantara, 2015). Meskipun terdapat dualisme kepemimpinan, nyatanya ulu apad tidak pernah terjadi permasalahan karena telah terdapat keanggotaan yang tertata serta pembagian tugas yang tegas dan jelas sehingga tidak mungkin terdapat bagi – bagi jabatan apalagi rangkap jabatan. Sistem ulu apad juga dianggap sebagai sistem politik yang ideal, karena dapat mencegah adanya praktik politik nepotisme atau politik kotor yang menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin (Maheni, Bandiyah, & Jayanthi, 2021). Bahkan ulu apad menggambarkan bagaimana praktik demokrasi partisipatif berlandaskan Pancasila dan implementasi good governance berbasis kearifan lokal dijalankan dengan baik.

 

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun