Mohon tunggu...
Save Master
Save Master Mohon Tunggu... -

Kanal tulisan-tulisan untuk perjuangan #SaveMaster.\r\nIngin tulisanmu dimasukkan disini? \r\n\r\nKirim ke tulisan.savemaster@gmail.com.\r\n\r\nCek @SaveMasterID

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa Kabar Sekolah Master? Apa Kabar Janji Sang Walikota?

8 Januari 2015   15:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Tanggal 15 Januari proses eksekusi Master. Main lah ke Master pada tanggal itu. Ajak teman-teman sebanyak-banyaknya.” Ajakan tersebut disebarkan oleh Budi Septian (Ketua OSIS SMA Master) yang juga langsung saya terima kabarnya dan saya konfirmasi ke dia. Kekhawatiran ini terjadi, pernyataan Pak Nur Mahmudi yang hanya sekedar lisan, tidak menjamin Sekolah Master akan baik-baik saja. Mendengar kabar ini, saya langsung forward ke grup LINE “SIAGA FISIP UI”. Kami pun mengagendakan agar bisa bertemu dengan Pak Nurrohim untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Singkat cerita, akhirnya kami mengagendakan pertemuan dengan Pak Nur Mahmudi pada hari Sabtu, 3 Januari 2014. Faris Muhammad Hanif (Kodel) yang merupakan Ketua BEM FISIP UI 2015 dan juga salah satu penggerak #SAVEMASTER, serta koordinator SIAGA FISIP UI 2013, juga diajak kesana. Ternyata, Kodel berinisiatif untuk mengajak Ketua-Ketua BEM se-UI 2015 yang tergabung di grup media sosial yang dimilikinya.

Akhirnya hari ini, Sabtu, 3 Januari 2014, kami bertemu dengan Pak Nurrohim di Sekolah Master. Tak disangka ternyata jumlahnya cukup banyak yang datang karena diikuti beberapa anak SIAGA FISIP UI dan beberapa Ketua-Ketua BEM di UI yang baru menjabat. Saat kami baru datang, Pak Nurrohim juga sedang menerima tamu dari Trans Media yang berencana akan melakukan liputan tentang perjuangan Pak Nurrohim dalam membuat Sekolah Master hingga sebesar sekarang.

Dalam pertemuan ini, Pak Nurrohim bercerita banyak soal rencana penggusuran jilid 2 yang akan dilakukan oleh Pemkot Depok dan developer. Bulan lalu, Pak Nurrohim memperkirakan tanggalnya 7 November 2014, kios-kios dari pedagang-pedagang di Terminal Depok sudah diratakan dengan tanah. Bahkan ceritanya begitu miris. Berdasarkan pemaparan Pak Nurrohim, Pemkot Depok memang sudah melayangkan surat kepada pedagang-pedagang. Di surat tersebut yang tertulis akan digusur adalah pedagang-pedagang kaki lima dan pedagang-pedagang di trotoar. Tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan akan menggusur kios-kios pedagang. Namun yang terjadi adalah kios-kios pedagang juga dihancurkan. Caranya tidak manusiawi ucap Pak Nurrohim karena dilakukan di tengah malam pukul 03.00 pagi kemudian dengan penjagaan yang begitu ketat hingga Jalan Margonda pun ditutup katanya. Seluruh listrik di lingkungan itu pun turut dipadamkan. Diceritakan beliau, ada seorang pedagang yang sudah membeli bahan jualannya di pasar, kemudian datang pagi-pagi ke Terminal Depok, tempat jualannya sehari-hari. Betapa terkejutnya dia ketika kios yang menjadi mata pencahariannya sudah rata dengan tanah. Dengan cara seperti ini, penggusuran memang bisa dilakukan dengan mudah karena beberapa pedagang justru tidak tahu kiosnya sedang digusur sehingga tidak ada perlawanan. Dialog dengan pemilik kios pun juga diragukan pernah dilakukan. Tidak seperti ini seharusnya cara yang dilakukan, sungguh tidak manusiawi.

Terkait Sekolah Master, sedikitnya ada 2 yang menjadi perkara saat ini. Pertama adalah lahan sebesar 500 m2yang diatasnya terdapat bangunan yang menjadi tempat penginapan/asrama para guru. Guru-guru relawan di Sekolah Master menurut Pak Nurrohim adalah SPD (sarjana penuh derita), mereka juga membutuhkan tempat tinggal dan bantuan biaya untuk hidup. Pak Nurrohim memberikan beberapa kamar kepada mereka beserta beras untuk dimanfaatkan. Kedua adalah lahan yang diatasnya terdapat bangunan kelas SMP Master. Sebenarnya ada 1 lahan lagi yang kena wilayah Master yaitu bangunan TK dan Masjid yang berada di atas lahan sengketa. Namun Pak Nurrohim mengatakan mengikhlaskan lahan tersebut karena beliau memang tidak sempat membuatkan akte untuk tanah wakaf tersebut. Meskipun secara historis jelas tanah tersebut diwakafkan bahkan Walikota saat itu (sebelum Pak Nur Mahmudi) menyetujui pemanfaatan lahan tersebut.

Di tanggal 15 Januari 2015 nanti, Pak Nurrohim mendapatkan informasi bahwa lahan-lahan itulah yang akan digusur. Untuk lahan yang pertama, Pak Nurrohim memiliki akte tanah wakaf tersebut sehingga sebenarnya memiliki bargaining position yang tinggi. Namun, pihak pengembang selalu mengatasnamakan negara untuk memuluskan langkahnya menggusur lahan-lahan di Terminal Depok. Mengapa bisa mengatasnamakan negara? Karena dalam desain pembangunan wilayah komersil tersebut, memang tujuan awalnya adalah untuk merevitalisasi terminal, baik itu untuk bis maupun angkot. Terminal merupakan sarana transportasi untuk kepentingan umum dan di dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum secara garis besar dinyatakan negara berhak mengambilalih fungsi lahan dan setiap warga negara harus mau merelakan lahannya demi kepentingan umum.

Pak Nurrohim sebenarnya tidak mempermasalahkan lahan tersebut diambil alih pemerintah asalkan memang benar-benar diperuntukkan untuk kepentingan umum dan negara. Lantas, dimana masalahnya? Lewat denah Terminal Depok dan denah rencana pembangunan wilayah yang dimiliki Pak Nurrohim, beliau menjelaskan bahwa di lahan tersebut memang akan dijadikan terminal, namun hanya di lantai bawah. Di bagian atasnya akan dibangun pusat grosir, apartemen, hotel, dll. Inilah yang menjadi masalahnya. Pak Nurrohim tidak terima apabila lahan wakaf yang dikelolanya yang rencananya akan dibayar developer, hanya dihargai sesuai harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut negara. Menurut beliau, tidak seimbang antara investasi dan profit yang akan didapatkan developerdengan biaya relokasi lahan milik Master. Beliau menginginkan biaya ganti rugi sama dengan harga pasar. Pemkot Depok menawarkan harga Rp. 6.000.000,-/m2, padahal menurut Pak Nurrohim harga tanah disana sudah mencapai Rp. 25.000.000,-/m2. Menurut Pak Nurrohim, negara dijadikan tameng dan topeng bagi pengembang untuk melakukan segala cara agar pembebasan lahan dilakukan dengan mudah.


Uang hasil relokasi tersebut bukan untuk kebutuhan pribadi Pak Nurrohim, tapi uang tersebut memang akan dimanfaatkan untuk relokasi dengan membeli sepetak lahan. Kebetulan Pak Nurrohim sudah memiliki suatu lahan baru di lingkungan Terminal Depok juga yang tidak masuk wilayah pengembangan. Lahan yang mau dibeli ini dekat dengan lahan yang baru dibeli Pak Nurrohim tersebut. Di lahan yang sudah dibeli Pak Nurrohim, Masjid yang termasuk akan digusur tanggal 15 Januari nanti sudah dibangunkan lagi yang baru dan sudah jadi.

Tanah yang diinginkan Pak Nurrohim untuk relokasi lahan 500 m2 tersebut dimiliki oleh salah seorang warga. Warga ini pun sebenarnya sudah bersedia menjual lahannya dengan harga Rp. 10.000.000,-/m2. Harga yang dianggap Pak Nurrohim sudah sangat murah untuk lingkungan strategis ini. Pak Nurrohim sebenarnya berharap tidak terjadi sengketa. Beliau mengatakan pihak pengembang atau Pemkot Depok tidak perlu membayar lahan 500 m2 milik Master, cukup dengan tukar guling dengan membelikan lahan pengganti tersebut. Namun Pemkot Depok dan pihak pengembang belum memberikan respon bahkan cenderung tidak setuju. Mereka justru menawarkan lahan 700 m2 di sekitar Terminal Depok Lama yang berada cukup jauh dari lokasi Master sekarang. Pak Nurrohim jelas tidak setuju karena akan aneh apabila ada wilayah Sekolah Master yang terpisah sendiri. Bahkan Pemkot Depok dan developer juga cenderung meremehkan dengan berkata “kapanpun kalau bersedia, bisa langsung diambil duit Rp. 6.000.000,-/m2 itu.” Nilai tersebut yang ditawarkan mereka karena itulah harga yang tertera di NJOP dan sudah ditambah 30%.

Kemudian di lahan sengketa kedua yaitu lokasi kelas SMP Master juga akan menjadi sasaran penggusuran. Pak Nurrohim sebenarnya sudah memegang akte wakaf kepemilikan tanah tersebut. Namun ternyata Pemkot Depok dan pengembang juga memiliki akte hak milik tanah tersebut. Selidik punya selidik, ternyata tanah yang dibeli Pak Nurrohim dari suatu PT juga dijual PT tersebut kepada Pemkot Depok. Kesimpulan sementara kami, Pak Nurrohim ini sebenarnya ditipu oleh PT yang menjual tanah tersebut ke Pak Nurrohim. Dengan keduanya memiliki suatu akte, sebenarnya tanah ini bisa disengketakan. Namun, Pak Nurrohim menyatakan tidak ingin kasus ini berlarut-larut. Beliau hanya menginginkan bangunan kelas tersebut dipindahkan ke lahan baru yang sudah dimiliki Pak Nurrohim di sekitar Terminal Depok juga. Dekat dengan Masjid baru yang sudah dibangun.

Dengan besarnya biaya investasi pengembang, Pak Nurrohim berharap mereka mampu membangunkan kelas SMP tersebut. Tidak perlu membeli lahan lagi, ucapnya. Lahan sudah ada, tinggal bangunkan saja. Mengapa ini penting? Karena kelas SMP tersebut menjadi tempat belajar bagi 600 anak-anak yang berhak atas pendidikan oleh negara. Jika gedung tersebut dihancurkan, kemana anak-anak ini akan belajar? Belum lagi di lahan TK yang juga kena penggusuran bersama Masjid, terdapat 200 anak. Kemana 800 anak ini akan tertampung apabila tidak dibangunkan segera kelas yang baru? Pak Nurrohim berharap di lahan baru yang sudah dimilikinya tersebut akan dibangunkan gedung TK dan SMP sebagai pengganti rugi. Jika melihat Sekolah Master, bangunan yang diinginkan Pak Nurrohim sederhana kok, sama dengan bangunan-bangunan lainnya yang sudah ada, dibuat dari kontainer. Kami sudah diliatkan beliau rancangan desainnya.

Melihat sengketa-sengketa ini, tentu kita bertanya apakah Pemerintah Kota Depok tidak peduli terhadap nasib pendidikan anak-anak jalanan?. Pak Nurrohim pernah diajak berdiskusi dengan pihak Pemkot Depok soal pembebasan lahan ini. Pihak Pemkot Depok bertanya pada Pak Nurrohim, “Bapak sebenarnya setuju ga kalau Terminal Depok dibagusin?. Pak Nurrohim jawab “Setuju”. Kemudian ditanya lagi, “Pak Nurrohim setuju ga kalau wilayah ini dijadiin wilayah bisnis?”, Pak Nurrohim menjawab “Setuju”. “Nah, kalau Bapak setuju, jadi masalahnya dimana?”, tanya pihak Pemkot Depok. Pak Nurrohim menjawab “Lah, kalian aja yang menjadikan ini masalah. Saya setuju aja terminal dibagusin, setuju juga kalau wilayah ini dijadiin wilayah bisnis. Bahkan saya juga setuju kalau seandainya Master harus digusur demi kepentingan banyak orang. Tapi, tolong carikan lahan dan bangunkan bangunannya untuk Master. Kemudian, lahan yang ada ini jangan diapa-apain.”. “Loh, kok ga boleh diapa-apain pak?”, tanya perwakilan Pemkot Depok lagi. “Iya lah, kan Pemkot Depok pengen ini jadi wilayah bisnis, saya juga bisa bikin lahan ini sebagai lahan bisnis yang produktif. Kan ini tanah wakaf, tanah masyarakat, sebagian juga diberi secara legal dari sebuah PT. Nanti kalau disana dibangun apartemen, pusat grosir, disini kita juga bisa bangun penginapan mahasiswa, ruko-ruko, dsb. Intinya kita pengen tanah masyarakat ini tetap kita yang kelola. Untuk apa? Jadi lahan ini bakal jadi sumber pendanaan untuk Master yang akan direlokasi nanti dan akan dibuat program beasiswa serta untuk mengembangkan lagi pendidikan anak-anak jalanan. Karena pemerintah belum bisa menjamin anak-anak jalanan ini bisa hidup, jadi wajar dong kami sebagai rakyat biasa ini pengen membantu pemerintah juga sebenarnya untuk membantu mereka.”, tegas Pak Nurrohim. Pihak Pemkot Depok merespon “Jadi kita ga ketemu dong pak pandangannya kalau begini.”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun