Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendekatan Moderat Terhadap LGBT

4 Februari 2016   09:52 Diperbarui: 4 Februari 2016   11:18 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hak cipta corbisimages.com"][/caption]Dalam sebuah rapat panjang konsorsium ilmu syariah di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang saya ikuti beberapa waktu lalu, banyak diantara guru besar dan dosen yang hadir mulai memberikan perhatian lebih terhadap dua hal, pertama adalah gerakan sesat radikal terkait Gafatar dan ISIS, yang kedua adalah mulai maraknya penetrasi gerakan LGBT di kampus, tentu ini sangat berkait erat dengan hadirnya SGRC di UI dan UIN belakangan ini. Tulisan ini berfokus kepada isu yang kedua, bagaimana para cendekiawan muslim di negeri ini sejatinya memandang kegiatan ataupun pelaku LGBT di kampus.

Para peserta diskusi yang mayoritas adalah ahli ilmu syariah bersepakat bahwa kepastian hukum mengenai perilaku maupun praktik lesbian, gay, bisexual dan transgender adalah haram. Kepastian hukum ini di istinbathkan pada ayat alquran (QS Al-Ankabut 28-31), hadist (Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth) [HR Ibnu Majah) maupun para pendapat jumhur ulama (Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014), sehingga ke qathi annya tidak bisa diperdebatkan lagi. Memang pernah ada guru besar UIN Jakarta yang dikenal sebagai aktivis gender, membuat sebuah tafsiran baru mengenai ayat-ayat LGBT hingga pendapatnya menjadi rujukan bagi pembenaran aktifitas LGBT, namun pendapat itu satu diantara sekian puluh ribu pendapat yang melarang, artinya walaupun pendapat akademik ini bisa menjadi rujukan ilmiah, bukan berarti bisa menjadi sandaran hukum.

Kesepahaman dan kesepakatan yang ada dalam konsorsium tersebut ternyata tidak menghasilkan satu pendekatan utuh mengenai bagaimana kampus memperlakukan civitas akademiknya yang memiliki kecenderungan terhadap perilaku LGBT. Sepanjang rapat yang terjadi hanyalah pernyataan sikap yang menyayangkan, mengutuk dan bahkan mencela atas praktik-praktik LGBT ini. Para akademisi nan ahli agama ini satu kata dengan nash yang ada, bahwa jikalau didapati perilaku seperti ini maka hukuman yang pantas adalah rajam atau sekiranya yang pantas dengan hal itu, misal di tataran akademik, yang paling ditakuti adalah dicabutnya SK Jenjang Akademik dan diberhentikan sebagai tenaga pendidik ataupun sebagai mahasiswa dikeluarkan sebagai mahasiswa di kampus tersebut. Rapat yang seharusnya merumuskan satu kurikulum ini tidak menghasilkan pendekatan akademik dan humanis terhadap perilaku LGBT.

Tentu ini sangat disayangkan mengingat bahwa kaum cendekiawan muslim sejatinya bisa mengambil posisi yang lebih humanis mengingat kaum LGBT ini mengutip hasil penelitian yang dilakukan di Margonda Depok, adalah kaum marjinal yang kesepian dan kebingungan (Universitas Gunadarma, 2013). Layaknya para teroris yang kebanyakan adalah pemuda yang depresi akan kondisi ekonomi, sangat mudah dicuci otaknya dan direkrut menjadi teroris, para penderita LGBT ini dalam kondisi depresinya juga sangat mudah diajak kedalam perilaku yang diluar batas. Bisa jadi dia jatuh ke dalam prostitusi, jatuh ke dalam seks bebas yang menebarkan ancaman HIV/AIDS atau yang paling ditakuti kaum agamawan, menjadi pegiat LGBT yang memperjuangkan hak-hak legal mereka. Kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan.

Secara pribadi, penulis sangat menyayangkan akhir dari diskusi yang tidak memformulasikan pendekatan yang tepat mengenai LGBT ini, sama kecewanya dengan pernyataan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir yang melarang LGBT di Kampus, padahal yang terlibat didalamnya adalah para alim ulama, para cendekiawan yang terbiasa dengan penelitian yang didukung dengan dana pemerintah, untuk memformulasikan pendekatan yang terbaik terhadap LGBT. Keputusan maupun kebijakan yang diambil oleh para cendekiawan haruslah didasarkan pada penelitian yang multi disiplin, tidak hanya pada pendekatan agama yang berbasis teks, namun juga menjangkau sisi psikologis, aspek sosiologi dan tataran praktis.

Ada satu pendekatan yang kiranya hampir mendekati namun masih perlu disempurnakan, salah satu peserta konsorsium mengungkapkan harusnya pihak kampus memberikan layanan konseling bagi para LGBT, memberikan sangsi tegas terhadap aktifitas bullying di kampus, sehingga membentengi para LGBT ini dari pembajakan aktifis organisasi propaganda LGBT. Penulis ingat pada tahun 2008, Ketua MUI Amir Syarifuddin mengeluarkan pendapat cukup jelas. Dilansir Kompas.com dikatakan bahwa Islam Menerima Kaum Homoseks namun Menolak Tegas Perilaku Homoseksual. Dari pendapat ini sejatinya ada benang merah bahwa pihak kampus, masyarakat maupun Negara, seharusnya memberikan perhatian pada kaum homoseks ini, memberikan konseling sehingga mereka tetap pada jalur-jalur positif yang memungkinkan mereka diterima dan menjadi bagian masyarakat, bukan malah menghujat dan memarjinalkan mereka sehingga mereka pada akhirnya terpojok dan bergabung dengan propaganda LGBT.

Namun sayangnya pendekatan seperti ini dalam ranah agama kerap kali diabaikan, para cendekiawan selama ini hanya berdebat dan berdebat tanpa merumuskan formula pendekatan yang lebih memanusiakan LGBT. Mereka baru kebakaran jenggot apabila SGRC muncul di kampus-kampus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun