Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iblis Tak Pernah Salah

7 Agustus 2019   20:59 Diperbarui: 7 Agustus 2019   21:23 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Dokumentasi Penulis

Untuk kesekian kalinya --dan mungkin akan selalu-- saya keliru dalam memahami sesuatu. Entah sudah berapa kali ini terjadi. Yaah... Mungkin kita akan selalu menemukan kesalahan dalam berpikir. Pikiran kita akan selalu merevisi apa yang sudah kita pahami sebelumnya. Karena memang pikiran kita bukan kitab suci. Dan tidak mungkin kita bisa membuat kitab suci berdasarkan pemahaman kita, kan begitu?

Bisa dibilang manusia adalah makhluk yang salah. Maksudnya bukan makhluk yang serba salah, tapi selalu terkait dengan kesalahan. Dia akan selalu berurusan dengan kesalahan, kekeliruan, dimana itu menjadi semacam antitesis menuju kepada sesuatu yang baik dan benar. Apalagi kalau orientasinya mengarah kepada dua hal itu, ya pasti dia akan bertemu dengan kesalahan-kesalahannya, dalam arti luas.

Tapi sintesis dari dialektika kesalahan-kesalahan manusia bukanlah sesuatu yang final. Manusia tidak boleh merasa sudah benar. Karena kalau seseorang merasa sudah berada dalam puncak kebenaran, otomatis dia justru menjadi manusia yang tidak benar, bahkan jauh dari kebenaran. Dan karena biasanya yang seperti itu terjadi pada diri umat beragama, saya kadang-kadang berpikir: kenapa tidak pernah ada fatwa haram bagi orang-orang yang merasa benar?

Atau sekalian saja keluarkan fatwa haram bagi orang-orang yang  merasa suci. Ini dampaknya bisa gawat. Perasaan semacam itu berbahaya. Tapi, kok rasanya terlalu tinggi kalau harus membicarakan soal kebenaran. Bahkan saya kadang malu kalau harus menyebut kebenaran. Itu hanya visi manusia, orientasi manusia.

Bukan sesuatu yang ada di genggaman. Bukan sesuatu yang menjadi milik manusia, apalagi kalau sampai berani-berani mengklaim ideologi atau pemahamannya sebagai kebenaran. Karena bahkan nabi-nabi pun tidak pernah mengklaim dirinya sudah benar. Yaah... Kita memang harus tahu dirilah kalau ngomong soal kebenaran ini. Sekedar berorientasi saja cukuplah.

Yang Paling Pantas Disalahkan

Bicara soal kesalahan, saya jadi kepikiran soal eksistensi manusia. Saya jadi menyadari kalau keberadaan manusia sendiri ternyata adalah "suatu kesalahan". Ketika manusia selesai diciptakan, Iblis tiba-tiba menjadi sombong.

Tapi Iblis ternyata tidak salah karena kesombongannya. Dia tak pernah salah kepada manusia, apalagi berdosa kepada manusia. Dia tidak harus memohon ampun kepada Tuhan. Dia tidak merasa perlu melakukan itu, apalagi kalau harus meminta maaf nangis-nangis bersujud kepada Adam dan anak cucunya sampai kepada kita saat ini. Bahkan saya pikir Iblis tidak berdosa. Secara tidak langsung, karena manusialah Iblis menyombongkan diri. 

Kesalahan manusia di sini bukan hanya dalam konteks nabi Adam. Nabi Adam hanya sebagai preseden. Sebagai contoh watak manusiawi manusia yang akan seperti itu sampai kiamat nanti. Karena di dunia pun manusia akan tetap menyadari kesalahannya dalam hal lain yang lebih luas. Tapi nabi Adam tidak bisa kita salahkan. Karena kalau dia disalahkan, berarti kita menempatkan diri kita di atasnya. Dan tidak mungkin kita lebih baik daripada dia.

Saya tidak mengatakan manusia itu berdosa sejak lahir. Dalam Islam saya memahami bahwa ketika seseorang berumur sekitar tujuh tahun --dimana dia sudah tahu mana baik-buruk-- di situ dia harus belajar menyadari atau mengakui kesalahan. Dan di situlah perbuatannya sudah mulai dinilai berdosa atau berpahala. Di umur kurang dari itu, apalagi kalau masih bayi, sudah pasti manusia belum tahu apa-apa.

Coba saja pikir, siapa lagi makhluk di muka bumi ini yang harus disalahkan? Nyatanya manusia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bahkan di akhirat nanti ketika kita hendak menyalahkan setan karena mereka sudah menyesatkan manusia, saya yakin Tuhan akan balik menyalahkan: "kenapa menyalahkan setan? Salahmu sendiri, kenapa mau-maunya disesatkan setan." Hayo... terus gimana? Apalagi Tuhan, yang tak bisa disalahkan. Absurd namanya kalau Dia memiliki kesalahan.

Dan nyatanya apa yang ada pada manusia bukan hanya kesalahan dan menyadari kesalahan. Manusia ternyata berpotensi membuat salah. Atau mungkin bisa dibilang dia berbuat salah, yang kemudian mengakibatkan dunia menjadi lebih buruk. Kita tak mungkin berpikir naif bahwa kesalahan manusia hanya berhenti di kesalahan itu sendiri. Bahkan di ujungnya, di situlah kita akan menemui azab Tuhan.

Saya juga keliru selama ini memahami azab Tuhan itu datang karena kekafiran manusia. Seolah-olah Al Qur'an mengatakan Tuhan mendatangkan azabNya hanya kepada orang kafir yang tak percaya pada agama yang dibawa para nabi. Di sini saya lagi-lagi salah.

Kalau diperhatikan pada dialog-dialog antara para nabi dengan umatnya, di situlah kita menemukan poin masalah datangnya azab Tuhan. Yaitu karena egoisme, kesombongan, sikap merendahkan, menghina, mengejek, yang sikap-sikap itu ada pada diri setiap manusia. Bukan hanya pada diri non-muslim.

Maka saya lagi-lagi salah kalau mengira Tuhan tidak akan pernah menurunkan azabNya di Indonesia ini, pada bangsa yang bermayoritas Muslim. Walaupun Tuhan peduli pada orang-orang beriman, tapi Tuhan tidak bodoh. Tuhan tidak mungkin memandang seseorang hanya berdasarkan pada keimanannya.

Bagaimana kalau ada orang mengaku beriman tapi sewenang-wenang kepada umat beragama lain? Apa Tuhan juga tetap akan meloloskannya dari hukuman? Apa Tuhan segampang itu mengamankan seseorang lantaran cuma bermodal iman? Tapi ternyata Tuhan menekankan dan selalu menekankan. Dia mengatakan "yang beriman dan mengerjakan kebaikan". 

Ya ternyata kita salah. Kita salah kalau mengira Tuhan mem-backing-i kita cuma karena kita mengaku beriman. Yang lebih parah lagi, ada pula yang berpikir dengan keimanannya itu dia bebas mengapa-apakan seseorang dan dikiranya Tuhan membolehkan dan tidak  akan marah. Heh, memangnya dia siapa???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun