Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Tak Berilmu, yang Tak Peduli

19 Februari 2018   22:39 Diperbarui: 19 Februari 2018   22:50 10100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: hidayattale.blogspot.co.id

Kalau sebagian besar manusia dalam suatu masyarakat atau bangsa sudah tak mau tahu, itu sudah cukup bisa untuk dijadikan indikator rusaknya atau buruknya kualitas sosial. Karena, bagi orang yang tahu, dia akan mengakui bahwa titik pijakan awal bagi manusia adalah apa yang disebut 'pengetahuan'.

Memang, dalam hidup ini pasti terdapat jenjang-jenjang inteligen pada diri setiap orang. Ada yang tidak begitu pintar, ada yang  biasa-biasa saja, dan lain sebagainya. Kita harus bisa menerima perbedaan ini. Tidak seharusnya kita seenaknya mengatakan 'bodoh'  kepada orang-orang yang tidak sebanding dengan kita dalam hal kualitas pemahamannya, selama dia selalu berusaha untuk belajar, mencari tahu, memahami sesuatu. Yang menjadi masalah adalah bagi mereka yang sama sekali tak mau berusaha untuk beranjak dari rendahnya kualitas intelektual mereka. Saya kira itulah serendah-rendah manusia.

Untuk belajar pun sebenarnya tak perlu mengeluarkan banyak biaya. Ilmu tidak hanya tersedia di institusi-institusi pendidikan dan hanya dimiliki oleh para pendidik.  Karena dimana pun dan pada apapun, kita bisa saja mengambil suatu pelajaran. Tidak adil rasanya kalau Tuhan hanya menyediakan ilmu di institusi-institusi pendidikan saja. Soal pemerolehan ilmu, tak lain adalah soal aktifnya diri kita menyerap apa yang ada dalam kehidupan ini untuk kemudian menjadi pengetahuan yang jika dipahami secara mendalam, maka jadilah dia apa yang disebut 'ilmu'.

Dalam suatu contoh, pada umumnya manusia tahu bahwa pohon adalah sesuatu yang memiliki batang, daun, akar. Tapi soal bagaimananya pohon itu; soal bagaimana proses tumbuh, kembangbiak dan lain sebagainya, hal tersebut sudah tidak cukup untuk disebut sebagai pengetahuan, melainkan sebutannya adalah 'ilmu'. Apalagi di zaman saiki, suatu ilmu tentang pohon saja sudah berkembang dan bercabang-cabang sebagaimana halnya pohon itu sendiri.

Lalu, kalau persoalan keilmuan saja sudah begitu rumit lantaran memiliki struktur, disiplin, teori dan lain sebagainya, apa jadinya kalau pengetahuan tak lagi dirasa penting. Untuk bisa berilmu, pertama-tama seorang manusia pastilah harus tahu, atau lebih tepatnya, harus mau tahu. Apa jadinya kalau keinginan seperti itu sudah tak ada? Apa jadinya kalau kita tak mau tahu terhadap apa yang terjadi pada diri kita? Ini masalah yang krusial. Kita barangkali merasa tahu hal-hal eksternal di luar diri kita. Tapi kalau persoalannya sudah intern sifatnya, ini sudah menyangkut soal pengetahuan primordial.

Pengetahuan primordial kita sebagai manusia tak lain adalah soal nilai dan norma. Nilai dan norma dalam hidup --apakah dari agama, budaya, ajaran orangtua dan lain sebagainya---hal itu juga merupakan pengetahuan yang kemudian akan menjadi ilmu, kalau kita mau memahaminya secara komprehensif. Kalau kita menanamkan doktrin-doktrin normatif kepada seorang anak kecil, hal itu cukup sebatas perintah yang harus ditaati.

Tapi, bagi manusia dewasa, doktrin-doktrin tadi tentulah bukan sekedar perintah saja, melainkan harus dipahami konsekuensi dan pertanggungjawabannya. Cuma manusia yang tak mau tahu yang tak akan mau memahami kenapa dia membutuhkan sebuah aturan dalam hidup. Seseorang yang tak mau tahu, pasti tak akan menyadari dirinya. Dia tak mau tahu apakah dirinya bodoh atau pintar. Sedangkan orang yang merasa membutuhkan ilmu, pasti akan selalu merasa bodoh. Bagi saya, menyadari kebodohan diri adalah salah satu kesadaran yang hakiki. Sedangkan merasa pintar, adalah perasaan tertentu yang sangat berpotensi untuk mengembalikan manusia pada kebodohan.

Maka orang berilmu tak akan pernah merasa puas dalam pencarian ilmunya. Tak ada untungnya juga merasa puas, sedangkan ilmuNya tersebar dimana-mana dan kita tak mungkin bisa utuh mengetahui segala sesuatu.

Saya kira, lebih tepat kalau sikap ketidakmautahuan itu akan mengarah kepada kebatilan, keburukan, dan kemunduran kualitas kemanusiaan. Itu pasti, karena ketidakmautahuan ini juga sama dengan ketidakpedulian, walaupun maknanya hampir-hampir mirip. Kalau sudah tak mencari ilmu untuk diri sendiri, sudah pasti tak akan peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Pada dasarnya kita tak perlu terlalu jauh membahas persoalan satu ini kalau saja kita mau berbagi. Orang yang berilmu tentu banyak. Kalau orang yang kurang ilmunya lebih banyak daripada mereka yang berilmu, tentu itu tak jadi masalah. Siapa yang dikaruniai suatu ilmu, silahkan bagikan kepada orang lain, terutama yang mau belajar. Siapa yang tak mau berilmu, ini yang mesti diajak dan disadarkan.

Apalagi di tengah kemalasan berpikir seperti saat ini, bagaimana kita akan menuju pada pintu gerbang ilmu pengetahuan? Karena berpikir itu inheren dengan bertanya, mencari jawaban. Dan mencari jawaban adalah dengan menganalisis sesuatu sehingga kemudian seseorang menjadi tahu. Itu makanya filsafat adalah induk dari segala keilmuan sekarang yang titik tolaknya adalah rasa penasaran karena adanya aktivitas berpikir seorang manusia. Jangan anggap remeh dengan persoalan pikir-berpikir, lantaran kualitas intelektual seorang manusia pun tak lepas dari seberapa intens dia berpikir, merenung, memahami sesuatu secara nendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun