Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin yang Bukan Pemimpin

17 Desember 2017   22:41 Diperbarui: 17 Desember 2017   22:56 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: thenarrowgetback.com

Walaupun harus kuakui kalau aku memang tak begitu tahu --apalagi mengenal-- manusia satu itu, pertanyaan di dalam pikiranku soal keanehannya makin menjadi-jadi karena tingkahnya belakangan ini.

Aku masih berpikiran positif kalau  rakyat Amerika yang dipimpinnya bukanlah sekumpulan orang-orang bodoh yang tak mana yang layak dan mana yang tak layak. Negara maju gitu lho... Masyarakat maju gitu lho... Walaupun kalau dikaitkan dengan persoalan diskriminasi agama, atau yang sering disebut islamophobia, entahlah aku tak tahu bagaimana persisnya sikap mereka terhadap persoalan yang satu itu.

Aneh. Kok bisa orang macam itu jadi presiden di negara adikuasa? Memang, zaman sudah sedemikian edan. Yes... yes... aku tahu itu. Dan konstelasi zaman yang sudah sedemikian jomplang ini sudah tak malu-malu atau sudah tak segan-segan lagi menampakkan sikapnya. Salah satunya, ya si manusia satu itu. Belum lagi manusia satu lainnya di belahan bumi lain. Jadi kurang nyata apa lagi? Kurang riil apa lagi? This is not true.

Ini memang udah nggak bener. Ada pihak yang mengatur di balik ketidakberesan ini semua. Ada bos di atas presiden yang tak layak satu itu. Trump hanya digunakan sebagai alat legitimasi dari keinginan bos di atasnya. Siapa bosnya? Saya jelas tak tahu. Tapi bukan berarti kita tak bisa menyadari ketidaskberesan ini.

Kan aneh? Kok bisa sebegitu mudahnya dia melegitimasi Yerusalem sebagai ibukota Israel? Di sisi lain, kok nggak sebegitu mudahnya juga dia menyelesaikan konflik sosial Israel-Palestina yang sudah sedemikian lama terjadi? Tak usahlah menyelesaikan secara sepihak sebagaimana dia melegitimasi Yerusalem itu, karena walaupun sekedar untuk mengajak dunia untuk sama-sama menyelesaikan konflik turun temurun itu pun dia juga tak ada kemauan.

Ya, memang ada pembiaran yang disengaja terhadap permasalahan yang satu itu. Aku jadi berpikir, hanya omong kosong di mulut mereka yang terus bicara soal hak kesetaraan, kemanusiaan, maupun soal hak asasi manusia. Ini sama sekali nggak riil dan tidak pernah direalisasikan. Itu hanya harapan palsu. Hanya slogan belaka.

Juga tentang perdamaian. Mana? Orang-orang pada panas sekarang ini. Kesucian holy land sudah dikotori oleh orang-orang kotor bernafsu yang memang berorientasi pada kebatilan. Mana yang bicara soal toleransi? Apa itu bentuk sikap toleransi tadi? Lagi-lagi omong kosong. Inferioritas tetap saja terjadi. Intoleransi tetap saja ada. Kecium bau busuknya nggak?

Terus siapa bos yang paling berkuasa di atas presiden-presiden dunia itu? Ya jelas adalah makhluk yang bernama setan. Mau itu wujudnya jin atau manusia normal, secara sifat, makhluk semacam itu dinamakan setan. 

Dia itulah musuh yang sebenar-benarnya. Trump ini bukan musuh yang sebenarnya. Dia cuma pesuruh. Kalau ada yang mengatakan si bos itu bernama Zionisme, entahlah saya tak begitu tahu. Saya tak mau menuduh semua orang Yahudi, karena saya yakin tidak semua orang Yahudi itu buruk. Lagian di sebuah tayangan yang pernah saya lihat, pun agamawan-agamawan Yahudi sendiri ada yang memang menolak Zionisme, lantaran kata mereka Zionisme itu melanggar Taurat.

Ah, yang penting semuanya sudah sedemikian jelas. Keadaan memang makin parah, seolah-olah mana yang baik dan yang buruk, yang pantas dan yang tak pantas pun tak lagi diacuhkan. Kebatilan pun akhirnya sudah sedemikian berani menabrak-nabrak. 

Akhirnya kita pun harus sadar kalau hal semacam itu sudah tak bisa lagi ditoleransi. Kalau kebatilan, keburukan ditoleransi, apa coba itu namanya? Nggak pantas! Nggak semua hal itu boleh ditoleransi. Masak yang namanya keburukan merajalela ditoleransi juga sih? Toleransi ya juga ada batasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun