Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang-orang di Pasar

1 Maret 2019   20:00 Diperbarui: 6 Maret 2019   18:44 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kendaraan di jalan begitu sibuk. Angkot berhenti sesuka hati. Umpatan-umpatan sesekali terdengar karena ketidaksabaran atau ketidaktertiban lalu lintas. Paling bikin kepala pusing adalah suara klakson yang mengganggu telinga, kadang mengagetkan, serta deru mesin motor yang berisik, yang sengaja dimodifikasi pemiliknya, kemudian melaju kencang di jalan raya. Ini benar-benar memancing amarah. Aku sempat memaki saat ada motor seperti itu lewat. Rasanya aku ingin membunuh pengendaranya saat itu juga. Si tukang sepatu juga sempat terdengar memaki kesal. Siapa sih yang tidak terganggu dengan suara motor yang lebih mirip mesin pesawat tempur?

Di seberang sana agak ke kanan, dari tempatku sekarang, di situlah gedung pasar yang kudatangi tadi. Sedangkan sebelah kirinya, tempatku makan mi ayam. Di sana juga terlihat ramai, seperti di sini. Hanya saja, di pinggir jalan sana ada banyak penjual pakaian. Sementara di sini, yang banyak adalah gerobak penjual dan tukang sol sepatu.

Aku tidak sadar ketika si tukang sepatu berkata bahwa sepatuku sudah selesai disol. Cepat juga, pikirku. Kuteliti jahitannya dengan cermat. Terlihat sangat rapi. Sepatu itu adalah sepatu kerjaku. Jadi, wajar aku memeriksanya dengan cermat. Sesuai kesepakatan, aku membayar sebesar empat puluh ribu rupiah. Si tukang sepatu menerima uang dariku sambil mengucapkan terima kasih. Kubalas terima kasihnya sembari memuji karya tangannya. "Biasa aja, Mas. Saya sudah lama kerja begini, makanya bisa kayak gitu," balasnya merendah.

Sial. Hujan tiba-tiba turun. Deras. Beberapa menit yang lalu langit cerah. Apa tadi aku kurang memperhatikan bahwa sebenarnya awan sedang begerak di langit? Bagaimana bisa pulang kalau hujan begini? Si tukang sol sepatu dengan cekatan menarik plastik yang cukup besar untuk membuat tenda a la kadarnya menutupi kotak perkakas sepatunya. Segera kucari tempat berteduh di teras toko sebelah. Orang-orang berlarian mencari tempat berlindung.

Sepertinya hujan bakal turun lama. Malah semakin deras dan ditambah angin kencang. Sia-sia berteduh, butir-butir hujan tetap merembes masuk di tempatku berdiri yang sekarang disesaki banyak orang. Hari mulai temaram. Kuperiksa jam di ponselku. Jam lima kurang. Tapi, sudah terlihat agak gelap karena hujan. Aku perlu menunggu beberapa saat lagi sampai hujan agak berkurang derasnya. Satu-satunya yang kupikirkan adalah aku harus segera kembali ke kamarku untuk menenangkan diri. Sebab keramaian pasar, kerumunan orang, kebisingan jalan raya, benar-benar membuat pikiran jadi kacau.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun