Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Sejarah Kereta Api di Indonesia: Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Depan

27 April 2021   12:16 Diperbarui: 27 April 2021   14:15 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MRT, LRT, KRL Sumber: https://lrtjabodebek.adhi.co.id/

Meluasnya Imajinasi mengenai Transportasi Berbasis Rel

Transportasi di atas bantalan rel baja belakangan menjadi primadona tersendiri, entah bagi kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat sipil. Terlebih, sejak rampungnya beberapa koridor MRT di Jakarta, yang mana kejelasan pembangunannya sendiri telah mengalami maju-mundur selama berpuluh-puluh tahun, imajinasi kita mengenai pengembangan moda transportasi berbasis bantalan rel terbang bebas ke seluruh penjuru negeri.

Kita dapat mulai membayangkan bagaimana perjalanan antarkota yang berjauhan, misalnya Jakarta-Surabaya, dapat ditempuh dengan waktu yang sama selayaknya perjalanan dari rumah di Depok menuju kantor di Jakarta Pusat, alias kurang dari 2 jam perjalanan. Kita dapat pula mulai membayangkan bagaimana nantinya kemacetan dapat diakali dengan moda transportasi yang mampu melayang di atas tanah dan juga menyusuri lorong bawah tanah yang bebas hambatan.

Membicarakan transportasi di atas bantalan rel kini tidak sekadar bicara mengenai kereta Commuter Line atau lokomotif diesel antarprovinsi. Tidak lagi juga kita berbicara hanya mengenai rangkaian gerbong yang dikendalikan seorang masinis. Bahkan, imajinasi kita tidak lagi terkungkung oleh kendaraan berbahan bakar batubara atau listrik semata. 

Dewasa ini, rangkaian gerbong tanpa masinis adalah suatu kemungkinan. Rangkaian gerbong yang menggantung di bawah, alih-alih berdiri di atas relnya, bukanlah mimpi siang bolong seorang insinyur. Tak ketinggalan, rangkaian gerbong yang digerakkan dengan magnet atau tenaga matahari bukan lagi cita-cita yang masih jauh di pelupuk mata.

Kendati demikian, setidaknya sampai sepuluh tahun ke belakang, imajinasi kita belum bergerak seliar ini. Kita lebih terbiasa membayangkan transportasi di atas bantalan rel baja sebagai kereta api saja. Ini tentu bukannya tanpa alasan. Bahkan jauh sebelum Indonesia ada sebagai negara berdaulat yang diakui oleh dunia, kereta api telah menjadi salah satu moda transportasi penting yang membantu masyarakat dalam melakukan mobilisasi orang maupun distribusi barang.

Bagaimana Kereta Api Bermula dan Berkembang di Bumi Nusantara

Stasiun Surabaya Tempo Dulu Sumber: https://heritage.kai.id/
Stasiun Surabaya Tempo Dulu Sumber: https://heritage.kai.id/
Sejarah perkeretaapian di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kolonial Belanda selaku bangsa yang pertama memperkenalkan kereta api di Bumi Nusantara. Kereta api mulanya diperuntukkan untuk mengangkut hasil bumi. Ini terlihat, misalnya, pada pembangunan jalur kereta api pada abad ke-19 yang menghubungkan Buitenzorg (kini Bogor) selaku sentra produksi hasil bumi dengan Batavia (kini Jakarta) selaku pusat kegiatan ekspor. 

Berkembangnya kereta api di Jakarta kemudian mendorong perluasan fungsi dari kereta api itu sendiri hingga akhirnya berfungsi pula sebagai angkutan penumpang, ditandai dengan pembangunan lanjutan jalur Buitenzorg -- Batavia pada kurun 1869 -- 1873 yang dipercayakan pada Nederlansche-indische spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan swasta yang sebelumnya telah membangun jalur kereta api pertama di Indonesia dengan rute Semarang Timur (Kemijen) -- Tanggungharjo Grobogan pada 1864 -- 1867. 

Beberapa stasiun di Jakarta yang menjadi saksi historis pembangunan awal ini masih berdiri dan berfungsi hingga hari ini, misalnya saja Stasiun Gambir (Koningsplein), Stasiun Bukit Duri (Meester Cornelis), dan Stasiun Jatinegara. Selain NISM, ada juga perusahaan swasta lain seperti Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOSM) yang membangun lintas timur mulai dari tahun 1887 dan turut meninggalkan jejak historisnya dalam bentuk Stasiun Bekasi (Bekassie) dan Stasiun Karawang (Karavam). 

Pada tahun 1875, dalam rangka sentralisasi dan simplifikasi wewenang untuk mengurus perkeretaapian di tanah jajahannya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Staatsspoorwegen (SS), perusahaan negara yang secara khusus mengelola perkeretaapian di Hindia Belanda. Melalui SS lah kemudian diprakarsai pembangunan beberapa stasiun lainnya seperti misalnya Stasiun Tanjung Priok dan Stasiun Tanah Abang. 

Tahun 1913 merupakan tonggak penting dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia yang ditandai dengan dibangunnya Stasiun Manggarai dengan tujuan untuk menciptakan jalur Interchange yang menghubungkan jalur Barat dan Timur Batavia. Dari sinilah kemudian arsitektur Jalur Kereta Api Lintas Jakarta yang kini lebih dikenal sebagai Commuter Line terbentuk dan terus beroperasi dengan sistem yang nyaris sama. SS sendiri di kemudian hari menjelma menjadi PT Kereta Api Indonesia Persero (PT KAI).

Perkembangan kereta api memasuki babak baru selanjutnya selang sepuluh tahun kemudian. Adalah elektrifikasi jalur kereta di Jakarta, yang dimulai sejak 1923 dan selesai pada 1924, yang bukan hanya membawa Hindia Belanda menuju milestone baru dalam hal perkeretaapian, melainkan juga menjadi fondasi tambahan bagi pengembangan infrastruktur perkeretaapian di Bumi Nusantara. 

Listrik yang disediakan dari wilayah Sukabumi dan Kracak dialirkan ke Gardu Induk Ancol, Jatinegara, Depok, dan Kedungbadak (Bogor). Listrik tersebut kemudian menjadi bahan bakar bagi lokomotif listrik yang dikirim langsung dari Jerman, Belanda, hingga Swiss. Begitu awetnya lokomotif-lokomotif ini, sampai-sampai setelah Indonesia merdeka, lokomotif listrik ini masih dipergunakan. 

Sayangnya, setelah lama tidak ada penggantian unit baru, lokomotif listrik kemudian tergantikan oleh rangkaian KRL buatan Jepang sejak 1976 (Jumardi, et al., 2020) hingga akhirnya penggunaan KRL buatan Jepang ini menjadi sesuatu yang lazim, terutama bagi pengguna Commuter Line.

Kesuksesan dalam membangun sistem perkeretaapian di Batavia dan Pulau Jawa mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mereplikasi hal serupa di pulau-pulau besar lainnya. Di Sumatera Selatan pada tahun 1914 mulai dibangun rute Kertapati, Palembang yang kemudian diteruskan hingga sampai Prabumulih, Muara Enim, dan Lahat yang semuanya selesai pada tahun 1924. 

Sama seperti di Batavia, kendati awalnya ditujukan untuk mengangkut komoditas ekspor, kebutuhan akan moda transportasi penumpang mendorong perluasan fungsi kereta api di Sumatera Selatan. Jalur Palembang -- Lampung secara khusus dapat dipandang mirip dengan jalur Bogor -- Jakarta dalam hal pemanfaatannya. Palembang sendiri merupakan kota penting bagi pemerintah kolonial karena fungsi gandanya sebagai pusat administrasi pemerintah dan juga kota pelabuhan. 

Di Sumatera Selatan sendiri, manajemen perkeretaapian berada di bawah naungan Zuid Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS), cabang dari SS. ZSS bertanggung jawab, utamanya, dalam mengelola daerah operasi Palembang dan Lampung. Wilayah Prabumulih pada waktu itu menjadi penghubung antara Lampung dengan Muara Enim, Lahat, dan Lubuklinggau sehingga mobilitas kereta api di wilayah ini tergolong tinggi. Selain rempah, hasil bumi seperti batubara juga hilir mudik melalui jalur ini sehingga penting bagi ZSS untuk mengembangkan jalur kereta api lebih jauh ke pedalaman Sumatera Selatan. 

Salah satu warisan ZSS yang masih terjaga dan berfungsi hingga saat ini adalah Balai Yasa Lahat (dahulu bernama Werkplaats) yang ketika itu difungsikan sebagai bengkel lokomotif dan gerbong barang. Signifikansi pembangunan ini bukan hanya berhenti sampai di situ. Karena kebutuhan tenaga kerja yang besar, banyak kuli dari Jawa Tengah didatangkan dan kemudian menetap serta beranak-pinak di Sumatera Selatan. 

Kendati penggunaan kereta api sudah ditujukan untuk mengangkut penumpang, namun kondisi pemerintahan kolonial pada saat itu menyebabkan segregasi sosial berdasarkan ras turut terjadi di dalam gerbong kereta. Masyarakat pribumi dilarang menaiki gerbong kelas 1, kendati mampu secara finansial, dan pada gerbong yang diperuntukkan untuk mereka terdapat plang bertuliskan "Inlander" (Ravico & Susetyo, 2021).

Memang, tidak semua rute kereta api dibangun dengan latar belakang kepentingan ekonomi. Di Aceh pada tahun 1876, rute kereta api pertama dengan nama Atjeh Tram dibuka oleh pemerintah kolonial dengan maksud untuk menjadi sarana distribusi logistik dan angkutan militer, mengantisipasi gangguan dari gerilyawan. Rute Kutaraja -- Lam Baro merupakan salah satu yang cukup terkenal dengan sebutan "Konsentrasi Line". 

Beberapa rute seperti Lambaro -- Indrapuri pada tahun 1886 mulai dimanfaatkan untuk transportasi umum sebagaimana telah terjadi perluasan penggunaan kereta di daerah lain. Sayangnya, jalur-jalur ini kemudian perlahan tidak lagi beroperasi sejak tahun 1896 seiring dengan munculnya anggapan dari kalangan militer Hindia Belanda bahwa urgensi keberadaan jalur-jalur ini mulai hilang (Ibrahim & Ibrahim, 2020). Terlebih, secara ekonomi, pembukaan rute ini dinilai tidak menguntungkan bagi operator.

Sebagaimana di Aceh, tidak semua rute kereta yang pernah ada masih berfungsi hingga saat ini. Rute Semarang -- Rembang yang diambil alih pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, misalnya, telah berhenti beroperasi sejak tahun 1988 akibat kerugian yang terus didera dikarenakan ketidakmampuan pengelola dalam bersaing dengan moda transportasi lain. 

Penyebab kerugian dari rute yang awalnya dibangun oleh perusahaan swasta Belanda bernama Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) ini adalah serangkaian kebijakan pemerintah Indonesia pasca pengambilalihan rute ini, dimulai dari ketidakoptimalan perbaikan armada dan lintasan hingga pengembangan infrastruktur yang lebih dititikberatkan pada pembangunan jalan raya. 

Padahal pada masa awal pembangunannya pada tahun 1881, rute ini dipandang menjanjikan karena mampu membantu para pengusaha dalam mengirimkan hasil bumi. Bahkan, sampai sebelum tahun 1970, pemerintah masih gencar membangun stasiun di sepanjang rute Semarang -- Rembang seperti misalnya Stasiun Tawang, Stasiun Demak, dan Stasiun Kudus (Kusuma, Purnomo, & Romadi, 2018).

Nasib serupa terjadi dengan rute Makassar -- Takalar di Sulawesi. Ketika pertama digagas pada akhir abad ke-19, rute ini juga difungsikan untuk mengangkut hasil bumi. Staatstramwegen op Celebes (STC) dipercaya selaku perwakilan SS untuk memulai pembangunan pada tahun 1920. Kereta umumnya ditujukan untuk mengangkut hasil bumi dari Takalar menuju Makassar. 

Selain itu, rute ini juga memiliki fungsi serupa seperti di Aceh, yakni sebagai bagian dari strategi militer Belanda dalam menghadapi gerilyawan. Sayangnya pada tahun 1930, muncul proposal untuk menghentikan kegiatan STC di Sulawesi dengan alasan kerugian ekonomi dari operasi jika masih diteruskan. Hasilnya, sejalan dengan penutupan STC, rute Makassar -- Takalar turut ditutup (Nasrul, Najamuddin, & Asmunandar, 2018).

Signifikansi Sejarah Kereta Api terhadap Indonesia Hari Ini

Tidak dapat dipungkiri, dari dulu hingga sekarang, pembangunan infrastruktur dan pengenalan moda transportasi baru kerap kali melibatkan alasan politis, ekonomis, maupun keduanya. Terlebih dalam hal pembangunan rute kereta api dan transportasi sejenis, investasi yang diperlukan tidaklah sedikit. 

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sampai pada batas tertentu, kita dapat membaca pola pembangunan infrastruktur penunjang berdasarkan apa kepentingan politis yang melatarinya serta dampak ekonomi seperti apa yang akan terjadi ke depannya. Jika pada masa lalu kereta api diperkenalkan sebagai mekanisme pertahanan perang dan sarana logistik untuk membawa hasil bumi keluar dari Bumi Nusantara, maka hari ini pembangunan sejenis tidak dapat dipisahkan dari politik populis sebagai sarana mengapit konstituen dan sekaligus juga sarana untuk mempercepat aliran barang dan uang keluar-masuk suatu wilayah.

Hal ini tidak serta-merta berarti buruk, kendati ketulusan motivasi patut dicurigai. Toh pada dasarnya, sulit mengharapkan panggilan moral sebagai motor pembangunan. Sebagaimana Fadli Zon dulu pernah menyatakan bahwa "Korupsi justru menjadi oli bagi pembangunan" (Widhana, 2015), penulis memandang bahwa ada kalanya motivasi egoistik kalangan tertentu dapat berguna untuk mempercepat pembangunan yang pada gilirannya nanti dapat memudahkan hajat hidup orang banyak.

Yang perlu menjadi perhatian, menurut hemat penulis, justru adalah dampak sosial. Sebagaimana sejarah telah memperlihatkan bagaimana percepatan lalu lintas manusia berdampak pada segregasi maupun konflik sosial ketika dua atau lebih kelompok yang berbeda dipertemukan, pembangunan infrastruktur yang tengah gencar-gencarnya dilakukan pemerintah hari ini bukan tidak mungkin akan memicu dampak sosial yang negatif di masa depan.

Dalam berita yang Kompas angkat, misalnya, sepanjang 2020 tercatat ada 17 kasus konflik agraria yang berkaitan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini seiring dengan ditekennya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi basis bagi percepatan PSN. Hasilnya, banyak keluarga yang terpaksa pindah sebagai akibat dari peralihan lahan untuk kepentingan PSN (Fadly, 2021).

Memang betul bahwa dalam pembangunan infrastruktur relokasi tidak dapat dihindari. Lagipula, ada kalanya juga relokasi membawa berkah tersendiri bagi masyarakat, paling tidak secara finansial. Hal ini sebagaimana yang dialami warga desa Sumurgeneng di Tuban yang lahannya dibeli dengan harga tinggi oleh Pertamina (Bramasta,2021).

Warga Tuban Berbondong-Bondong Membeli Mobil Sumber: https://voi.id/
Warga Tuban Berbondong-Bondong Membeli Mobil Sumber: https://voi.id/
Kendati demikian, kasus tersebut justru menyingkap dampak buruk lain. Tidak sedikit warga yang mendadak kaya kemudian mempergunakan uang ganti ruginya secara tidak bijak dengan cara membeli kendaraan bermotor kendati tidak memiliki keahlian dalam mengendarainya. 

Dorongan konsumtif ini oleh kalangan sosiolog dikenal dengan sebutan Demonstration Effect, yakni suatu kondisi di mana seseorang terdorong untuk meniru perilaku orang lain, utamanya dalam keadaan yang rawan memicu rasa iri. Jika tidak dikontrol dengan bijak, bukan hanya bahwa ke depannya masyarakat akan merasakan dampak ekonomi lanjutan, melainkan juga perubahan perilaku dan pandangan secara sosial.

Singkatnya, pembangunan infrastruktur penunjang seperti kereta api, MRT, hingga bandara tidak cukup hanya dilihat berdasarkan utilitas ekonomi dan politiknya dalam jangka pendek. Di luar dampak sosial juga, para pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan dengan matang apakah ke depannya infrastruktur yang dibangun ini hanya akan sekadar menjadi pemanis sesaat ataukah ada keberlanjutan manfaat yang jauh lebih besar bobotnya ketimbang mudharatnya.

Kita tentu tidak menginginkan infrastruktur yang mati sesaat setelah pembangunan hanya karena ketidakjelasan visi di awal. Kita tentu menginginkan infrastruktur penunjang yang dapat dijangkau dan bermanfaat bagi sebanyak mungkin masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan ekonomi dan politik para elit. 

Pemangku kepentingan hari ini jangan sampai melakukan kekeliruan yang sama sebagaimana pemerintah kolonial yang hanya melihat infrastruktur penunjang sebagai sarana untuk mengalirkan kekayaan bumi keluar tanpa memikirkan hajat hidup orang banyak. Pemangku kepentingan juga tidak boleh mengulangi kesalahan Pemerintah Orde Baru dalam hal tumpang tindih kebijakan pembangunan yang tak jarang menciptakan kontradiksi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Tak ketinggalan, pemangku kepentingan juga harus meminimalisir munculnya kebijakan yang manisnya justru merusak masyarakat di masa depan selayaknya manisnya gula yang memicu diabetes di hari tua.

Di balik sejarah kereta api Indonesia, terdapat juga penyadaran mengenai betapa kompleksnya tantangan pembangunan di negara ini. Untuk mencapainya, yang dibutuhkan bukanlah motivasi altruis maupun kepentingan egoistik semata, melainkan kombinasi antara keduanya. Dengan demikian, pemangku kepentingan perlu secara pandai meramu kedua hal ini agar bersama-sama keduanya dapat menciptakan pembangunan yang betul-betul tepat sasaran.

Masalahnya, hal ini mudah dibicarakan ketimbang dipraktikkan. Pertanyaannya, bagaimana cara memulainya? Jawabannya penulis serahkan pada interpretasi para pembaca. Sekian...

Referensi

Bramasta, D. B. (2021, Februari). Video Viral Warga Desa di Tuban Ramai-ramai Beli Mobil, Kades: Ada yang Beli 2 hingga 4. Dikutip dari situs Kompas.com.

Fadly, A. (2021, Januari). Konflik Agraria Sektor Infrastruktur Didominasi Proyek Strategis Nasional. Dikutip dari situs Kompas.com.

Ibrahim, U., & Ibrahim, H. (2020, Januari). Awal Perintisan Kereta Api di Aceh (Analisis Historis dan Politik Tahun 1876 - 1896). Prosiding SemNas Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1), 95-102.

Jumardi, R., R., Abdulhadi, Siska, A., A., V., & Z., Z. A. (2020, April). Perkembangan Transportasi Kereta Api di Jakarta. Pattingalloang, 7(1), 40-48.

Kusuma, R., Purnomo, A., & Romadi. (2018, Juli). Sejarah Kereta Api Rute Semarang - Rembang Tahun 1967 - 1988. Journal of Indonesian History, 7(1), 56-61.

Nasrul, F., Najamuddin, & Asmunandar. (2018, Juli). Transportasi Kereta Api Rute Makassar - Talakar (1922 - 1930). Pattingalloang, 5(3), 1-11.

Ravico, R., & Susetyo, B. (2021, Januari). Sejarah Pembangunan Jalur Kereta Api sebagai Alat Transportasi di Sumatera Selatan Tahun 1914-1933. Jurnal Agastya, 11(1), 68-82.

Widhana, D. H. (2015, Mei). Fadli Zon: Korupsi itu oli pembangunan. Dikutip dari situs Merdeka.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun