Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Reuni dengan Benjamin Graham: Kembali Waras sebagai Investor di tengah Pandemi

1 Juli 2020   03:18 Diperbarui: 1 Juli 2020   03:55 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari: www.seekingalpha.com

'...some speculation is necessary and unavoidable, for in many common-stock situations there are substantial possibilities of both profit and loss, and the risks therein must be assumed by someone. There is intelligent speculation as there is intelligent investing.'

Ketika penulis mendalami bab ini pertama kali, sulit rasanya untuk menguak hal-hal implisit yang berusaha dinyatakan oleh Graham mengenai hakikat dari pasar modal berikut aktivitas di dalamnya. Pada satu sisi, Graham menekankan pentingnya kesadaran dan pemahaman mendalam saat berinvestasi di pasar modal. Di sisi lain, Graham juga tidak menyangkal bahwa sepertinya mustahil untuk selalu berada di jalan yang lurus dan mulus karena banyak hal seperti ketidaktahuan dan kekeliruan yang menyebabkan terjadinya kerugian dari kegiatan investasi. Tanpa daya, pembaca dari ketiga paragraf di atas dibawa menuju satu kesimpulan: investasi perlu melibatkan spekulasi di dalamnya. Hal ini seakan membuat keterlepasan antara harga saham dengan kondisi ekonomi saat ini menjadi sesuatu yang lumrah dan tidak dapat disikapi dengan lebih baik kecuali dengan turut berpartisipasi dalam "perjudian" yang ada. 

Akan tetapi jika dipikirkan dengan lebih matang dan hati-hati, ungkapan Graham di atas justru menyiratkan hal yang sama sekali berbeda. Justru karena terdapat potensi ketidaktahuan dan kekeliruan, kita perlu menggali lebih banyak informasi dan lebih jeli dalam menginterpretasikannya. Jika hasil penelusuran dan pembacaan kita terbukti akurat, maka kita akan meraup keuntungan dari kegiatan investasi. Sedangkan jika ternyata keliru, setidaknya kita dapat meminimalisir kerugian yang ditimbulkan (dan mungkin juga menemukan cara lain untuk memperoleh keuntungan).

Mari sekarang masuk ke contoh kasusnya agar lebih mudah dipahami. Katakanlah investor A, setelah menggali cukup banyak informasi, menemukan saham perusahaan X dengan harga pasar saat ini Rp. 1.000. Nilai buku per lembar (Book-Value per Share) saham perusahaan X ternyata sebesar Rp. 5.000 (sekitar Rp. 2.000 nilai tersebut dalam bentuk surat berharga) dengan keuntungan bersih per lembar saham sebesar Rp. 500 namun tanpa dividen (percayalah, penulis pernah menemukan saham yang mirip seperti ini dan alasan dari valuasi serendah ini biasanya karena ketiadaan dividen dan pemberitaan yang jarang akibat analis bosan mengikuti saham ini). 

Investor A memprediksi bahwa harga saham akan merangkak naik ke level yang lebih wajar hingga setidaknya Rp. 3.000 per lembar. Prediksi tersebut bisa saja benar, dan dalam skenario tersebut A dapat menjual saham X dan memperoleh keuntungan 200%. Namun bagaimana jika harga saham tak kunjung naik? Ada cara lain yang bisa A lakukan dalam situasi ini. Ia bisa terus membeli saham perusahaan X hingga ia memperoleh persentase kepemilikan mayoritas di perusahaan (ingat, saham adalah representasi kepemilikan atas perusahaan). Dengan suara mayoritas, A dapat "memaksa" perusahaan menjual seluruh surat berharga mereka dan membagikan hasil penjualan sebagai dividen kepada investor (iya, hal ini memungkinkan dan lumrah di dunia pasar modal). Sedikit intermezzo, Warren Buffett pernah mengalami situasi semacam ini saat ia memiliki saham di perusahaan Sanborn Map. Hasilnya, A tetap dapat memperoleh keuntungan sebesar 200% kendati harga sahamnya tidak bergeming.

Melalui contoh ini, penulis berharap dapat sedikit meluruskan kembali apa yang dimaksud oleh Graham melalui tulisannya berpuluh-puluh tahun yang lalu, sekaligus memberikan sedikit optimisme bagi para pelaku pasar modal dalam menyikapi absurditas saat ini. Dengan tetap mengedepankan penggalian informasi secara mendalam dan hati-hati, bukan tidak mungkin justru saat inilah waktu yang tepat untuk masuk ke pasar modal, berkaca dari valuasi yang belum sepenuhnya pulih yang membuat banyak emiten berkualitas dijual dengan harga miring. Kondisi tertentu kadang berpotensi mendorong terjadinya spekulasi, namun sebagai investor, penting juga bagi masing-masing individu untuk dapat mengendalikan risiko dari ketidaktahuan dan kekeliruan saat salah satu atau bahkan keduanya muncul ke permukaan.

Referensi:

Graham, B. (1949). The Intelligent Investor. Amerika Serikat: Harper & Brothers

Purwanti, N. I., Khoerunnisa, R., Prasetyo, A. E., & Annisa, F. R. (2012). Mengkaji Perbandingan Pola Perilaku Konsumen di Pasar Modern (Retail) dan di Pasar Tradisional. Indonesia: Universitas Wijaya Kusumaa Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun