Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Otonomi Strategis Indonesia Sebagai Penyeimbang di Tengah Persaingan Kekuatan Adidaya

8 April 2024   00:05 Diperbarui: 8 April 2024   00:05 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo(AFP/Ajeng Dinar)

Sebagai negara besar di kawasan Indo-Pasifik yang sarat dinamika, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan otonomi strategisnya di tengah persaingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. 

Meningkatnya ketegangan antara kedua adidaya telah menciptakan tekanan bagi Jakarta untuk memilih pihak. Resikonya adalah bahwa pemihakan itu berpotensi mengancam prinsip "bebas dan aktif" yang menjadi pedoman diplomasi Indonesia. 

Dalam situasi ini, realisme defensif, sebuah perspektif dalam studi Hubungan Internasional, menawarkan kerangka analisa yang berguna untuk memahami upaya Indonesia untuk tidak memihak. Dalam tataran tertentu, Indonesia bahkan verpeean sebagai penyeimbang bagi kedua kekuatan itu.

Realisme defensif

Inti dari realisme defensif adalah kecenderungan negara-negara berperilaku memperkuat diri mereka sendiri untuk mempertahankan keamanan nasionalnya. Mereka malah tidak mengejar kekuasaan secara ofensif  atau berorientasi ke luar (Snyder, 1991). 

Selanjutnya, Kenneth Waltz (1979) menjelaskan bahwa  di dunia yang anarki seperti itu, keamanan merupakan tujuan utama negara-bangsa. Dengan kata lain, upaya mewujudkan keamanan nasional, bukannya ekspansi wilayah atau pengaruh, yang menjadi motivasi utama perilaku negara.

Dari sudut pandang ini, diplomasi penyeimbangan Indonesia terhadap AS dan Tiongkok merupakan respon defensif untuk memastikan keamanan dan kepentingan nasionalnya tetap terlindungi. Indonesia menolak untuk masuk dalam pertarungan antara kekuatan besar. Jakarta tidak mau menjadi sekedar pesuruh atau pelayan negara adikuasa. 

Dengan mempertahankan jarak yang sama dari kedua adidaya, Indonesia dapat menghindari resiko  terjebak dalam konflik kepentingan atau menjadi sasaran tekanan berlebihan. Posisi internasional yang diambil Indonesia ini sangat berbeda dengan pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.

Pada masa pemerintahan Sukarno, Indonesia yang lebih ke blok Timur atau memihak Uni Soviet dan/atau China. Sedangkan, pemerintahan Suharto cenderung memihak AS.

Tantangan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun