Oleh : Yulia Rusmala. Program Doktoral Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas Negeri Surabaya
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Salah satu inovasi yang semakin mendapat perhatian adalah Artificial Intelligence (AI). Artificial Intelligence (AI) merupakan kemampuan sistem komputer untuk meniru kecerdasan manusia melalui proses belajar, penalaran, dan pemecahan masalah (Russell & Norvig, 2021). Dalam konteks pendidikan, AI dipandang sebagai teknologi yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap efektivitas pembelajaran, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Namun, pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), penerapan AI masih menjadi topik yang relatif baru dan memerlukan kajian mendalam, terutama karena anak usia dini memiliki karakteristik perkembangan yang unik.
Artificial Intelligence (AI) didefinisikan sebagai teknologi yang memungkinkan sistem komputer meniru kecerdasan manusia melalui analisis data, pengenalan pola, dan pengambilan keputusan (Russell & Norvig, 2021). Dalam dunia pendidikan, AI berperan sebagai intelligent tutoring system (ITS) yang mampu menghadirkan pembelajaran adaptif. Luckin et al. (2016) menyebut AI bukan sekadar “pengganti guru”, tetapi lebih sebagai intelligence augmentation yang mendukung guru dalam merancang pengalaman belajar yang lebih personal.
Dalam konteks PAUD, Artificial Intelligence (AI) dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk misalnya, aplikasi bercerita interaktif, permainan edukatif adaptif, serta perangkat analisis perkembangan anak. Penelitian Holmes et al. (2019) menunjukkan bahwa ITS mampu meningkatkan keterlibatan belajar anak usia dini karena anak merasa materi sesuai dengan kemampuan mereka. Namun, penggunaan Artificial Intelligence (AI) tetap harus didampingi guru agar anak tidak kehilangan interaksi emosional.
UNESCO (2021) menekankan dua sisi AI dalam pendidikan: di satu sisi membuka akses dan meningkatkan kualitas, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan kesenjangan jika tidak diatur dengan baik. Oleh sebab itu, penerapan AI di PAUD menuntut keseimbangan antara manfaat teknologi dan kebutuhan anak akan interaksi nyata.
Pendidikan anak usia dini menekankan perkembangan holistik, mencakup aspek kognitif, sosial-emosional, motorik, bahasa, dan moral-spiritual. Menurut Piaget (1952), anak usia dini berada pada tahap praoperasional (2–7 tahun), di mana mereka belajar melalui simbol, bermain imajinatif, dan pengalaman konkret. Artinya, teknologi AI hanya efektif bila digunakan untuk memperkaya pengalaman bermain anak, bukan menggantikannya.
Vygotsky (1978) menambahkan bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Konsep Zone of Proximal Development (ZPD) menunjukkan bahwa anak berkembang optimal dengan bimbingan orang dewasa atau teman sebaya melalui scaffolding. Dalam konteks ini, AI dapat membantu menyediakan aktivitas belajar yang sesuai dengan ZPD anak, tetapi keberadaan guru tetap penting sebagai pendamping emosional dan sosial.
Pendekatan lain adalah teori Multiple Intelligences oleh Gardner (1993) yang menyatakan bahwa anak memiliki beragam kecerdasan (linguistik, logis-matematis, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis). Artificial Intelligence (AI) berpotensi memberikan variasi media pembelajaran sesuai jenis kecerdasan dominan anak misalnya, anak dengan kecerdasan musikal dapat menggunakan aplikasi AI berbasis musik untuk belajar pola bahasa.
Pendidikan abad ke-21 menuntut keterampilan 4C (Critical thinking, Creativity, Collaboration, Communication). Bagi PAUD, keterampilan ini ditanamkan melalui bermain kreatif, kolaboratif, dan eksploratif. AI dapat membantu dengan menghadirkan simulasi, permainan interaktif, atau cerita digital yang mendorong anak berpikir kritis dan kreatif (Trilling & Fadel, 2009).
Selain itu, literasi digital merupakan kompetensi penting. Menurut OECD (2021), anak-anak sejak dini perlu dikenalkan dengan teknologi secara aman dan terarah. Artificial Intelligence (AI) bisa mendukung literasi digital dengan cara sederhana misalnya, chatbot edukatif yang menjawab pertanyaan anak atau aplikasi menggambar yang mampu mengenali pola dan memberi saran kreatif.
Beberapa penelitian terdahulu tentang Artificial Intelligence (AI) dalam pembelajaran PAUD di antaranya: Holmes et al. (2019) menemukan bahwa sistem pembelajaran adaptif meningkatkan motivasi belajar anak melalui personalisasi konten. Chen et al. (2020) menunjukkan bahwa aplikasi AI berbasis suara membantu anak dengan hambatan bicara meningkatkan kemampuan bahasa. OECD (2021) menegaskan risiko kesenjangan digital antar sekolah jika infrastruktur tidak merata. Zawacki-Richter et al. (2019) menyoroti literasi digital guru sebagai faktor kunci keberhasilan Artificial Intelligence (AI) dalam pendidikan. Yu & Wang (2022) menyatakan AI dapat meringankan beban administratif guru, tetapi tetap perlu dilengkapi dengan aspek humanis. Bahkan dalam Fauziddih dan Ningrum (2024) disebutkan ada 30 penelitian tentang Artificial Intelligence, Early Childhood Education, Personalized Learning, Teacher Innovation, Real-time Feedback.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Artificial Intelligence (AI) pada Pendidikan Anak Usia Dini sudah sangat familier dan sudah diterapkan di beberapa negara di dunia. Di Indonesia, PAUD memiliki posisi strategis sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia. Berdasarkan Kemendikbud Ristek (2023), angka partisipasi kasar PAUD telah mencapai 41,22%. Namun, laporan Studi Diagnostik PAUD Indonesia yang dirilis oleh UNICEF (2021) menemukan bahwa akses dan kualitas layanan PAUD masih belum merata. Sebagian besar lembaga PAUD masih terfokus pada calistung (membaca, menulis, berhitung) dibandingkan stimulasi perkembangan holistik anak. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat pendidikan anak usia dini seharusnya menekankan pada bermain, eksplorasi, dan pembentukan karakter.
Selain itu, kesenjangan infrastruktur juga cukup lebar. Penelitian oleh Utami dkk. (2022) dalam Jurnal Obsesi menunjukkan bahwa PAUD di daerah perkotaan memiliki akses lebih baik terhadap perangkat teknologi dan sumber daya digital, sementara PAUD di pedesaan sering menghadapi keterbatasan sarana serta rendahnya literasi digital guru. Hal ini berdampak pada kurang optimalnya pemanfaatan teknologi, padahal pandemi COVID-19 telah menunjukkan bahwa teknologi dapat menjadi sarana penting dalam menjaga keberlangsungan pembelajaran, termasuk di PAUD.
Fenomena lain yang juga menonjol adalah beban administratif guru. Studi Balitbangdikbud (2020) menemukan bahwa lebih dari 60% guru PAUD merasa terbebani dengan tuntutan pelaporan perkembangan anak dan komunikasi dengan orang tua. Kehadiran Artificial Intelligence (AI) berpotensi membantu guru dalam mengelola data perkembangan anak secara otomatis, sehingga waktu guru dapat lebih difokuskan pada interaksi langsung dengan anak. Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan dilema karena dikhawatirkan mengurangi peran humanis guru sebagai pendidik utama yang memberikan kasih sayang dan teladan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI