Mohon tunggu...
Satrio Dwi
Satrio Dwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student of Airlangga University

Hi! Im Satrio Dwi, I was born on Surabaya and also currently as college student of Univesitas Airlangga. I have a big interest about social issues, history. Reach me out on satrionaryo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hustle Culture: Budaya Produktif atau Toxic Productivity

20 Oktober 2021   21:01 Diperbarui: 20 Oktober 2021   21:09 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini kita hidup di masa dimana perkembangan teknologi dan informasi sangat cepat, hal itu tentu memudahkan aktifitas kita di era modernisasi.

Kita dapat mencari atau mengetahui informasi apapun melalui internett yang bisa kapanpun dimanapun kita dapat akses. Pesatnya informasi yang kita dapat membuat kita secara tidak langsung mengikuti atau terpengaruhi (influence) dalam informasi yang kita dapatkan salah satunya ialah Hustle Culture

Sebelum kita membahas Hustle Culture lebih jauh, sebaiknya kita harus mengerti apa itu Hustle Culture. Hustle Culture ialah suatu budaya yang mangharuskan kita bekerja keras tanpa henti, yang mana berharap dengan kerja keras yang tiada henti mendapatkan kesuksesan yang lebih mudah. 

Hustle Culture awal kemunculannya pada tahun 1971 yang terus berkembang hingga sekarang, Hustle Culture tidak hanya dialami oleh pekerja kantoran namun mahasiswa pun bisa mengalami hal tersebut.

Ditambah pada awal April 2020, seluruh dunia didatangi oleh tamu yang tak diundang yaitu COVID 19 dimana seluruh warga Indonesia  diharuskan untuk menetap dirumah untuk waktu yang cukup lama supaya mengurangi interaksi sosial secara masif.

Karena manusia pada dasarnya ialah makhluk sosial tentu merasa bosan jika berdiam diri dirumah tanpa melakukan kegiatan, muncul kegiatan yang berbagai macam yang bisa dilakukan dirumah contohnya banyak pelatihan, magang atau webinar yang diadakan secara online yang mana memicu banyak orang untuk mengikuti sebagai penghilang kebosanan saat melakukan self quarantine. 

Menjamurnya kegiatan yang bisa dilakukan dirumah tentu saja membuat para mahasiswa milenial mengambil kesempatan tersebut untuk mengikuti berbagai hal salah satunya magang atau volunteer.

Karena diadakan secara online, beberapa mahasiswa mengambil begitu banyak kegiatan yang beranggapan bahwa mereka dapat mengatasi hal tersebut karena diadakan secara online.

Mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan ialah hal yang salah, dimana mereka mengurangi jatah istirahat mereka untuk melakukan semua kegiatan yang mereka ikuti tanpa mengenal rasa lelah.

Ditambah dengan munculnya ketidakpercayaan diri dan khawatir akan masa depan serta mereka cenderung mengikuti teman sebaya yang banyak melakukan produktifitas dikala pandemi.

Beberapa milenial juga merasa bahwa melakukan hal tersebut akan divalidasi oleh orang sekitar atau teman sebayanya hal yang positif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun