Mohon tunggu...
Satria Yudha Nugraha
Satria Yudha Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mencoba menuangkan isi pikiran dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

UMKM & Peningkatan Tax Ratio: Strategi Mendorong Kepatuhan UMKM untuk Tax Ratio yang Lebih Baik

28 April 2024   13:39 Diperbarui: 28 April 2024   13:51 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah suatu jenis usaha dengan skala tertentu yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008, definisi UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu. Kategori UMKM dapat berbeda-beda di setiap negara, tetapi biasanya diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria seperti jumlah karyawan, pendapatan tahunan, dan aset. Mengacu pada data dari Kementerian Koperasi dan UKM RI, UMKM memiliki pangsa sekitar 99,99% (62.9 juta unit) dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia pada tahun 2017, sementara usaha besar hanya sebanyak 0,01% atau sekitar 5400 unit.

Berikut adalah kriteria-kriteria UMKM yang diatur dalam UU No.20/2008 :

  • Usaha Mikro           : Aset Maks 50 Juta dan Omzet Maks 300 Juta
  • Usaha Kecil             : Aset > 50 Juta s.d 500 Juta dan Omzet > 300 Juta s.d 2,5 Miliar
  • Usaha Menengah : Aset > 500 Juta s.d 10 Miliar dan Omzet > 2,5 Miliar s.d 50 Miliar

Mayoritas UMKM di Indonesia adalah Usaha Mikro dengan proporsi 98,7% dari total UMKM yang berarti sekitar lebih dari 59 juta pelaku UMKM di Indonesia adalah Usaha Mikro. Usaha Mikro rentan  untuk kalah dalam persaingan usaha karena produktifitas dan modal yang rendah. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UMKM serta BPS, usaha Mikro hanya memiliki rata-rata omzet setahun sebesar 76 juta dan omzet maksimal 300 juta dalam setahun. Tetapi dari omzet yang tergolong kecil saja usaha Mikro dapat menyerap sekitar 107,2 juta tenaga kerja (89,2%), Usaha Kecil 5,7 juta (4,74%), dan Usaha Menengah 3,73 juta (3,11%); sementara Usaha Besar menyerap sekitar 3,58 juta jiwa.

Sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61%, atau senilai dengan Rp9.580 Triliun. Nilai yang signifikan dari suatu sektor. Fakta ini sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar UMKM memiliki omzet yang tidak besar, jumlah mereka yang melebihi 60 juta tetap mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB Indonesia. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana pemerintah bisa menerapkan sistem pajak yang adil pada sektor yang memiliki potensi besar ini.

Terkait pajak, dari jumlah lebih dari 60 Juta pelaku UMKM selama kurun waktu 2018-2023, hanya sekitar 2,3 juta pelaku UMKM yang telah memiliki NPWP. Bahkan dari UMKM yang telah memiliki NPWP tersebut, tidak semua dari mereka yang rutin membayar pajak (Nurhidayah, 2021). Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tax ratio Indonesia tergolong rendah dari negara-negara lain karena sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB belum dikenai pajak secara optimal.

Tax ratio atau rasio pajak adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di mana hal itu juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. Realisasi Tax Ratio Indonesia dari periode 2019 sampai dengan 2023 menurut PP No 52 Tahun 2023 adalah sebagai berikut :

  • Tahun 2019 : 9,76%
  • Tahun 2020 : 8,33%
  • Tahun 2021 : 9,12%
  • Tahun 2022 : 10,39%
  • Tahun 2023 : 10,21%

Sektor UMKM memiliki karakteristik yang khas dalam menjalankan usahanya. Beberapa karakteristik UMKM menurut penulis adalah sebagai berikut:

  • Mayoritas UMKM beroperasi secara informal dan tidak terdaftar di berbagai sistem.
  • Banyak UMKM melakukan transaksi secara tunai karena kurangnya penggunaan sistem pembayaran elektronik serta tidak memiliki catatan keuangan yang rapi.
  • Banyak pemilik UMKM tidak memiliki pengetahuan dan memiliki keterbatasan sumber daya tentang cara menghitung pajak.

Karakteristik-karakteristik tersebut membuat mereka menjadi tidak terpantau oleh otoritas pajak karena pemerintah sulit untuk mendapatkan bukti pendapatan sektor UMKM. Sektor UMKM menjadi bagian dari shadow economy dan hard to tax sector serta menimbulkan tantangan pemerintah untuk dapat membuat regulasi perpajakan yang dapat menjaring sektor UMKM berubah dari sektor informal menjadi formal dan dapat patuh terhadap kewajiban perpajakannya.

Regulasi perpajakan yang telah dibuat pemerintah untuk menjaring sektor informal khususnya sektor UMKM adalah Pajak Penghasilan Final dengan Peredaran Bruto Tertentu. Pajak ini bersifat satu tarif dan final yang dapat disetor sendiri oleh wajib pajak maupun melalui pemotongan oleh pemotong atau pemungut pajak. Pada awalnya diterbitkan pada tahun 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Penerbitan aturan ini kemungkinan memiliki keterkaitan dengan perkembangan dari shadow economy di Indonesia. Selama periode 2001-2013 aktivitas shadow economy memiliki tren meningkat hampir setiap tahunnya dan peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun 2013. Pada PP ini pemerintah menyederhanakan sistem pajak melalui perhitungan pajak menggunakan tarif 1% dari peredaran bruto. Peredaran bruto maksimal untuk dapat dikategorikan sebagai UMKM adalah 4,8 miliar.

Simplifikasi pajak melalui PP 46/2013 ternyata memunculkan celah penghindaran pajak melalui tidak adanya batasan waktu penggunaan aturan khusus ini. Selama wajib pajak memiliki usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, mereka bisa menggunakan tarif PPh final. Skema tersebut memungkinkan pelaku usaha untuk dengan sengaja tidak melaporkan seluruh penghasilannya agar tetap bisa menikmati tarif pajak final 1%.

Pemerintah lalu melakukan perubahan atas pajak untuk sektor UMKM dengan mencabut PP 46/2013 dan mengganti dengan PP23/2018. Perbedaan yang signifikan antara PP 46/2013 dengan PP23/2018 adalah tarif yang turun dari 1% menjadi 0,5% dan munculnya batasan waktu penggunaan aturan ini dari semula tidak ada. Pemerintah berorientasi kepada menarik sektor informal untuk berubah menjadi sektor formal dan tercatat di sistem perpajakan dibanding mengumpulkan penerimaan pajak. Secara makro penerimaan pajak dari peraturan ini tidak signifikan terhadap keseluruhan penerimaan pajak sehingga pemerintah lebih mengutamakan partisipasi dari pelaku shadow economy yang salah satunya adalah sektor UMKM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun