Mohon tunggu...
Satria Jaya
Satria Jaya Mohon Tunggu... Pendidik, Pewarta, Penulis dan Social Media Enthusiat

Seseorang yang senantiasa belajar untuk jadi manusia. Terus bermanfaat dan menebar kebaikan #Katanya_Penulis #Nyatanya_Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komunikasi Politik: Sebuah Permainan Persepsi dan Emosi

29 Juni 2025   14:30 Diperbarui: 29 Juni 2025   12:48 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog: Ketika Kata-Kata Mengatur Dunia

Ada masa ketika kebenaran ditentukan oleh siapa yang paling keras bicara, bukan oleh siapa yang paling jujur menyampaikan. Di tengah hiruk-pikuk layar handphone, janji politik menjelma seperti puisi patah hati—indah di permukaan, kosong dalam kenyataan. Kita hidup di era ketika komunikasi politik bukan lagi tentang menjelaskan, melainkan tentang mempengaruhi; bukan tentang menyentuh akal sehat, tapi membelai emosi agar menyerah.

Di balik panggung debat dan baliho megah, komunikasi bukan sekadar alat. Ia adalah senjata yang bisa menyelamatkan atau mencelakakan. Kata-kata yang dirangkai dengan niat mulia bisa menyalakan harapan, tapi yang diracik dengan kepentingan sesaat hanya menyisakan abu kekecewaan. Karena itu, yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin yang pandai berbicara, tapi yang tulus mendengarkan dan merasakan.

Sejatinya, komunikasi politik bukan tentang siapa yang tampil memukau, melainkan siapa yang mengerti betul luka yang tak tampak. Sebab dalam ruang demokrasi, suara rakyat bukan hanya soal bilik suara, tapi soal perasaan yang ingin dihargai. Kita bukan sekadar angka survei, kita adalah manusia yang sedang mencari tempat berpijak dalam badai informasi yang menyesatkan.

Maka, ketika dunia dipenuhi citra dan pencitraan, mari kita kembali bertanya: adakah komunikasi masih dilandasi cinta? Cinta pada bangsa, cinta pada sesama, cinta pada kemanusiaan yang tak boleh diperjualbelikan demi elektabilitas. Karena pada akhirnya, sejarah akan mengingat bukan hanya apa yang dikatakan para politisi, tapi apa yang diperjuangkannya dalam diam, dalam ketulusan yang tak dipublikasi.

Sebab kata-kata bisa mengatur dunia, tapi hati yang bersihlah yang mampu mengubahnya.

Politik, Imajinasi, dan Realitas Semu

Di era digital yang serba cepat ini, politik tidak lagi bicara soal gagasan yang dibaca mendalam, tapi tentang kesan pertama yang viral. Fakta bisa dilipat, realitas bisa dikemas, dan opini publik bisa dibentuk layaknya cerita fiksi yang dikarang dengan cermat. Dalam dunia semacam itu, komunikasi politik menjelma sebagai seni memainkan persepsi—bukan sekadar menyampaikan apa yang benar, tapi menciptakan ilusi tentang kebenaran.

Politisi bukan lagi tokoh utama dalam drama politik, melainkan sutradara imaji kolektif. Mereka tahu bahwa publik lebih mudah percaya pada narasi yang menyentuh emosi daripada data yang bersifat teknis. Simbol lebih kuat dari substansi. Senyum yang diabadikan dalam baliho bisa lebih mengena dibandingkan dengan seribu halaman visi-misi yang dibacakan dalam debat.

Kata-kata menjadi mantra yang membentuk kenyataan. Sebuah frasa sederhana seperti “kami mendengar suara rakyat” bisa menjadi penawar kekecewaan massal, meskipun substansinya sering tak pernah sampai. Imajinasi kolektif rakyat dibentuk melalui repetisi, drama, dan bahasa tubuh. Maka jangan heran jika kampanye terasa seperti pertunjukan seni, karena memang seperti itulah cara komunikasi politik bekerja saat ini—membangun realitas dari rasa, bukan dari logika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun