Prolog
Dunia ini aneh. Kadang, semakin kita jujur, semakin kita dijauhi. Sementara mereka yang pandai menyembunyikan niat di balik senyum---justru dipuja seperti pahlawan tanpa cela. Kita hidup di zaman ketika kepalsuan dirayakan, dan kejujuran dipertanyakan. Saat menjadi baik bukan lagi soal hati, tapi soal citra.
Aku pernah duduk di tengah mereka yang katanya "buruk". Bicaranya keras, tindakannya berantakan, hidupnya jauh dari kata sempurna. Tapi, anehnya, aku justru merasa lebih aman. Karena mereka tak menyembunyikan sisi gelapnya. Mereka tak berpura-pura suci demi dipuji. Mereka berdarah, mereka berdosa, tapi mereka tak berbohong.
Lalu aku pernah pula duduk di antara mereka yang katanya "terhormat". Wajahnya penuh senyum, kata-katanya manis, tapi hatinya dingin. Mereka tertawa bersamamu, lalu menusukmu saat kau berbalik badan. Mereka tak peduli siapa yang mereka hancurkan, asalkan tetap dipuja di atas panggung sorotan.
Aku belajar bahwa luka bisa membentuk ketulusan. Bahwa manusia sejati bukan yang tanpa cacat, tapi yang tak menyembunyikan cacatnya demi tepuk tangan. Dalam dunia yang terlalu sibuk tampil baik, aku lebih memilih berjalan bersama mereka yang mungkin salah arah, tapi tak pernah memalsukan langkah.
Karena pada akhirnya, yang kita cari bukan sekadar tempat untuk duduk, tapi tempat untuk merasa utuh. Dan tempat itu bukan di istana kepura-puraan, tapi di antara hati-hati yang meski retak, masih berani jujur dalam terang maupun gelap.
Menjadi Manusia Sejati Yang Tampil Apa Adanya
Kita diajari sejak kecil untuk menjadi baik. Tapi yang tak pernah diajarkan adalah: bagaimana menjadi baik tanpa harus berpura-pura. Maka lahirlah generasi yang pandai menyembunyikan luka, menghapus air mata sebelum terlihat, dan berkata "nggak apa-apa" padahal sudah nyaris hancur di dalam.
Di tengah budaya sosial yang terlalu gemar menilai dari penampilan dan cara bicara, mereka yang tampil seadanya sering kali dipinggirkan. Padahal, justru mereka itulah manusia yang paling jujur. Mereka yang dicap kasar, keras kepala, atau tak tahu sopan santun---kadang hanya sedang mencoba menjadi dirinya sendiri tanpa topeng. Mereka tidak tahu cara pura-pura baik, karena sejak awal diajari untuk jujur walau perih.
Sedangkan mereka yang bermuka dua, terlihat baik di permukaan. Mereka berkata sopan, tertawa di saat yang tepat, menunduk dengan gaya anggun, tapi lupa bahwa kebaikan yang disetir demi pujian bukanlah kebaikan yang sebenarnya. Mereka tidak sedang hidup, mereka sedang berakting. Dan dunia yang senang dengan pertunjukan itulah yang memberi mereka panggung.