Di sudut warung kopi, kata-kata mengalir lebih cepat dari seduhan hitam yang mengepul. Kita bicara tentang keadilan sambil menahan lapar, mendebat soal pemimpin sambil menunggu gaji yang tak kunjung cukup. Demokrasi terasa akrab di lidah, tapi asing di meja makan. Ia wangi seperti kopi, tapi pahit saat diseruput, dan tak pernah benar-benar mengenyangkan. Mungkin karena demokrasi hari ini lebih sering jadi tontonan, bukan tuntunan. Kita bersuara, tapi tak didengar. Kita memilih, tapi tetap tak berdaya. Lalu, apakah demokrasi masih tentang kita---atau hanya tentang mereka yang tak pernah duduk di bangku warung yang sama?
Di sudut warung kopi, pagi-pagi yang masih berkabut sering kali lebih jujur dari janji-janji kampanye. Gelas-gelas retak menjadi saksi bisu obrolan panjang tentang negeri ini. Kita menyeduh harapan dalam kepulan aroma robusta, sembari menggantungkan masa depan pada opini yang tak pernah sampai ke telinga para pemegang kuasa. Demokrasi, katanya, adalah suara rakyat. Tapi mengapa suara itu hanya bergema keras di warung kopi, lalu menguap begitu sampai ke ruang sidang?
Di meja kayu yang goyah, kita bicara soal kebijakan, korupsi, harga beras, dan pemilu. Kita tertawa getir, bukan karena lucu, tapi karena sudah terlalu lelah untuk marah. Demokrasi kini seperti kopi sachet: instan, manis buatan, dan penuh pengawet janji. Terhidang indah dalam iklan, tapi getir saat diseruput kenyataan.
Warung kopi telah menjelma forum rakyat paling jujur---tanpa moderator, tanpa sensor, tanpa kamera. Tapi di sanalah ironi tinggal. Sebab suara kita hanya sampai pada meja sebelah, tak pernah menembus dinding kekuasaan. Kita hanya bisa berharap, di antara sisa ampas dan tumpahan kopi, bahwa masih ada ruang untuk didengar.
Dan ketika demokrasi menjadi pameran lima tahunan, di mana rakyat diberi panggung hanya untuk memilih lalu kembali dilupakan, kita pun bertanya: masihkah demokrasi ini tentang kita, atau hanya tentang mereka yang pandai berdalih dan lihai bermain opini?
Karena jika benar demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, mengapa yang kenyang hanya segelintir, sementara kita terus menyeruput pahit hari demi hari?
Barangkali, warung kopi bukan sekadar tempat minum. Ia adalah ruang rindu---akan negeri yang adil, pemimpin yang peduli, dan suara yang tak hanya didengar, tapi juga diindahkan.
Demokrasi di Warung Kopi: Ruang Wacana yang Semu
Di warung kopi, demokrasi seperti lagu lama yang diputar berulang: liriknya akrab, nadanya merdu, tapi maknanya sudah hambar. Di sana, rakyat menjadi pemikir, kritikus, sekaligus pelawak. Dari tukang ojek hingga guru honorer, dari pengangguran hingga buruh harian, semua menyumbang pendapat. Mereka membedah kebijakan, mengutuk korupsi, dan melontarkan solusi-solusi yang tak pernah ditulis di naskah resmi negara.
Namun sesungguhnya, itu bukan ruang diskusi---itu ruang pelarian. Kita bicara, karena tak ada tempat lain untuk bersuara. Kita berdebat, karena diam hanya akan membuat batin makin sesak. Tapi suara-suara itu mengendap di dinding-dinding warung, tak pernah sampai ke telinga mereka yang duduk di singgasana keputusan.