Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Pengurus Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Penyuluh Antikorupsi; Negarawan

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hidup Bukan Sekedar Sebolehnya Peraturan

24 Maret 2025   02:42 Diperbarui: 24 Maret 2025   03:52 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak Menelan Korban

"Hidup bukan sekedar sebolehnya peraturan tetapi seharusnya peraturan dan bagaimana sebaiknya"

Begitu ujar Mudjisantosa, salah satu ahli pengadaan terbaik yang saya kenal.

Berkali-kali ia katakan itu di berbagai kesempatan. Baik di ruang kelas pengadaan, maupun di forum obrolan.

Saya termasuk pengagum caranya mengajar dan bersikap. Terutama ketika ia menyikapi soal penerapan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor yang mengatur delik kerugian negara.

Menurutnya, penerapan pasal tersebut sudah salah kaprah dan kebablasan. Khusus di pengadaan, sudah banyak korban yang terjerat hukuman pidana akibat 'kacamata kuda' APH.

Penjatuhan hukuman Tipikor dengan delik tersebut tidak melihat mens rea sebagai unsur pembuktian. 

Selama negara merugi, maka pelaku pengadaan yang terlibat di dalamnya bisa masuk bui.

Berdasarkan pengalaman dan petualangannya ke berbagai negara, Pak Mudji-sapaan akrabnya-selalu bercerita, "Tidak ada satu pun negara yang memasukan kerugian negara sebagai salah satu bentuk korupsi".

"Bahkan di UNCAC pun tidak ada", lanjut beliau.

Mendengarnya bicara seperti itu berkali-kali tak membuat saya bosan.

Saya memaknainya sebagai bentuk keresahan publik yang mungkin sudah terlalu lama tidak didengar.

Wajar jika ia berpendapat, delik kerugian negara harus dihapuskan dari Undang-undang  Tipikor. Sebab, di lapangan sudah banyak pelaku pengadaan-yang tak punya niat jahat dan tak juga memperkaya diri atau orang lain-jadi korban.

Argumen Lain

Terlepas dari kekaguman saya terhadap beliau, saya punya argumen yang memaksa saya untuk beranggapan bahwa delik kerugian negara tetap harus ada di tempatnya sekarang.

Pasalnya, banyak modus korupsi yang tidak mampu dirumuskan dengan delik-delik lainnya.

Meski delik kerugian negara terkesan menjadi 'pasal karet', tapi membiarkannya tetap berlaku masih ada benarnya.

Saya bukan paling ahli dalam bidang ini dan karena itu bisa saja saya keliru. Tapi biarkan saya jelaskan argumen ini dengan singkat.

Contoh paling gampang bisa kita lihat baru-baru ini di media, ketika aktivis Kontras menerobos masuk ke ruang meeting di salah satu hotel mewah, tempat anggota DPR membahas RUU TNI secara tertutup.

Yang mampu saya kritisi dari berita itu bukan substansi RUU-nya, tapi masalah pemilihan tempat rapatnya.

Dengan beberapa pertanyaan yang sederhana, kita semua bisa menagih jawaban ke setiap orang yang hadir di sana. "Apakah Gedung DPR kekurangan ruang rapat?". 

"Kalau UU TNI tidak segera direvisi, apakah Indonesia akan kiamat?".

"Lantas, apa urgensi sebuah rapat yang tidak terlalu mendesak harus dilaksanakan di hotel mewah?".

"Bukankah Presiden Prabowo telah mengeluarkan kebijakan efisiensi, yang salah satunya mengurangi kegiatan rapat-rapat di hotel?".

"Apa DPR sudah berubah menjadi oposisi dalam hal ini, atau justru ini bentuk diskriminasi?".

Saya yakin, mereka cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Biar saya tebak, jawaban yang pertama yang keluar adalah aturannya masih membolehkan.

Aturan macam apa yang membolehkan negara harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk sebuah rapat yang bisa dilakukan di dalam gedung DPR?

Dengan kelakuan aparat pemerintah yang semacam ini-sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya-delik kerugian negara sepertinya masih diperlukan.

Penyamaan Persepsi

Pasalnya orang-orang semacam ini akan selalu berlindung di balik aturan yang membolehkan.

Oleh karena itu-menurut saya-bukan delik kerugian yang harus dihilangkan, namun persepsi tentangnya yang perlu disamakan.

Perlu ada penyamaan persepsi terkait penerapan delik kerugian negara, baik kalangan APH, akademisi, maupun pelaku pengadaan.

Contoh yang saya sebutkan di atas pun terdapat peran pelaku pengadaan di dalamnya.

Tidak mungkin rapat yang dilangsungkan di hotel dilakukan tanpa peran pejabat pengadaan/kelompok kerja pemilihan dan pejabat pembuat komitmen.

Jangan sampai muncul di media, Pelaku Pengadaan dipidana akibat merugikan negara dalam kasus 'rapat di hotel mewah'.

Sehingga, mekanisme pengajuan rapat di luar kantor perlu dipertegas.

Perlu ada keberanian dari pelaku pengadaan untuk menolak 'kenginan' rapat di hotel mewah.

Perlu ada standar kegiatan yang dapat dilaksanakan di luar kantor.

Perlu ada dokumentasi yang mampu menjawab, seberapa perlu rapat instansi pemerintah dilakukan di luar kantor?

Dan meski aturannya masih membolehkan, perlu ada kesadaran dari semua pihak, bahwa hidup bukan sebolehnya peraturan.

Jika aturan itu dibentuk berdasarkan moralitas- tanyakan kepada diri kita sendiri-ada di level mana moralitas kita saat ini?

Moralitas macam apa yang membolehkan negara jadi merugi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun