Saya memaknainya sebagai bentuk keresahan publik yang mungkin sudah terlalu lama tidak didengar.
Wajar jika ia berpendapat, delik kerugian negara harus dihapuskan dari Undang-undang  Tipikor. Sebab, di lapangan sudah banyak pelaku pengadaan-yang tak punya niat jahat dan tak juga memperkaya diri atau orang lain-jadi korban.
Argumen Lain
Terlepas dari kekaguman saya terhadap beliau, saya punya argumen yang memaksa saya untuk beranggapan bahwa delik kerugian negara tetap harus ada di tempatnya sekarang.
Pasalnya, banyak modus korupsi yang tidak mampu dirumuskan dengan delik-delik lainnya.
Meski delik kerugian negara terkesan menjadi 'pasal karet', tapi membiarkannya tetap berlaku masih ada benarnya.
Saya bukan paling ahli dalam bidang ini dan karena itu bisa saja saya keliru. Tapi biarkan saya jelaskan argumen ini dengan singkat.
Contoh paling gampang bisa kita lihat baru-baru ini di media, ketika aktivis Kontras menerobos masuk ke ruang meeting di salah satu hotel mewah, tempat anggota DPR membahas RUU TNI secara tertutup.
Yang mampu saya kritisi dari berita itu bukan substansi RUU-nya, tapi masalah pemilihan tempat rapatnya.
Dengan beberapa pertanyaan yang sederhana, kita semua bisa menagih jawaban ke setiap orang yang hadir di sana. "Apakah Gedung DPR kekurangan ruang rapat?".Â
"Kalau UU TNI tidak segera direvisi, apakah Indonesia akan kiamat?".
"Lantas, apa urgensi sebuah rapat yang tidak terlalu mendesak harus dilaksanakan di hotel mewah?".