"Tidak usah berkelit, Rio. Sudah jawab saja pertanyaanku!, kamu masih suka kan sama Nova?."
"Pertanyaanmu terlalu rumit dan tidak masuk akal, aku tidak bisa menjawabnya."
"Tidak bisa, atau tidak mau. Dasar laki-laki!. Semuanya tidak ada yang bisa dipercaya."
"Terserah kau saja, aku sedang tidak ingin bertengkar hari ini. Lebih baik sekarang aku pergi!."
Dan pembicaraan tentang Nova pun berakhir.
Jari-jemariku sedang menari-nari di atas keyboard komputer. Di meja kerja aku sedang mengerjakan laporan perjalanan dinas untuk atasanku di kantor. Aku tak pernah menyangka, mengapa aku bisa bekerja di Instansi Pemerintah sebagai Operator Komputer yang tak ubahnya seorang babu, mengerjakan tugas-tugas penting yang seharusnya dikerjakan sendiri oleh atasanku yang bodoh itu.
Memang benar kata orang tuaku, tinggal di perantauan bukan hanya harus tahan banting, tapi juga harus kuat mental, mengingat status pendidikanku yang tak sampai ke perguruan tinggi, aku tidak bisa pilih-pilih pekerjaan. Dengan status pendidikan yang hanya sampai jenjang SMA, aku terpaksa harus puas bekerja seperti kacung yang menggantungkan nasib pada belas kasihan orang-orang yang lebih beruntung dariku.
"Bagaimana, Rio. Sudah sampai semester berapa kuliahmu?." Ujar atasanku. Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik menjawab pertanyaan itu. Toh, menurutku dia hanya sok akrab saja.
"Sudah semester lima pak. Yah, beginilah pak susahnya kuliah sambil kerja." Sahutku, yang kemudian dibalas dengan tatapan iba.
Melihat sejenak ke belakang, di saat aku sedang mendengarkan segala keluh-kesah nova di samping meja kerja. Sayup-sayup kuingat semua omong-kosong dan segala janji-janji palsu yang keluar dari bibirku, bak seorang motivator. Kini takdir telah berkata lain. Waktu seolah mengubah kami menjadi orang yang berbeda. Kini kami tak lagi bertegur sapa. Masih kuingat janji terakhir yang kuucapkan tiga tahun yang lalu. Dengan yakin aku bersumpah di hadapannya, bahwa aku akan selalu ada di sampingnya kapanpun Ia membutuhkanku.
Tak lama setelah itu nova tertimpa musibah, Ibunya meninggal akibat kanker payudara. Sayang aku tak pernah ada untuknya. Kubiarkan dia berkabung sendirian di dalam kedukaan yang teramat dalam. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi.