Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Serat Centini [11]

1 Januari 2013   09:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:41 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Syahdan , yang ada di padepokan Giri Kedaton Sunan Giri Prapèn sedang menerima kedatangan Senapati Endraséna, juga dihadiri para wadya santri, Kanjeng Sunan Giri Prapen  sedang membicarakan tentang keberhasilan prajurit  Giri, yang berhasil mengundurkan pasukan dari Surabaya.

Endraséna, bagaimana perkiraanmu, kira-kira musuh dari Mataram dan Surabaya akan datang lagi apa tidak ?” tanya Sunan Giri.

Endraséna menjawab takzim ; ” kanjeng Sunan, saya kira prajurit Surabaya sudah lari jauh, mungkin kembali ka Kadipaten Surabaya. Tidak mungkin mereka akan kembali lagi menyerang Giri Kedaton. Lagi pula, ketika pasukan Surabaya melihat terjangan amukan hamba, tak satupun yang berani mendekat. Kalaupun mereka berani datang lagi ke Giri Kedaton, dapat hamba katakan sulung mlebu geni, , bahkan sekalipun  Sultan Agung ing Mataram jika beliau melihat sepak terjang hamba, pasti menjadi ketakutan.

Belum lama Kanjeng Sunan membicarakan taktik dan strategi perang berikutnya, terdengar suara heboh di  balai pagelaran, prajurit sandiyuda [pangalasan] berteriak, bahwa Giri kedatangan musuh. Sedangkan bertindak selaku Senapati dari Surabaya naik   joli jempana.

Sunan Giri Prapèn terkejut mendengar laporan dari pangalasan,;” Endrasena, segera siapkan prajurit, dan kita hadapi mereka, aku hanya mendoakan agar kalian dalam keadaan selamat”.

Éndraséna segera bergegas mengenakan busana kaprajuritan, mengumandangkan perintah siaga tempur, prajurit Giri dalam waktu relative singkat sudah terjun di medan laga. Tengara paguting jurit, bedhug tinatab, surak maneker langit.

***

Sepak terjang prajurit Giri melawan prajurit Surapringga, sepertinya tidak ada yang mampu menandinginya, sabetan pedang , tusukan tombak bertubi-tubi, mereka bagaikan   banthèng kataton. Adapun wadyabala dari Surabaya sepak terjangnya bagaikan  singa krura manggalak sungguh menakutkan, agaknya kedua prajurit Giri maupun Surabaya sama-sama tidak takut mati.

Sedangkan prajurit yang sudah tewas, diinjak-injak oleh kekdua golongan yang sedang bertempur, kedua pihak sama-sama tidak ada yang pecundang, mereka rela mati demi menjadi harga diri masing-masing.

Prajurit Surabaya tekadnya hanyalah satu yaitu kesetiaan tunggal untuk rajanya, mereka sudah rela mati, dan semua itu dilakukan untuk pengabdian yang sukarela pada Rajanya..

Adalah Senapati Endraséna dengan senjata pedangnya, sudah bergerak menerjang ke tengah medan pertempuran, lawan yang ada di hadapannya tewas karena sabetan pedangnya,

Ratu Pandansari saat itu melihat prajurit Surabaya yang berlari menepi mendekati hutan, kemudian ditegurnya;” hèh wadya Surabaya, kalian akan kemana ?”

Mereka menjawab hampir bersamaan;” akan isitirahat dulu”

Memang setelah nafasnya pulih kembali, mereka maju lagi menghadapi lawan dari Giri Kedaton.

Karena sudah segar badannya, maka sepak terjangnya lebih hebat dari sebelumnya. Melihat keadaan prajurit Surabaya yang menerjang barisan Giri, Senapati Giri Endraséna, segera mengeluarkan senjata golok panjang, kemudian memutarnya bagai titiran, menyabet semua prajurit Surabaya yang ada di depannya.

Ratu Pandhansari sudah tidak sampai hati melihat amukan Senapati Giri, kemudian minta pendapat suaminya ; ” wahai kakanda adipati, Senapati Cina  itu sudah gila, seperti kerasukan seta, apa diijinkan hamba menembaknya ?”

Pangeran Pekik hanya menganggukan kepala, ratu Pandhansari  segera mengisi pistolnya dengan peluru, dan diarahkan ke dada Endraséna, dan peluru menembus tangan kanannya, Endrasena terkejut, karena tidak menyangka kalau akan ada serangan  dengan senjata api,  golok panjangnya terjatuh, tetapi masih saja menerjang musuh dengan menggunakan kerisnya.

Dan terdengar letusan yang kedua kalinya , mengenai lengan kiri Senapati Giri sang Endrasena. Keris terlempar, namun Endraséna masih bisa mengamuk dengan tendangan kakinya, sundulan kepalanya, dengan segala cara.

Darah mengucur semakin deras dari lengan kanan dan kirinya, yang rasanya semakin lumpuh .

Ratu Pandhansari  segera melepaskan tembakan diarahkan pada kakinya, tembakan yang ketiga kalinya mengenai pahanya, dan Endrasena pun jatuh terjerembab.

Para prajurit  Magersari yang tadinya masih bersembunyi menunggu perintah, kini mendengar letusan yang ketiga, seperti air bah, prajurit  cadangan ini berlari menuju medan pertempuran, karena tenanganya masih baru, maka sepak terjangnya lebih menakutkan.

Prajurit santri Giri Kedaton, yang sudah kecapekan gugup menghadapi lawan baru yang masih segar, dalam jumlah yang lebihbanyak, karena mereka adlah prajurit dari Mataram.

Wadyabala dari Giri Kedaton dan bantuan pasukan dari Cina  sama sekali tidak mengira bahwa prajurit Surabaya hanyalah yang ada di medan pertempuaran, yang jumlahnya sekitar tiga ratusan. Kini yang datang justru lebih besar ada tiga kali lipat. Hal ini menjadikan prajurit Giri kedaton  menjadi hilang semangatnya, karena sudah disusupi rasa takut pada dirinya.

Wadya  Giri ketika melihat, prajurit Surabaya yang  berdatangan semakin banyak,  nyalinya menjadi menciut, dan prajurit Surabaya memanfaatkan kesempatan yang baik ini. Tanpa ampun lagi mereka menerjang barisan Giri yang  mulai mundur itu, dengan sabetan senjatanya. Mereka yang masih ingin hidup lebih baik melarikan diri ke gunung atau terjun ke sungai.

Kini prajurit Surabaya dan Mataram sudah berhasil menguasai keadaan, dan kota Giri Kedaton, telah dikepung, semua harta benda yang ada di dalam rumah penduduk maupun ditempat Sunan Giri dikumpulkan menjadi rampasan perang.

***

Dalam pada itu, putra Sunan Giri Papèn dari garwa ampéyan ada tiga orang yaitu ; radèn Jayèngresmi, Jayèngsari lan Nikèn Rancangkapti.

Kehendak radèn Jayèngresmi, kedua adiknya akan dibawa lari keluar dari Giri Kedaton, untuk mengungsi ketempat yang aman, namun dicari disemua tempat tidak ada.

Melihat situasi yang sudah tidak dapat diharapkan lagi, maka segera meloloskan diri. Dan tak seorang pun yang melihat kemana perginya radèn Jayèngresmi. Pangeran Pekik menyuruh para prajurit untuk mencari keturunan Sunan Giri Prapen, agar segera ditangkap.

Adapun Radèn Jayèngsari dan Nikèn Rancangkapti tidak pernah berpisah, keduanya sedang kebingungan mencari kakaknya radèn Jayèngresmi, kemudian keduanya bertemu santri Buras.

“ wahai tuanku, prajurit Giri sudah kalah dalam pertempuran, sebaiknya paduka berdua melarikan diri saja, karena kalau tertangkap prajurit Surabaya, maka akan dijadikan pesakitan, dibawa ke Mataram dan dijatuhi hukuman. Rakanda Jayengresmi sudah mendahului lari, tidak ada yang mengawal.”

Mendengar keterangan dari santri Buras, radèn Jayèngsari bertanya pada adiknya “ adik, sebaiknya bagaimana?”

Rancangkapti menjawab;” kakang, pokoknya aku ikut kemana kakang pergi

Radèn  Jayèngsari semakin cemas ” maksudku aku akan mencari kakang Jayengresmi, dan kita sebaiknya jangan berpisah

Buras  berkata” Gus, ijinkan hamba mendampingi paduka berdua, mari sebaiknya kita segera bergegas meninggalkan tempat ini.”

mari kita segera berangkat, sebelum prajurit Surabaya menemukan kita” desak radèn Jayèngsari

kakang aku bersolek dulu ya, itu mainanku aku kumpulkan dulu nanti paman Buras yang membawa, bèsèk temantènan, ambèn cilik rana cilik, bagor isi dhuwit wingka, cowèk wajan, anglo keren, kendhil, kwali, irus, rok-érokan, solèt, susuk cilik, bagor cilik isi beras, ténong cilik isi bumbu aja cicir lan cuwilan bata, kembang jambu, ampas klapa lan kunir enjet angus wajan

terus bagaimana cara membawanya, den” tanya Buras.

ya bagaimana caranya, pokoknya jangan ada yang ketingggalan”jawab Niken Rancangkapti

“ tobat..tobat, dhuh bendara apa lagi

paman Buraas, cepat dibantu mengumpulkan mainanku

Radèn Jayèngsari mendengar sorak sorai prajurit yang bergemuruh  menggetarkan itu, Rancangkapti segera ditarik, diberikan pada ki santri Buras “ kakang turunkan aku, mainanku masih ketinggalan

semuanya sudah hamba upahkkan pada tukang pikul, den rara

Sudah jauh raden Jayèngsari lolos dari pesantren Giri, dan masuk ke dalam hutan, kemudian mendaki gunung buthak ke arah barat.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun