Mohon tunggu...
Sasetya wilutama
Sasetya wilutama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Pemerhati budaya

Mantan redaktur majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat Surabaya dan pensiunan SCTV Jakarta. Kini mengabdi di almamaternya, Stikosa-AWS Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Saya dan Perusahaan Media Melakukan Transformasi Digital? (1)

21 Februari 2024   10:16 Diperbarui: 21 Februari 2024   10:27 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya beruntung mengalami dan terlibat aktif dalam tiga periode masa perkembangan teknologi media pers. Di usia kepala enam ini, tidak banyak teman-teman se-angkatan saya yang masih bergerak aktif di bidang media. Sebagan besar memilih alih profesi:  berbisnis, menjadi dosen atau pejabat publik, aktifis partai atau sekedar momong cucu.

Periode pertama adalah masa kejayaan media cetak. Tahun 1984, saat saya memulai karir sebagai wartawan di majalah berbahasa Jawa "Penyebar Semangat", sambil kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (sekarang Stikosa-AWS). Pada masa itu, harian sore "Surabaya Post" adalah harian terbesar di Jawa Timur, sebelum Eric Samola (alm) Dirut majalah "Tempo" pada tahun 1982 mengakuisisi harian pagi "Jawa Pos", yang kemudian berkembang sangat pesat di tangan Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kabiro Tempo di Surabaya.  Menjadi kebanggaan tersendiri jika bisa diterima sebagai wartawan di dua surat kabar tersebut. Setidaknya bagi kami, yang saat itu masih kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).

Namun saya memilih jalur sendiri, dengan bergabung di majalah berbahasa Jawa "Penyebar Semangat".  Dan puluhan tahun kemudian, saya menyadari bahwa pilihan saya tepat. Pertama, saya bisa menulis karya jurnalistik maupun karya sastra dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kedua, saya mendapat gambaran proses media cetak "jadul", sebelum era 70-an, yang seluruhnya dikerjakan secara manual atau konvensional. Padahal di akhir tahun 80-an itu, komputer sudah mulai digunakan oleh surat kabar yang bertiras besar, termasuk di harian Surabaya Post dan Jawa Pos.

Menurut sejarahnya, dikutip dari situs Bakti Kominfo, sejarah perkembangan Komputer di Indonesia sudah dimulai tahun 60-an. Pada tahun 1967 komputer mulai merambah tanah air dengan melalui izin pemerintah. Namun surat kabar Indonesia mulai menggunakan komputer secara luas sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an. Penggunaan teknologi komputer memungkinkan proses produksi surat kabar menjadi lebih efisien dan cepat. Mulai dari penulisan dan penyuntingan artikel, tata letak halaman (lay out), hingga pencetakan dan distribusi. Hal ini membantu meningkatkan produktivitas, mempercepat proses produksi, dan memungkinkan penyediaan konten yang lebih cepat kepada pembaca.

Bahkan pada tahun 1988, harian "Jawa Pos" mengawali teknologi cetak jarak jauh, yang memungkinkan surat kabar ini diterima lebih pagi dan lebih cepat diterima oleh pembaca. Disusul beberapa tahun kemudian Harian "Kompas" juga menggunakan teknologi yang sama. Di sisi lain, banyak bermunculan media cetak baru, mulai dari surat kabar dan majalah, berbagai genre dan tampilan yang lux, full colour. Era tahun 80-90'an adalah puncak keemasan penerbitan media cetak.

Namun penggunaan teknologi komputer ini belum berlaku di Majalah berbahasa Jawa pada umumnya, khususnya di majalah "Penyebar Semangat". Setidaknya sampai saya resign pada tahun 1993, majalah ini masih menggunakan cara konvensional alias jadul.

Setiap naskah berita atau artikel dari wartawan maupun penulis dari berbagai daerah dikirim ke redaksi melalui pos, berbentuk naskah cetak dilengkapi beberapa foto. Namun tidak sedikit para penulis daerah yang menggunakan tulisan tangan. Naskah tersebut dikoreksi oleh tim redaksi. Banyak coretan disana-sini dibubuhi tambahan tulisan revisi oleh redaksi dengan tulisan tangan. Kemudian naskah final tersebut dikirim ke bagian setter, untuk diketik ulang menggunakan mesin setter (mesin ketik elektrik) diatas kertas kalkir, dengan format kolom majalah.

Seorang petugas Korektor naskah akan memeriksa hasil ketikan juru ketik, dicocokkan dengan naskah final aslinya. Jika ada kesalahan kata (typo), maka petugas korektor akan menggantinya dengan kata yang benar. Yaitu dengan melubangi kata yang salah cetak tersebut dengan pisau cutter dan menggantinya dengan kata yang benar, dan direkatkan menggunakan selotipe. Walaupun sekilas kelihatan remeh, namun pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan pemahaman bahasa Jawa yang baik.

Kemudian lembaran-lembaran kertas kalkir yang sudah tercetak hasil ketikan format kolom majalah tersebut dikirim ke bagian lay out untuk ditata sesuai peruntukan halaman. Dengan peralatan gunting dan selotipe, petugas lay out akan menata satu persatu lembaran kertas kalkir tersebut. Sedangkan untuk foto-foto diproses terlebih dahulu menjadi film negatif, kemudian ditata sekalian oleh petugas lay-out sebagai ilustrasi tulisan. Setelah kuota naskah untuk satu edisi penerbitan terpenuhi, hasil lay-out itu dikirim ke ruang laboratorium foto untuk dicetak diatas plat aluminium seukuran satu halaman surat kabar. Dari plat aluminium itu kemudian dimasukkan ke mesin cetak offset, menghasilkan ribuan lembaran koran.

Sampul majalah dicetak tersendiri karena menggunakan bahan kertas yang berbeda, full colour dan kualitas yang lebih bagus. Untuk cetak foto sampul berwarna, menggunakan teknik separasi (teknik pemisahan warna). Karena belum mempunyai peralatan mesin separasi, maka khusus untuk separasi foto berwarna, biasanya dikerjakan oleh studio film di kawasan Blauran Surabaya.

Sebelum tahun 1995, majalah "Penyebar Semangat" belum menggunakan komputer. Seluruh staf Redaksi dan Tata Usaha menggunakan mesin ketik manual. Bahkan ada beberapa mesin ketik kuno buatan tahun 50-an yang masih digunakan, bahkan mungkin lebih lama. Ukuran mesin ketik itu sangat besar, kokoh dan berat. Saya mengatakan mesin ketik kuno ini anti maling, sebab sangat berat jika diangkat seorang diri. Jika digunakan, menimbulkan suara riuh. Jedag-jedog....seolah menggetarkan tembok.  Walaupun demikian, teman redaksi yang menggunakannya tampak enjoy, menggunakan mesin ketik kuno itu selama bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun