Episode 3: Lebih Beruntung
Aku melaksanakan salat zuhur di musala tempat wawancara kerja, lalu melangkah ke luar menuju halte. Angkutan umum berwarna biru membawaku pulang.
Lagu-lagu milik Opick memenuhi ruang dengar aku dan seorang perempuan yang menggendong bayi. Setelah perempuan itu turun, aku satu-satunya penumpang tersisa.
Sepanjang perjalanan aku hanya menatap lalu-lalang kendaraan sambil sesekali menatap ke depan. Tak lama lagi aku akan sampai ke rumah tempat pulang selama dua puluh dua tahun. Namun, sopir tiba-tiba menepikan kendaraan yang dikemudikannya. Sesaat kemudian angkutan umum itu berhenti.
"Bang, maafin saya, bensinnya habis. Abang cari angkot lain aja, ya," kata lelaki yang rambutnya telah meninggalkan warna hitam itu.
"Oh, ya udah Pak, saya turun di sini aja," kataku lalu menyerahkan uang pecahan sepuluh ribu terlipat-lipat yang kuambil dari saku celana.
"Nggak usah, Bang. Nggak usah bayar, Abang belum sampe tujuan, saya nggak enak." Dia menyerahkan kembali uang kertas itu dalam genggamanku.
"Nggak apa-apa, Pak. Rumah saya udah deket, jalan kaki sebentar juga sampe. Ini hak Bapak. InsyaAllah saya ikhlas." Aku menyerahkan kembali uang itu dalam genggamannya dan melangkah turun.
"Makasih ya Bang, makasih banyak," katanya setengah berteriak.
Aku mengangguk. Ada haru yang kutangkap dari matanya. Aku meneruskan langkah menuju rumah. Sambil bersenandung kecil dan beberapa kali harus mengelus dada karena bunyi klakson memekakkan telinga ketika hendak menyebrang ke arah berlawanan.
Sekitar sepuluh menit, langkahku berhasil sampai ke tempat tujuan. Emak yang sedang memilah jagung kering dalam nampan mendongak ketika melihatku.