Mohon tunggu...
Sarifisha
Sarifisha Mohon Tunggu... Lainnya - @sarifisha.svz

Nothing is impossible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Palestina yang Tak Berpihak

5 Desember 2020   07:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   17:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Tanpa mengenal tempat dan waktu, di manapun dan kapanpun, Fazea selalu berkutat dengan buku-bukunya. Ia membulatkan tekad mewujudkan impiannya. Ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri sebelum menyandang gelar dokter. Fazea selalu mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Ia hanya ingin melihat ayah dan bunda bahagia dengan kesuksesannya nanti. Fazea juga berpikir bahwa ia harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Ayah dan bunda yang melihat Fazea seperti itu khawatir ia akan drop.

      Tujuh bulan sudah terlewati, telinga Fazea mendengar kabar bahwa universitas di Paris yang menjadi harapan Fazea sudah membuka beasiswa pendaftaran mahasiswa baru. Fazea sangat senang mendengarnya. Awalnya Fazea ragu karena kondisi tubuhnya. Lalu, Fazea membuka kembali buku berwarna biru yang tersimpan rapi di rak. Buku ini tak asing lagi bagi Fazea, berisi impian besar Fazea untuk melanjutkan sekolah ke Paris dan mimpi mulianya untuk Palestina. Dengan optimis Fazea mendaftarkan diri di fakultas kedokteran. Ayah dan bunda selalu mendukungnya selama itu yang terbaik untuk Fazea.

     Tertulis di kartu pendaftarannya, -Fazea El Shandy1784- yang artinya Fazea mendapatkan nomor urut 1784. Jumlah yang sangat banyak menurut Fazea. "Aku harus bisa, Fazea bukan orang lemah, buktikan kalau kamu bisa Fazea!" Gumamnya dalam hati. Fazea harus melakukan tes dua minggu lagi, waktu yang cukup singkat untuk Fazea untuk mempersiapkan semuanya. Hampir setiap malam Fazea tidak tidur. Hanya buku yang menjadi temannya. Di samping usahanya itu, Fazea tak lupa berdoa agar semuanya dipermudah. Ia lawan rasa kantuknya demi mimpi. Hari demi hari ia lewati sampai datang hari yang menurut Fazea sangat menakutkan.

     Pagi ini Fazea ditemani ayah, bunda, dan kedua adiknya. Mentari menyambut Fazea riang. "Semangat Kak," Haidar memberi semangat. "Kak Fazea pasti bisa!" Sambung Sauveza. "Siap bos-bosku," jawab Fazea dengan nada optimis. "Nak, hati-hati ya mengerjakan soalnya, doa bunda selalu menyertaimu," suara bunda lembut. "Iya Bun, Fazea pamit masuk ruangan dulu ya Yah, Bun," jawabnya.

     Di dalam ruangan, pengawas menyapa peserta yang hadir dan membagikan soal ujian. "Perhatian! Peserta diperbolehkan mengerjakan soal setelah tanda bel berbunyi, tolong diperhatikan petunjuk-petunjuk pengerjaan soalnya," pengawas menerangkan kepada seluruh peserta. Sepuluh menit kemudian, teng...teng...teng... Bel berbunyi, tanda soal sudah bisa dikerjakan. Fazea yang duduk di pojok kanan depan awalnya gugup melihat tumpukan soal di hadapannya. Fazea menghabiskan waktu lima belas menit untuk menenangkan dirinya, ia terus berdoa dan selalu mengingat buku biru miliknya. Setelah itu, Fazea mulai bergerak mengerjakan soalnya. Ia berusaha semaksimal mungkin, ia tuliskan semua jawaban yang ia dapatkan selama ini. Teng...teng...teng..., Tiba-tiba bel berbunyi. "Waktu tinggal lima menit," kata pengawas. Saat itu ada dua soal yang belum terjawab, Fazea sangat gugup dan terus berusaha memberikan jawaban terbaik untuk kedua soal tersebut. Tanpa ia sadari, bel berbunyi lagi. Tanda waktu telah usai. Fazea lega karena telah mengerjakan semua soal yang tersedia. Fazea hanya bisa pasrah dan berharap. Ia yakin usaha yang selama ini dilakukan tak akan berkhianat. Kemudian, ia keluar ruangan dan disambut riang oleh keluarganya. 

    Singkat cerita, Fazea lolos seleksi dan dinyatakan sebagai mahasiswa universitas di Paris. Dari 3700 peserta, Fazea masuk tujuh puluh peserta yang lolos. Pengorbanan yang selama ini Fazea lakukan terbayar sudah. Ayah dan bunda sangat bangga, begitu pula bapak ibu guru Fazea. Bunda yang saat itu duduk di samping Fazea mengeluarkan air mata haru. Awalnya bunda berat ingin melepas Fazea sendirian di negara lain. "Nak, nanti kalau Fazea sudah berangkat, jaga diri baik-baik ya, pesan bunda jaga kesehatan dan teratur minum obatnya," Suara bunda lembut. " Iya Bun," Fazea tak mampu lagi membendung air matanya.

                                                         ***

Paris, November 2006

     Fazea menyapa Kota Paris dengan koper dongkernya yang setia menemani. Ia menikmati pemandangan Kota Paris dan butiran salju yang turun dari langit. Jaket tebal yang melekat pada tubuh Fazea dan syal di lehernya membuatnya merasa hangat. Ditambah secangkir teh panas yang siap menjadi teman ngobrol kali ini. Sesekali ia menatap langit Kota Paris, " Palestina, tunggu aku di sana, aku akan ada untukmu tujuh tahun nanti," gumamnya dalam hati. Ia masuk ke kamar dan mengambil buku biru yang ia bawa dari Indonesia. Ia buka kembali impian-impian yang ia tulis dua tahun lalu. "Biarkan tulisan di dalam buku ini dan langit Kota Paris menjadi saksiku menggapai mimpi," katanya dalam hati. Lalu, ia mengambil pena dan menambahkan tulisan singkat di lembar paling belakang. "Ayah dan bunda, sekarang Fazea sudah di Paris, mimpi Fazea untuk belajar di Paris terealisasikan. Tentunya semua ini tidak lepas dari doa dan support ayah bunda. Masih ada satu impian besar Fazea untuk Palestina yang harus kuwujudkan. Aku harap tujuh tahun kemudian, aku bisa mewujudkannya. Terima kasih ayah, bunda. Sehat selalu di Indonesia. Salam Fazea."

      Pagi ini langit sangat cerah, kulangkahkan kaki menuju kampus impian. Rasanya senang sekali. Ya, hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Kusapa bangunan di hadapanku dan kuucapkan terimakasih karena telah menerimaku menjadi bagiannya. Banyak teman yang kutemui dari berbagai negara. Kami saling berkenalan. Kegiatan kuliah hari ini hanya memperkenalkan diri dan mempresentasikan negara asal. "Hi, my name is Fazea El Shandy. You can call me Fazea. I am from Indonesia." Aku mulai menceritakan Indonesia panjang lebar kepada teman-teman baruku dengan bahasa Inggris yang kubisa. 

     Enam bulan kemudian, aku mulai disibukkan dengan berbagai tugas kampus hingga terkadang aku lupa minum obat. Akhir-akhir ini kondisiku melemah. Aku sering tidur larut atau bahkan tidak tidur mempersiapkan tugas esok. Rasanya lelah sekali, ingin nyerah. Tapi aku selalu ingat, ada ayah bunda yang harus kubahagiakan,ditambah impianku untuk Palestina. Tidak mungkin aku nyerah semudah itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun