Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Terlalu Perhitungan, Rezeki Pun Hilang

5 Desember 2019   21:49 Diperbarui: 7 Desember 2019   04:48 2199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biasanya orang yang perhitungan itu supaya menghemat. Biasanya. Tapi siapa sangka, karena terlalu perhitungan, rezeki nenek saya jadi hilang. 

Begini ceritanya, nenek saya punya pisang di kebun depan rumah kami. Pagi tadi ada penjual pisang yang ingin membeli pisang nenek saya. 

Nenek saya meminta agar pisangnya di beli 50ribu, tetapi penjual pisang itu tidak mau, dia hanya menghargai 35ribu, lalu ibu saya bilang, "tambahi 5ribu pak." 

Tapi bapak penjual pisang tidak mau menambah lima ribu. Ia hanya memberi uang nenek saya 35ribu. Nenek saya malah menaruh satu persatu uang itu (kami menyebutnya menjembreng atau menjemur) di depan ia duduk dengan penjual itu. 

Kenapa nenek saya melakukan hal itu? Tanda tidak terima pisangnya hanya dihargai 35ribu. Penjual pisang tersinggung, lalu uang itu diambil lagi dan pergi.

Ibu saya berteriak memanggil penjual pisang itu untuk kembali lagi, dan menerima pisang nenek saya hanya dihargai 35ribu. Nenek saya pun ikutan berteriak.

Tapi, penjual itu sudah tidak menoleh ke belakang, berlalu begitu saja tanpa pamit. Lucu sekali pemandangan itu menurut saya. Sehingga saya hanya bisa tertawa setengah mengejek nenek saya. Haha.

Kenapa saya mengatakan setengah mengejek nenek saya? Ya karena nenek saya hanya ikut-ikutan ibu saya, tanpa membuat logika-logika yang masuk akal tentang kenapa penjual hanya menghargai pisang nenek saya 35ribu. 

Sehingga akhirnya rezekinya yang 35ribu itu tidak jadi rezekinya, hemmm mungkin penjual pisang tadi salah alamat. Haha.

***

Saya sendiri adalah orang yang bisa dibilang tidak terlalu perhitungan jika sedang butuh, atau tidak terlalu perhitungan jika memang berniat membantu. 

Jadi bagi saya tidak masalah dapat uang atau tidak, yang penting saya bahagia. Bahagia bagi saya sederhana, bukan karena uang, tapi ketika saya berhasil menyelesaikan problem kehidupan saya satu persatu. Hehe.

Contohnya begini, waktu saya baru lulus SMA, saya diberi uang ayah saya 300ribu. Lalu uang itu saya belikan baju yang nantinya bisa saya kenakan untuk masuk kuliah. 

Saya tidak berpengalaman dalam hal jual-beli karena saya jarang sekali beli sesuatu yang sifatnya tawar-menawar. Karena rumah saya jauh dari mall, makanya saya beli ke pasar. 

Waktu di pasar saya langsung memilih dua baju, ibunya itu bilang dua baju 300ribu. Saya pun tidak menawar, langsung saja saya berikan uang itu ke penjual dan langsung pulang. Saya bahagia karena telah menyelesaikan problem tentang pakaian yang akan saya kenakan di hari pendaftaran kuliah. Haha.

Tapi sesampai di rumah, saya dimarahi ibu saya habis-habisan karena seharusnya saya bisa menawar baju itu. Ibu saya terus-terusan mengungkit-ngungkit bahkan diberitahukan ke tetangga-tetangga. Ya aku sih bodo amat. Haha. 

Setidaknya hari itu saya mendapat pelajaran dari kemarahan ibu saya yang meluap-luap bahwa jika membeli di pasar saya harus melakukan kegiatan tawar-menawar. Berhitung dulu memang penting dan bisa lebih berhemat. Hehe.

***

Lalu saya juga pernah membeli buku di Sriwedari. Buku-buku di Sriwedari itu murah-murah. Ada yang bekas, ada juga yang baru. Kita juga bisa membandingkan harga antara pedagang yang satu dengan pedagang sebelah-sebelah-dan sebelahnya. Sampai akhirnya di dapat buku yang sama dengan harga murah. Haha.

Tapi saya malas sekali jika harus membandingkan harga dari pojok kiri hingga mentok ke pojok kanan, sehingga jika sudah dapat buku yang saya cari ya langsung saya beli. 

Suatu ketika saya mendapatkan buku yang saya cari seharga 40ribu, karena saya ingat dengan pesan ibu saya bahwa ketika membeli sesuatu yang bisa ditawar seharusnya saya menawarnya. Akhirnya saya tawar jadi 35ribu. Haha.

Sesampainya di rumah, saya dimarahi ibu saya lagi, seharusnya saya menawarnya seharga 20ribu atau 25ribu. Kalau tidak dikasih mending saya pergi saja, nanti pasti dikasih. 

Jawab saya waktu itu, "Gak papa, penjualnya juga butuh uang. Mungkin itu emang rezekinya ibu penjual buku." Kali ini mungkin saya salah dalam perhitungan tawar menawar, haha.

***

Tapi ternyata ada kalanya kita tidak perlu perhitungan, toh malah gara-gara terlalu perhitungan akhirnya pisang nenek saya tidak jadi laku. Haha. 

Tapi jika difikir sebenarnya bukan hanya karena nenek saya yang terlalu perhitungan, tapi karena nenek saya terlalu mendengarkan omongan orang sehingga tidak punya pendirian sendiri.

Jika nenek saya punya pendirian, meski pisangnya hanya dihargai 35ribu, ya tidak masalah, toh jika di logika, paling ke penjual pisang itu nantinya akan dijual seharga 50ribu, itu artinya penjual pisang hanya mendapatkan 15ribu. 

Belum lagi jika ada yang menawar menjadi 40ribu, penjual pisang itu hanya mendapatkan 5ribu. Atau bisa jadi hari itu pisang itu belum laku, jadi penjual harus menjual lagi besok, jika belum laku lagi ya besok lagi, hingga akhirnya pisang itu laku, atau karena gak laku-laku akhirnya di makan sendiri. Ah, menyedihkan sekali.

Ya, menurut saya, dalam melakukan sesuatu kita jangan terlalu egois, sehingga melupakan kebutuhan orang lain juga. Toh karena egois,  pisang nenek saya tidak jadi dibeli, belum tentu penjual pisang itu nantinya mau mampir lagi ke rumah saya karena tahu nenek saya yang terlalu perhitungan. 

Padahal jika jadi di beli bisa jadi penjual itu jadi langganan pisang nenek saya. Haha. Lgipula pisang nenek saya tidak beli dari orang lain, tapi tumbuh sendiri di kebun rumah kami, rezeki dari Tuhan.  

Jadi ya sebaiknya nenek saya lebih baik berniat membantu orang lain yang membutuhkan, bukan malah mencari keuntungan dibalik kesempitan orang lain. Hehe.

Mungkin kita atau di sekitar kita sering berbuat demikian, mencari keuntungan dibalik kesempitan orang lain, untuk membuat diri kita sendiri bahagia, tapi kenyataannya yang ada tetap saja kita merasa ada yang kurang, tidak puas.

Malam ini nenek saya masih belum bisa tidur, menyesali pisangnya yang tidak jadi dibeli penjual pisang tadi, dan saya pun hanya bisa berharap semoga esok hari ada yang membeli pisang nenek saya seharga minimal 35ribu, sehingga nenek saya tidak bersedih lagi. Hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun