Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pak Nadiem, Perubahan Apa yang Harus Dilakukan untuk Mencetak Calon Guru?

25 November 2019   22:45 Diperbarui: 27 November 2019   09:08 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru dan murid. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Sebenarnya Pak Nadiem saya sendiri waktu itu berfikir dosen saya ini membuang-buang waktu, bayangkan 300 mahasiswa maju satu-satu menghadap beliau, 3 hari beliau sibuk sekali mewawancarai kami tentang RPP itu. Bahkan pekerjaan ini beliau mulai dari pagi pukul 8.00-21.00. Meski pada akhirnya, RPP yang sudah kami buat dengan bersusah payah itu hanya diloakkan.

 Setelah kami magang di sekolahpun, kami harus mencetak 3 laporan yang kebanyakan juga tentang RPP itu setebal 100 halaman lebih. Bahkan silabus yang kami download itu juga harus kami cetak. Padahal dosen kami sebenarnya mudah sekali mendownload, agar kami bisa berhemat juga.

Saya dan teman-teman saya sampai tidur di fotocopyan gara-gara hal ini. Untung tukang fotocopyannya baik sehingga tidak mengusir kami.

Benar Pak Nadiem, kami tahu bahwa potensi anak tidak di ukur dari hasil ujian, kami sudah mengalami bersekolah dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, Pak Nadiem. Sepanjang itu pula kami merasakan bahwa guru-guru kami selalu memuji-muji anak yang paling pintar di kelas.

Bahkan ketika di Perguruan Tinggi, kami malu sekali jika nilai kami tidak A. Kami malu sekali jika IPK kami tidak cumlaude. Bahkan bagi mahasiswa akhirpun, kami malu sekali ketika harus mengejar-ngejar dosen yang cueknya minta ampun, padahal kita ingin mendapat bimbingan.

Kita pun rela dibentak-bentak, dianggap bodoh, dan difitnah kami terlalu santai. Padahal Pak Nadiem, kami sampai tidak tidur mengerjakan skripsi agar bisa di acc pembimbing kami. Hingga kami merasa harus vacuum dari potensi-potensi kami sendiri demi nilai dan IPK yang memuaskan.

Benar Pak Nadiem, ketika menjadi guru, ingin sekali rasanya kami mengajak murid keluar kelas untuk belajar dengan alam. Bahkan ketika kami kuliah, senang sekali jika organisasi kami melakukan study tour atau refreshing secara outdoor. Bayangkan Pak Nadiem, 4 tahun kami kuliah, belum pernah sekalipun dosen kami mengajak belajar di luar ruangan.

Kami hanya duduk sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan dosen kami ceramah atau teman kami presentasi. Lalu kami disuruh bertanya, dan yang bertanya mendapatkan poin. Bahkan di kampus saya Pak Nadiem, ada yang namanya Shobron (mondok di pondok milik Universitas Muhammadiyah Surakarta selama 4 hari).

Kami kira, kami akan mendalami Islam, melakukan muroja'ah hafalan atau menambah ayat hafalan, atau diberi motivasi yang menyentuh untuk mendalami keimanan kami. Tapi ternyata tidak Pak Nadim, kami disana hanya disuruh aktif bertanya dan yang paling aktif mendapatkan nilai A. Apa ini? Emangnya kami anak TK.

Benar Pak Nadiem, setelah kami menjalani hidup hingga lulus dari Perguruan Tinggi, kami harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Kemampuan berkarya dan berkolaborasi dapat membantu kami menemukan pekerjaan.

Seperti yang anda katakan, kesuksesan terletak pada karya dan kolaborasi, bukan pada kemampuan menghafal. Tapi Pak Nadiem, ketika menjelang ujian, kami terlalu sibuk menghafal materi yang sudah dirangkumkan dosen-dosen kami di PPT. Bahkan materi yang pernah kita diskusikan atau debatkan di ruang kelas hingga kadang diperlebar dengan didebatkan di grup whatsapp kelas tidak pernah keluar saat ujian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun