Mohon tunggu...
Sarah Alifia Suryadi
Sarah Alifia Suryadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

lahir di Jakarta pada 8 Agustus 2003. Saat ini sedang menempuh semester 3 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa dan mendalami dunia kepenulisan sejak dua tahun terakhir. Pesan Ali bin Abi Thalib yang membuatnya semangat untuk menulis yaitu “Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.”

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Celah Usaha Konveksi Rumahan di Tengah Badai PHK

6 Desember 2022   13:03 Diperbarui: 22 Desember 2022   20:17 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin Jahit Ade Ruli, Pemilik Usaha Konveksi (Dok. Pribadi)

Potongan kain berserakan di sudut ruangan dengan lampu temaram, helainya jadi perca sisa yang dapat dipakai ulang. Sebuah mesin jahit tua mulai dikayuh sang pemilik, Ade Ruli (41) untuk menyatukan kembali potongan abstrak yang disulap menjadi cantik. Ia menjalani bisnis konveksi, menawarkan jasa yang selalu dibutuhkan manusia meski tak sadar.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengakui adanya peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja yang terjadi pada periode Maret hingga September 2022. Angka yang dirilis sekitar 10.000 orang yang terdampak PHK. Hal ini berimbas pada krisis yang masyarakat rasakan. Terlebih, saat terjadinya kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan minyak goreng pada tahun 2022.

Seorang ibu rumah tangga di Depok, Ade, memilih berbisnis konveksi untuk mendulang penghasilan. Bisnis ini ditekuninya sejak bertahun silam.

Ade memperoleh kemampuannya memproduksi pakaian secara ototidak. "Dulu, saya pernah bekerja di pabrik garmen untuk bagian quality control (QC). Saat mulai berumah tangga sekitar 20 tahun lalu, saya mulai sadar bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan belanja keluarga itu membengkak, termasuk untuk membeli pakaian. Jadi, perlahan saya amati cara kerja orang-orang di pabrik. Nah, mulai saat itu saya mulai mempraktikkan untuk keluarga sendiri." Tuturnya saat diwawancarai, Selasa (6/12).

Usaha yang ditekuni Ade tak mempunyai spanduk atau plang yang menandakan ada jasa menjahit di rumah di Bukit Sawangan Indah tersebut. Bahkan, Ade tak memberi nama resmi untuk sebutan bisnis tersebut, namun ia terkenal dengan keahlian menjahitnya. Orang-orang sekitar kerap memesan pakaian mereka untuk diperbaiki, dipakai, maupun acara spesial tertentu.

Jenis pakaian yang diproduksi kebanyakan berupa pakaian wanita seperti gamis, mukena, rok, dan celana. Ade menuturkan, bahwa bisnis ini lebih fleksibel waktu dan tenaga. Dirinya tak perlu masuk sesuai jadwal jam kerja pabrik sekaligus pekerjaan rumah tak terbengkalai. Sementara itu, pemasaran bisnis ini dilakukan secara mouth to mouth, sehingga pelanggan dapat meminta layanan yang lebih terpersonalisasi.

Ade menjelaskan, "Pelanggan saya kebanyakan ibu-ibu yang tidak punya waktu banyak untuk menjahit, atau mungkin memang kurang bisa menjahit rapih. Saya tidak promosi lewat sosial media, itu bukan ranah saya. Jadi, mengandalkan orderan seadanya saja. Namun, hasilnya alhamdulillah bisa bantu-bantu untuk mendapat penghasilan lebih."

Terbukti, Ade membeberkan bahwa omzet per bulan dapat diraih di angka 100 persen dari modal awal. Angka ini lumayan membantu ekonomi keluarga saat badai PHK dan penurunan gaji berlangsung di kantor sang suami. "Misalnya, bulan ini saya keluar modal satu juta, pendapatannya bisa sampai angka dua juta. Karena yang dibayar itu tenaga dan keahlian saya, bukan cuma bahan baku pembuatan." ungkapnya, Selasa (6/12).

Poin lebihnya, bahan baku layaknya kain, benang, peniti, pewarna tekstil tidak akan basi dan dapat digunakan kembali kapan saja. Biaya perawatan yang dibutuhkan hanya pada mesin jahit berupa pelumas dan pembersihan berkala. Ade mengakui ini membuatnya lebih ekonomis dalam memperkecil pengeluaran.

"Sebenarnya, modal untuk menjalani usaha konveksi itu tidak besar-besar amat. Kadang banyak sisa kain yang bisa didaur ulang dan kondisinya masih bagus, layak pakai." ungkap Ade (6/12).

Salah satu contoh saat bisnisnya di masa tertinggi adalah pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia. "Ambil contoh pas awal-awal 2020 saat masker medis itu langka. Orang kebanyakan beralih ke masker bahan kain. Saya kebanjiran pesanan masker hingga kelelahan. Jam terbang saya juga lebih lama dari hari-hari biasanya." ujar Ade (6/12). Khusus masker yang diproduksinya, Ade memilih beragam warna untuk berbagai kalangan. Bahan yang dipilihnya juga hati-hati. Pembeli merespon masker ini dengan positif, dari situ Ade mulai menerima lebih banyak pesanan. Dengan begitu, biaya produksi bisa ditekan karena produksi partai besar berarti keuntungan lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun