Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Gastro-Colonialism di Tanah Papua: Penjajahan dalam Sebungkus Mi Instan

28 April 2024   17:39 Diperbarui: 1 Mei 2024   11:22 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mi instan (pixabay/viarami)

Dari sinilah terjadi penjajahan pangan atau dikenal dengan istilah gastro-colonialism yang dimulai sejak Belanda datang dan ingin mengelola ratusan hektar lahan di Papua untuk menjadi lahan pertanian dan peternakan. Namun yang ironis adalah pemanfaatan lahan yang dilakukan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan bukan masyarakat lokal.

Hingga akhrinya penjajahan selesai dan Papua dikembalikan kepada Indonesia, permasalahan pangan ini ternyata masih terus berlanjut. Di mana pemanfaatan lahan di Papua semakin besar lagi dengan tujuan-tujuan tertentu bahkan terdapat proyek lumbung pangan namun lagi-lagi tidak memperhatikan kebutuhan pangan warga lokal sekitar.

Belum lagi gelombang transmigrasi yang terjadi di Papua, membuat banyak masyarakat dari pulau-pulau lain seperti Pulau Jawa yang mungkin dari segi pangan sudah lebih maju membawa perubahan lagi kepada pola makan masyarakat Papua secara tidak langsung.

Banyak pendatang yang membawa berbagai jenis makanan instan, salah satunya adalah mi instan yang ternyata memiliki dampak yang besar pada transisi nutrisi masyarakat Papua. 

Masyarakat lokal melihat mi instan sebagai solusi mudah, di mana mereka tidak harus mencari bahan makanan terlebih dahulu untuk bisa membuat makan dan kini mereka bisa membuat makanan tersebut dengan mudah dan rasa yang mungkin jauh lebih lezat.

Seperti halnya hukum permintaan dan penawaran, adanya kebutuhan masyarakat terhadap mi instan juga dengan cepat  banyak di gemari oleh masyarakat. Walaupun seperti kita ketahui juga bahwa harga mi instan di sana  akan berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan harga yang ada di pulau Jawa.


Sumber: Youtube/Sophie Chao
Sumber: Youtube/Sophie Chao

Dr. Sophie Chao seorang dosen dan akademisi di bidang Antropologi, University of Sydney lebih lanjut lagi dalam tulisannya yang menyoroti sekelompok masyarakat di Merauke dan menjelaskan bahwa apa yang terjadi di sana adalah bentuk penjajahan pangan.

Di mana masyarakat yang semula bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya yang juga menjadi simbol kebudayaan dan identitas masyarakat lokal, kini berubah sebagai akibat dari pemanfaaatan lahan yang marak terjadi.

Kebiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya ini kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang. Sehingga pemanfaatan lahan yang terjadi juga dianggap sebagai 'agenda besar' demi mewujudkan ketahanan pangan nasional, namun menyebabkan masyarakat lokal Papua kehilangan haknya untuk bisa mengakses sumber pangannya sendiri.

Ditambah lagi dengan makanan instan yang semakin memperparah permasalahan ini. Masyarakat tidak hanya tidak bisa lagi mendapatkan sumber pangan bergizi imbas dari pemanfaatan lahan yang terjadi, tetapi juga diubah kebiasaan makanannya kearah yang tidak baik yaitu ketergantungan terhadap makanan instan yang memiliki kandungan-kandungan zat yang tidak baik bagi tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun