Seorang pejabat publik tidak hanya dinilai dari kebijakan yang ia hasilkan, tetapi juga dari kata-kata yang ia ucapkan. Di hadapan rakyat, setiap kalimat adalah cermin sikap negara. Sayangnya, sering kali yang terdengar bukanlah pesan yang menenangkan, melainkan kalimat yang menyinggung hati.
Alih-alih membangun harapan, public speaking pejabat kerap menimbulkan kegaduhan baru. Kata-kata yang dimaksudkan sebagai motivasi berubah menjadi sindiran pahit, sementara pesan utama tenggelam dalam perdebatan tentang diksi.
Ketika Retorika Menjadi Beban, Bukan Solusi
Public speaking seharusnya menjadi sarana memperkuat legitimasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, banyak pejabat seakan tak menyadari bahwa rakyat sudah jenuh dengan pidato penuh jargon. Kata-kata yang lahir tanpa empati sering kali terasa lebih menggurui ketimbang memberi solusi.
Di lapangan, masyarakat berhadapan dengan kenyataan, harga kebutuhan pokok naik, layanan publik masih lambat, dan pekerjaan tidak mudah didapat. Dalam situasi itu, retorika kosong hanya terdengar sebagai beban tambahan. Pesan yang dimaksudkan baik pun akhirnya berubah menjadi ejekan, bahkan bahan olok-olok di media sosial.
Fenomena ini membuktikan bahwa bicara di ruang publik bukan sekadar urusan fasih berpidato, tetapi kemampuan membaca suasana kebatinan masyarakat. Pejabat yang gagal memahami sensitivitas sosial sama saja sedang menambah jarak antara dirinya dan rakyat yang dipimpinnya.
Kata yang Seharusnya Merangkul, Bukan Menyingkirkan
Kata-kata seorang pejabat idealnya mampu merangkul, menguatkan, dan membangun rasa percaya. Bukan sebaliknya menyalahkan, menuding, atau bahkan menyingkirkan mereka yang sedang berjuang di tengah keterbatasan.
Retorika yang tajam tanpa empati hanya akan menimbulkan luka baru. Rakyat tidak butuh nasihat moral tanpa solusi nyata. Mereka ingin mendengar pengakuan atas masalah yang ada, disertai janji yang masuk akal untuk memperbaikinya.
Di sinilah letak seni public speaking seorang pemimpin. Kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi energi politik. Ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan pemerintah dan rakyat, atau tembok yang semakin memisahkan keduanya.