Di tengah berbagai sorotan publik terhadap alokasi anggaran negara, sebuah pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menggugah ruang kesadaran kolektif, gaji guru dan dosen yang kecil adalah tantangan fiskal, dan masyarakat diminta ikut berpartisipasi untuk memperbaikinya. Dalam forum publik, Sri Mulyani mengatakan, "Apakah semua harus dari uang negara? Kalau masyarakat ingin kontribusi, silakan."
Pernyataan itu, meskipun disampaikan dalam nada terbuka, justru menyimpan ironi. Di negara dengan Pancasila sebagai dasar, bukankah pendidikan harus dijamin oleh negara, termasuk memastikan bahwa guru dan dosen mendapatkan kehidupan yang layak? Apakah kita benar-benar telah sampai pada titik di mana negara menyerahkan tanggung jawab ini kepada semangat gotong royong yang telah terlalu sering dimanfaatkan sebagai penutup lubang kebijakan?
Data memperjelas kegentingannya. Gaji dosen PNS dengan gelar magister (S2) di Indonesia berkisar antara Rp 2,8 juta hingga Rp 5,1 juta per bulan, sementara profesor hanya sedikit lebih tinggi, di kisaran Rp 3,7 juta hingga Rp 6,4 juta. Bahkan, dosen swasta rata-rata menerima gaji antara Rp 2 juta hingga Rp 4 juta. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan rekan mereka di Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam. Di sektor guru, ceritanya tak jauh berbeda. Banyak guru honorer yang bertahan dengan penghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Kondisi ini tentu memprihatinkan, apalagi mengingat bahwa Indonesia kini sedang menuntut guru dan dosen menjadi lebih adaptif, lebih inovatif, dan lebih terlibat dalam proses transformasi pendidikan. Mereka dituntut meningkatkan kompetensi digital, menyesuaikan kurikulum, dan merespons kebutuhan zaman namun tanpa kompensasi yang setara.
Alih-alih memperjuangkan peningkatan alokasi anggaran pendidikan yang lebih proporsional, wacana partisipasi publik justru seperti melemparkan beban fiskal negara kepada masyarakat. Padahal, APBN 2025 tetap mematok 20% anggaran untuk Pendidikan tetapi kenyataan distribusinya menunjukkan banyak dana terserap dalam program populis atau administratif, bukan pada peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar.
Pendidikan Bukan Amal, Tapi Pilar Bangsa
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pendidikan bukan sekadar instrumen sosial ia adalah fondasi ekonomi dan politik jangka panjang. Guru dan dosen bukanlah relawan yang bekerja demi pahala. Mereka adalah tenaga profesional yang membentuk masa depan generasi bangsa. Maka menjadi wajar apabila kesejahteraannya dijamin secara struktural, bukan sukarela.
Dampaknya pun sangat serius. Rendahnya gaji dosen dan guru berkontribusi pada turunnya minat generasi muda menjadi pendidik. Bahkan, banyak tenaga pengajar harus mencari pekerjaan tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup, dari les privat, membuka usaha sampingan, hingga pekerjaan non-akademik lain. Akibatnya, waktu dan energi mereka untuk mengajar, meneliti, dan mengembangkan diri menjadi terbatas. Dunia akademik pun kehilangan gairah dan inovasi.
Regenerasi dosen juga makin sulit. Mahasiswa S2 dan S3 yang potensial justru lebih tertarik bekerja di industri atau lembaga internasional yang menawarkan gaji kompetitif. Padahal, universitas negeri dan swasta di Indonesia kekurangan dosen berkualifikasi doktor, dan banyak program studi berisiko kehilangan akreditasi karena ketimpangan jumlah pengajar tetap.
Selain itu, ketika negara mulai menormalkan ketergantungan terhadap partisipasi masyarakat dalam pembiayaan guru dan dosen, kita seakan sedang menyaksikan penyusutan tanggung jawab negara. Pendidikan diperlakukan seperti proyek sosial yang bisa didukung melalui donasi, bukan sebagai hak warga negara yang dilindungi konstitusi.