Lebih jauh, demokrasi digital juga menghadapi persoalan integritas data. Studi terbaru dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan 18% akun yang menggerakkan percakapan kebijakan di Twitter/X menggunakan identitas anonim yang tidak diverifikasi. Artinya, kebijakan yang seolah-olah didorong oleh "aspirasi rakyat" bisa saja dipengaruhi oleh bot atau buzzer politik.
Dalam konteks ini, partisipasi digital bukan hanya eksklusif, tetapi juga rentan dimanipulasi. Demokrasi yang seharusnya berlandaskan deliberasi menjadi semacam pertunjukan algoritmik: siapa yang punya sumber daya untuk mendominasi wacana, dialah yang menang.
Menjembatani Jurang Dari Ilusi ke Substansi
Demokrasi digital tidak harus menjadi ilusi, jika negara mampu memanfaatkan teknologi secara bijak. Ada beberapa langkah yang bisa diambil:
Integrasi Partisipasi Daring dan Luring. Forum digital harus dilengkapi dengan mekanisme tatap muka, terutama di daerah tertinggal. Partisipasi masyarakat adat, komunitas desa, dan kelompok rentan perlu diakomodasi di luar platform digital agar kebijakan tidak bias urban.
Transparansi Algoritma dan Identitas. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform digital untuk memastikan bahwa percakapan publik bebas dari dominasi bot dan akun anonim yang terorganisir. Ini dapat dilakukan melalui regulasi perlindungan data yang mendukung keterbukaan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Deliberasi Berbasis Bukti. Kebijakan harus memprioritaskan hasil kajian akademis dan data lapangan, bukan sekadar reaksi terhadap tren daring. Pemerintah bisa mencontoh model deliberasi digital di Taiwan yang memadukan kecerdasan buatan dan forum publik untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.
Pendidikan Literasi Digital. Demokrasi digital hanya akan sehat jika warganya mampu memilah informasi. Kurikulum literasi digital di sekolah harus diarahkan bukan hanya untuk menghindari hoaks, tetapi juga untuk membentuk kebiasaan berdiskusi berbasis argumen, bukan sekadar emosi.
Demokrasi yang Kita Mau
Di tengah gegap gempita demokrasi digital, kita dihadapkan pada pilihan mendasar, apakah kita hanya ingin merasa dilibatkan, atau benar-benar menjadi bagian dari pengambilan keputusan? Demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang paling nyaring, tetapi tentang bagaimana keputusan dibuat secara inklusif, rasional, dan berkeadilan.
Jika demokrasi digital hanya menjadi panggung yang diatur oleh algoritma, maka partisipasi hanyalah ilusi yang memperindah wajah kekuasaan. Namun, jika teknologi dijalankan dengan prinsip keterbukaan dan keberlanjutan, ia bisa menjadi jembatan menuju demokrasi yang lebih matang.