Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Founder & CEO IDIS INDONESIA I Analis Kebijakan Publik | Konsultan Politik I Transformasi Digital I Riset I Advokasi Publik #Knowledge for Public Good

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Digital; Partisipasi atau Ilusi?

2 Agustus 2025   22:03 Diperbarui: 2 Agustus 2025   22:18 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demokrasi Digital. (Foto: Idisign/AI)

Lebih jauh, demokrasi digital juga menghadapi persoalan integritas data. Studi terbaru dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan 18% akun yang menggerakkan percakapan kebijakan di Twitter/X menggunakan identitas anonim yang tidak diverifikasi. Artinya, kebijakan yang seolah-olah didorong oleh "aspirasi rakyat" bisa saja dipengaruhi oleh bot atau buzzer politik.

Dalam konteks ini, partisipasi digital bukan hanya eksklusif, tetapi juga rentan dimanipulasi. Demokrasi yang seharusnya berlandaskan deliberasi menjadi semacam pertunjukan algoritmik: siapa yang punya sumber daya untuk mendominasi wacana, dialah yang menang.

Menjembatani Jurang Dari Ilusi ke Substansi

Demokrasi digital tidak harus menjadi ilusi, jika negara mampu memanfaatkan teknologi secara bijak. Ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Integrasi Partisipasi Daring dan Luring. Forum digital harus dilengkapi dengan mekanisme tatap muka, terutama di daerah tertinggal. Partisipasi masyarakat adat, komunitas desa, dan kelompok rentan perlu diakomodasi di luar platform digital agar kebijakan tidak bias urban.

  2. Transparansi Algoritma dan Identitas. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform digital untuk memastikan bahwa percakapan publik bebas dari dominasi bot dan akun anonim yang terorganisir. Ini dapat dilakukan melalui regulasi perlindungan data yang mendukung keterbukaan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.

  3. Deliberasi Berbasis Bukti. Kebijakan harus memprioritaskan hasil kajian akademis dan data lapangan, bukan sekadar reaksi terhadap tren daring. Pemerintah bisa mencontoh model deliberasi digital di Taiwan yang memadukan kecerdasan buatan dan forum publik untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.

  4. Pendidikan Literasi Digital. Demokrasi digital hanya akan sehat jika warganya mampu memilah informasi. Kurikulum literasi digital di sekolah harus diarahkan bukan hanya untuk menghindari hoaks, tetapi juga untuk membentuk kebiasaan berdiskusi berbasis argumen, bukan sekadar emosi.

Demokrasi yang Kita Mau

Di tengah gegap gempita demokrasi digital, kita dihadapkan pada pilihan mendasar, apakah kita hanya ingin merasa dilibatkan, atau benar-benar menjadi bagian dari pengambilan keputusan? Demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang paling nyaring, tetapi tentang bagaimana keputusan dibuat secara inklusif, rasional, dan berkeadilan.

Jika demokrasi digital hanya menjadi panggung yang diatur oleh algoritma, maka partisipasi hanyalah ilusi yang memperindah wajah kekuasaan. Namun, jika teknologi dijalankan dengan prinsip keterbukaan dan keberlanjutan, ia bisa menjadi jembatan menuju demokrasi yang lebih matang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun