Bertahan di Semesta Kampus: Mahasiswa Semester Tujuh dan Uang Saku dari Cerpen

Maka, kehidupan saya di semester tujuh ini dapat disimpulkan sebagai upaya bertahan seorang seniman yang harus tetap fungsional di dunia nyata. Saya harus lihai menawar harga, cerdas memilih makanan, dan gigih mengejar inspirasi sambil terus memantau tanggal terbit media. Ini adalah tantangan untuk membuktikan bahwa seni dan kemandirian finansial dapat berjalan beriringan, meskipun dengan jalan yang penuh liku.

Mengubah Batasan Menjadi Kekuatan Kreatif

Strategi pertama yang saya terapkan untuk bertahan adalah perubahan total dalam pola pikir. Menulis cerpen tidak lagi saya anggap sebagai hobi pengisi waktu luang, melainkan saya perlakukan sebagai pekerjaan freelance utama. Saya menetapkan jadwal menulis dan mengirim naskah yang ketat, memperlakukan proses kreatif dengan profesionalisme tinggi, layaknya seorang karyawan yang mengejar target bulanan.

Saya juga menerapkan manajemen keuangan mikro yang sangat disiplin. Setiap rupiah yang masuk dari honorarium segera dibagi ke dalam pos-pos penting: 50% untuk kos, 30% untuk makan, dan 20% sisanya adalah dana operasional dan darurat. Saya mencatat setiap pengeluaran kecil, bahkan untuk air mineral, sehingga saya dapat melihat dengan jelas ke mana saja uang itu mengalir dan mengantisipasi defisit sebelum terlambat.

Dalam urusan makan, saya menjadi ahli masakan hemat. Solusi paling ampuh adalah memasak sendiri di kos. Membeli bahan mentah untuk beberapa hari sekaligus jauh lebih murah daripada membeli makanan siap saji setiap hari. Nasi, telur, dan sayuran sederhana menjadi menu andalan yang saya variasi agar tidak bosan. Kadang, mencari warung makan dengan menu "nasi+telur" termurah di dekat kampus adalah sebuah misi penting yang harus dimenangkan.

Untuk transportasi, jalan kaki dan transportasi umum adalah pilihan mutlak. Saya memilih kos yang masih terjangkau dengan berjalan kaki ke kampus. Jika harus pergi jauh, bus kota atau angkutan umum menjadi pilihan utama, bukan taksi online. Selain itu, perpustakaan kampus dengan koneksi Wi-Fi gratisnya menjadi kantor kedua saya, menghemat biaya internet pribadi yang lumayan memberatkan.

Menghadapi keterbatasan referensi akademik, saya mengembangkan solusi kreatif untuk studi. Saya belajar memanfaatkan layanan inter-library loan dan secara aktif mencari jurnal-jurnal ilmiah yang bersifat open access. Saya juga mempraktikkan teknik membaca cepat dan efisien, memastikan setiap halaman fotokopi yang saya miliki memberikan nilai maksimal, karena saya tidak punya uang untuk memfotokopi ulang.

Saya secara konsisten mengoptimalkan proses penulisan cerpen. Saya melakukan riset mendalam tentang jenis fiksi yang diminati oleh setiap media, menyesuaikan gaya penulisan saya tanpa mengorbankan integritas artistik. Pendekatan yang terarah ini mengurangi tingkat penolakan dan meningkatkan peluang naskah saya diterima, menjamin aliran pemasukan yang lebih stabil.

Menariknya, pembatasan anggaran ini justru menjadi kekuatan kreatif terbesar saya. Kondisi hidup yang sulit memberikan saya materi mentah yang kaya dan otentik untuk tulisan saya. Konflik, kecemasan, dan perjuangan sehari-hari menjadi inspirasi utama. Cerita-cerita yang lahir dari kesulitan ini sering kali memiliki kedalaman emosional yang lebih kuat, membuat naskah saya lebih menarik bagi editor.

 kisah bertahan di semester tujuh ini adalah sebuah penegasan diri yang kuat. Meskipun uang saku saya pas-pasan, saya berhasil menyelesaikan tugas akademik dan membiayai hidup saya melalui hasil karya. Ini membuktikan bahwa kemandirian dapat dibangun di atas fondasi kreativitas dan disiplin. Uang saku minimal yang saya miliki justru memaksa saya menjadi pribadi yang lebih ulet, strategis, dan produktif, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai penulis.