Mohon tunggu...
Sapna Nainggolan
Sapna Nainggolan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya hobi traveling, menurut saya hal ini menambah wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bertahan di Semesta Kampus: Mahasiswa Semester Tujuh dan Uang Saku dari Cerpen

7 Oktober 2025   08:21 Diperbarui: 6 Oktober 2025   00:26 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semester tujuh di bangku kuliah adalah sebuah persimpangan jalan yang penuh tekanan. Di satu sisi, ada tanggung jawab besar berupa skripsi yang menuntut fokus penuh; di sisi lain, realitas hidup menuntut kemandirian finansial yang semakin nyata. Bagi sebagian besar teman sejawat, semester ini mungkin berarti mengurangi jatah nongkrong atau meminta tambahan kiriman dari orang tua. Namun, bagi saya seorang mahasiswa yang bertekad bertahan di kota metropolitan dengan uang saku pas-pasan semester tujuh adalah arena pertarungan untuk memastikan honorarium cerpen bulan ini cukup untuk membayar sewa kos dan makan.

Kondisi keuangan yang serba terbatas ini bukan lagi sebuah kesulitan, melainkan telah menjadi gaya hidup yang memicu kreativitas. Sejak awal masuk kuliah, saya sadar bahwa dukungan finansial dari rumah hanya bersifat minimal, cukup untuk biaya kuliah, namun tidak untuk kebutuhan harian yang terus bergerak naik. Kesadaran inilah yang mendorong saya mencari jalan keluar yang selaras dengan minat saya: menulis fiksi.

Saya memilih jalan yang terjal: hidup dari honorarium cerita pendek yang dimuat di berbagai media. Setiap cerpen yang terbit, setiap pengumuman di rubrik budaya, bukan hanya pencapaian artistik, tetapi juga sumber kehidupan yang menentukan apakah saya bisa makan nasi dan lauk besok. Ritme hidup ini menciptakan dualitas unik: kepala saya penuh dengan ide-ide cerita, sedangkan pikiran saya sibuk menghitung sisa saldo di rekening.

Oleh karena itu, kisah ini adalah sebuah pengakuan jujur tentang bagaimana seorang penulis muda berusaha menyeimbangkan ambisi akademik, tekanan kreatif, dan perjuangan sehari-hari melawan dompet yang sering kosong. Ini adalah cerita tentang bagaimana saya mengelola uang saku yang sangat minimal, mengubah penolakan menjadi motivasi, dan menegaskan bahwa seni dalam hal ini menulis dapat menjadi alat yang sangat pragmatis untuk bertahan hidup.

Menghadapi Badai Finansial dan Akademik

Kesulitan utama yang saya rasakan sebagai mahasiswa semester tujuh dengan anggaran terbatas adalah mengelola biaya hidup dasar. Harga sewa kamar kos, tagihan listrik, dan terutama biaya makanan, terasa seperti predator yang mengintai setiap lembar uang yang masuk. Jika cerpen saya terbit di awal bulan, saya bisa bernapas lega selama dua minggu; namun, jika honorarium tertunda, setiap hari berubah menjadi perhitungan kalori dan biaya yang sangat cermat.

Tekanan kian bertambah dengan status sebagai mahasiswa tingkat akhir. Skripsi menuntut pengeluaran ekstra, mulai dari biaya fotokopi jurnal, print out bab, hingga biaya transportasi bolak-balik menemui dosen pembimbing. Kebutuhan untuk fokus pada penelitian sering bertabrakan dengan kebutuhan untuk terus menulis dan mengirimkan cerpen baru. Waktu luang yang seharusnya dipakai untuk riset malah terpaksa saya gunakan untuk mengejar deadline media agar dapur tetap mengepul.

Tantangan terbesar dalam menghasilkan uang dari menulis fiksi adalah ketidakpastian. Honorarium yang diterima tidak memiliki tanggal gajian yang pasti. Saya harus mengirimkan naskah ke belasan media, menunggu konfirmasi, lalu menunggu proses penerbitan, dan barulah honor itu cair sebuah proses panjang yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Ketidakpastian ini memaksa saya untuk selalu menyimpan dana cadangan yang, ironisnya, hampir tidak pernah ada.

Dilema sosial pun tak terhindarkan. Ketika teman-teman di kampus mengajak kumpul-kumpul di kafe untuk membahas skripsi atau sekadar melepas penat, saya harus mencari alasan elegan untuk menolak. Saya menyadari bahwa uang yang mereka habiskan dalam satu kali sesi kopi dapat menjamin jatah makan saya selama dua hari penuh. Keterbatasan ini kadang menimbulkan rasa terisolasi, meskipun saya berusaha meyakinkan diri bahwa isolasi adalah bagian dari proses kreatif seorang penulis.

Selain biaya sosial, keterbatasan finansial juga menghambat akses ke sumber daya akademik penting. Saya sering kesulitan membeli buku referensi terbaru atau berlangganan jurnal ilmiah yang dibutuhkan untuk skripsi. Saya harus mengandalkan perpustakaan kampus atau memohon izin kepada teman-teman untuk meminjam buku mereka. Kesenjangan akses ini sering membuat saya merasa berada di belakang dalam hal riset.

Situasi uang saku yang pas-pasan, ditambah tekanan skripsi dan ketidakpastian honorarium, turut memengaruhi kesehatan mental saya. Kecemasan adalah teman harian yang tak terhindarkan. Setiap bunyi notifikasi di ponsel terasa menegangkan, entah itu kabar cerpen ditolak atau peringatan sisa saldo bank yang kritis. Kepas-pasan ini bukan hanya masalah materi, tetapi juga beban psikologis yang harus dipanggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun