Mohon tunggu...
Saparuddin Santa
Saparuddin Santa Mohon Tunggu... Freelancer - Founder dan Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting

Menyukai kebaikan dan kebenaran. Peneliti dan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menanti Capres Negarawan dan Legacy Jokowi

17 Juli 2023   21:18 Diperbarui: 18 Juli 2023   07:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Saya akan tetap cawe-cawe -- Masak ada riak-riak yang berpotensi membahayakan negara dan bangsa, saya diam,"Joko Widodo, Presiden RI.

Kurang dari 220 hari, rakyat Indonesia akan mendapatkan pemimpin baru. Pemimpin yang, sejatinya, akan membawa Indonesia menuju era baru perjalanan bangsa selama lima tahun selanjutnya, terhitung sejak hari pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, pada tanggal 20 oktober 2024 sampai dengan 20 Oktober 2029.  

Diakui atau tidak, selama hampir sepuluh tahun kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin ( Jokowi -- Ma'ruf ), telah meletakkan peta jalan menuju Indonesia Maju. Dengan slogan di awal pemerintahannya pada tahun 2014 adalah "Kerja,Kerja,Kerja" yang dilandasi semangat revolusi mental.  

Demikian halnya, presiden-presiden sebelumnya, harus di apresiasi,  sebagai bagian yang tidak terpisahkan, dari proses Indonesia menjadi negara maju dan memiliki daya saing di dunia internasional.

Di balik kesuksesan itu, ada pekerjaan rumah, yang sepertinya sulit untuk tuntas di sisa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, yaitu menyembuhkan Indonesia dari "penyakit" keterbelahan dan perpecahan, atau istilah umum yang sering di gunakan oleh para pengamat dan politisi adalah polarisasi. 


Dapat di pastikan bahwa, perdebatan dan "pertengkaran" rakyat akan berlanjut di periode pemerintahan berikutnya, jika sisa pemerintahan setahun kedepan tidak ada upaya upaya subtantif dari para pemangku kepentingan, para elit dan politisi, dan terutama presiden Jokowi, tidak mendorong lahirnya satu narasi besar kepemimpinan yang negarawan. 

Tentu, mereka-mereka ini bisa saja berkelit, bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum, dan bahwa meniscayakan perbedaan pendapat adalah sebuah kemustahilan. Mereka akan berdalih, di negara demokrasi manapun di seluruh dunia, orang-orang yang setuju dan tidak setuju akan pemimpinnya, akan selalu ada.

Tapi benarkah, yang terjadi di Indonesia adalah sebuah bukti Indonesia sedang menuju negara yang dewasa dalam memahami demokrasi? Demokrasi yang sehat dan secara konseptual, pemahaman itu bisa membantu warga negaranya menemukan jalan kesejahteraan dan kedamaian? 

Ataukah pemahaman akan berdemokrasi sebagian besar dari kita saat ini, justru membuat kita sebagai rakyat menjadi bangsa yang "barbar", yang dengan mudahnya tersulut api amarah dan kebencian karena perbedaan dukungan calon presiden, misalnya?

Mengapa hingga di akhir pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, narasi kadrun dan cebong belum juga hilang di ruang-ruang diskusi dan perdebatan, terutama di ruang-ruang media sosial? 

Padahal arus utama, yang disimbolkan dari pihak yang kalah di tahun 2019 lalu, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, sudah dengan rendah hati dan melawan rasa malu yang disertai cacian dari para pendukungnya di Pilpres, sudah bergabung di pihak yang menang. 

Mengapa banyak sekali pendukung kedua belah pihak ini, masih dengan mudah tersulut pertengkaran yang tidak perlu?. Pertengkaran yang sama sekali tak bisa membantu rakyat Indonesia sejahtera, ataupun sekedar terbebas dari beban hidup?

Tidak sanggupkah presiden Jokowi "membersihkan" para penyulut "api" amarah itu terus menggaungkan narasi-narasi kebencian di media sosial? Ataukah mungkin Presiden Jokowi, para elit partai, dan politisi negeri ini, menganggap narasi narasi perpecahan itu sebagai sesuatu yang menghibur? Semacam kawan minum kopi di pagi hari sesaat sebelum menghadiri rapat kabinet, ataupun sebelum rapat internal partai dalam rangka memutuskan calon presiden yang akan di usung?

Padahal, penulis berkeyakinan, jika di telusuri secara teliti, pemerintah dengan seluruh keahlian dan perangkat teknologi yang dimiliki negara, yang secara birokratis dimiliki oleh Kementrian Informasi dan Komunikasi, Kepolisian, dan Badan Intelejen Negara misalnya, bisa melacak melalui algoritma kata-kata kunci yang di gunakan. 

Misalnya kata kadrun, cebong, akan menemukan satu fakta bahwa, mereka-mereka yang bermain di narasi kebencian dan perpecahan itu adalah orang-orang yang sama. Para "pekerja" politik picisan, yang tak punya empati nasionalisme dan jiwa negarawan.. 

Seharusnya, "menghilangkan" kelompok kelompok ini, dari ruang percakapan demokrasi, demi kemajuan, stabilitas dan masa depan pembangunan Indonesia, adalah sesuatu yang sangat mudah di lakukan oleh seorang presiden.

Selain itu, dukungan Presiden dalam mendorong lahirnya pemimpin baru yang ideal untuk bangsa dan seluruh rakyat Indonesia, dan demi kelancaran proses Pemilu yang sehat dan demokratis.  

Tidak hanya terbatas pada melibatkan diri secara politik dalam menentukan Capres pilihan partainya, berupa dukungan terhadap capres tertentu. Lalu mengabaikan terciptanya atau semakin meruncingnya pertikaian di level para pendukung calon tertentu di tingkat akar rumput atau masyarakat biasa. 

Sangat penting peran ke-negarawanan seorang presiden dan para elit, ketua umum partai, dan khususnya para kandidat calon presiden untuk bersama-sama membangun suasna yang sejuk dan damai. 

Lazimnya sebuah pesta, pesta demokrasi Pemilu 2024, adalah kegembiraan dan rasa syukur, bukan menciptakan jarak sosial apalagi kebencian antar sesame pendukung. 

Upaya para Capres, elit partai dan elit politik, untuk saling silaturahim, tidak hanya pada kandidiat atau partai pendukung "se-aliran", tetapi juga pada semua partai beserta tokoh-tokoh kuncinya, merupakan itikad baik yang perlu di ikhtiarkan secara sungguh-sungguh dan dengan niat yang tulus, demi kemajuan dan kedamaian bangsa.

Demikian halnya terkait kandidasi pencapresan 2024, bagi masyarakat Indonesia, juga, sangatlah penting untuk menemukan dan memilih calon presiden berikutnya, yang punya visi dan cita-cita mulia, yang tidak hanya mengejar prestasi pembangunan yang sifatnya fisik, tapi juga yang bisa membantu membawa rakyat Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan beradab. 

Jika dikerucutkan, hanya ada dua tugas utama serorang Pemimpin (Baca; Presiden) yaitu pertama, tugas pembanguan, demi  kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat, dan tugas kedua adalah mempersatukan. Mempersatukan rakyat Indonesia dari perbedaan perbedaan yang tidak penting dan tidak memberi manfaat. Mempersatukan bangsa hingga membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju secara ekonomi, beradab dan berbudaya tinggi sebagai manusia Indonesia. Dan ini hanya di miliki oleh Presiden dengan hati yang kuat, yang Negarawan.

Terakhir, alangkah indahnya, jika pernyataan presiden Jokowi untuk cawe-cawe dalam pencapresan ke depan, mengacu pada kondisi tersebut di atas, demi membantu menyembuhkan Indonesia. Jika Itu bisa dilakukan, maka itu adalah salah satu legacy terbaik dari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Dan akan d kenang tidak hanya sebagai Presiden, tapi juga Negarawan. 

Tabik!!!

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun