Mohon tunggu...
santy121231128
santy121231128 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya hobi dalam aktivitas fisik seperti renang dan lari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Episteme dan Kritik Pada Rekonsilasi Komersial Vs Laporan Perpajakan

30 Juni 2025   23:04 Diperbarui: 30 Juni 2025   23:04 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Santy

NIM : 121231128

Nama Kampus : Universitas Dian Nusantara

Matkul : Akuntansi Perpajakan

Nama Dosen : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Judul Tema Kuis TB2 : Diskursus Episteme, dan Kritik  Pada Rekonsilasi Akuntansi Komersial  Vs Laporan Perpajakan

Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin kompleks dan terbuka, perusahaan perlu menyusun laporan keuangan yang mampu memberikan informasi relevan bagi pengambilan keputusan ekonomi para pemangku kepentingan, sesuai dengan Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), sekaligus memenuhi kewajiban pelaporan pajak yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) beserta regulasi turunannya. Kondisi ini memunculkan dua jenis laporan dengan tujuan yang berbeda, yakni laporan keuangan komersial yang berfokus pada substansi ekonomi guna kepentingan investor, kreditor, maupun manajemen, serta laporan fiskal yang dirancang untuk menghitung besarnya kewajiban pajak kepada negara berdasarkan ketentuan hukum perpajakan. Karena perbedaan dasar hukum, tujuan, dan prinsip pengakuan pendapatan serta beban antara PSAK dan peraturan perpajakan, maka muncul kebutuhan akan proses rekonsiliasi laporan keuangan komersial ke fiskal, yang bertujuan mengonversi basis akuntansi, mengidentifikasi perbedaan tetap maupun temporer, serta memastikan kepatuhan fiskal tanpa mengurangi kualitas laporan komersial. Namun demikian, praktik rekonsiliasi ini kerap menuai kritik, baik dari sisi efisiensi administrasi maupun dari sudut pandang etika dan filosofi hukum, sebab berpotensi menambah beban administratif yang tidak selalu sejalan dengan prinsip keadilan maupun penghormatan terhadap martabat wajib pajak. Oleh karena itu, kajian mengenai rekonsiliasi ini menjadi penting untuk dibahas secara mendalam dari aspek konseptual, praktis, hingga moral, agar dapat memberikan gambaran utuh mengenai relevansi, tantangan, serta dampaknya terhadap dunia usaha dan sistem perpajakan di Indonesia.

WHAT

Tiga point utama dalam definisi rekonsiliasi laporan keuangan komersial ke fiskal :

1. Mengubah basis akuntansi dari akuntansi umum ke akuntansi pajak

Dalam praktiknya, laporan keuangan komersial disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan (di Indonesia PSAK), yang bertumpu pada prinsip akrual dan substansi ekonomi mengungguli bentuk. Artinya, pendapatan diakui ketika hak atas pendapatan tersebut timbul, dan biaya diakui saat terutang, terlepas dari apakah kas sudah diterima atau dibayarkan.

Sedangkan laporan fiskal disusun berdasarkan ketentuan perpajakan (UU PPh dan turunannya), yang lebih menekankan bentuk formal-legal, serta sering kali menggunakan pendekatan yang lebih konservatif atau berbasis kas (misalnya pendapatan diakui saat kas diterima).

 Oleh karena itu, proses rekonsiliasi dimulai dengan mengkonversi basis akuntansi dari laporan komersial yang berbasis PSAK ke format fiskal, sehingga laba sebelum pajak yang diperoleh dari laporan komersial dapat diubah menjadi penghasilan kena pajak sesuai peraturan pajak.
Contohnya:

  • Beban penyusutan dalam laporan komersial mungkin dihitung berdasarkan umur manfaat ekonomi, sedangkan menurut fiskal harus mengikuti tarif penyusutan menurut UU Pajak.

  • Pendapatan bunga dicatat pada saat terakru secara komersial, sedangkan pajak bisa mengenakan saat kas diterima.

2. Mendeteksi dan mencatat perbedaan tetap (permanen) dan temporer

Dalam proses mengubah basis ini, perusahaan harus melakukan identifikasi dan pencatatan atas dua jenis perbedaan utama:

a. Perbedaan Tetap (Permanent Difference)

Adalah perbedaan yang muncul karena menurut peraturan pajak, pendapatan atau biaya tersebut selamanya tidak akan diakui untuk tujuan perpajakan, meskipun diakui dalam laporan komersial.
Contohnya:

  • Beban representasi (jamuan) yang melebihi batas 0,5% dari omzet, tidak boleh diakui sebagai pengurang pajak.

  • Denda pajak, biaya donasi, atau biaya pribadi yang dicatat sebagai beban di laporan PSAK, tetapi tidak diperkenankan dalam perhitungan fiskal.

  • Dividen dari dalam negeri, yang secara akuntansi menjadi pendapatan, tetapi menurut pajak adalah non-objek sehingga tidak dikenai PPh lagi.

b. Perbedaan Temporer (Temporary Difference)

Adalah perbedaan yang sifatnya hanya sementara, timbul akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan atau biaya antara komersial dan fiskal. Pada akhirnya, nilai ini akan “berbalik” di masa mendatang.
Contohnya:

  • Penyusutan komersial berbeda dengan fiskal. Misalnya, menurut PSAK aset disusutkan 8 tahun, fiskal hanya 4 tahun. Maka ada lebih bayar/kurang bayar sementara yang nanti akan menyesuaikan.

  • Cadangan kerugian piutang: komersial boleh membentuk cadangan, tetapi fiskal hanya boleh jika memenuhi syarat tertentu (misalnya piutang telah jatuh tempo dan telah dilakukan penagihan aktif).

Pencatatan perbedaan temporer ini juga melahirkan aset atau liabilitas pajak tangguhan sesuai PSAK 46.

3. Menjamin kepatuhan fiskal tanpa mengabaikan prinsip pelaporan keuangan

Rekonsiliasi ini pada dasarnya bertujuan agar perusahaan dapat tetap mematuhi ketentuan perpajakan (mencegah underpayment yang bisa memicu sanksi pajak) tetapi tanpa mengorbankan kualitas laporan keuangan komersial yang disusun untuk pemakai laporan seperti investor dan kreditor.

  • Dengan rekonsiliasi, perusahaan tetap bisa menyajikan laporan komersial yang menunjukkan performa bisnis sesungguhnya berdasarkan prinsip ekonomi (PSAK), sekaligus memenuhi kewajiban pajak dengan cara mengkalkulasi penghasilan kena pajak yang sah menurut fiskus.

  • Hal ini penting untuk menghindari dua risiko besar:

    • Terjadinya lebih bayar (overpayment) yang merugikan kas perusahaan.

Terjadinya kurang bayar (underpayment) yang dapat memicu pemeriksaan pajak, koreksi fiskus, denda, bahkan sanksi pidana perpajakan.

PPT (Undira)
PPT (Undira)

Episteme Rekonsiliasi : Pemahaman Konseptual 

(PPT Undira)
(PPT Undira)

1. Laporan Komersial (PSAK)

a. Basis Hukum & Prinsip

Laporan keuangan komersial disusun dengan mengacu pada Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). PSAK merupakan turunan dari standar internasional (IFRS) yang diadopsi agar laporan keuangan entitas di Indonesia memenuhi prinsip fair presentation dan comparability, sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja dan posisi keuangan perusahaan.

b. Tujuan

Fokus utama penyusunan laporan komersial ini adalah untuk menyediakan informasi yang:

  • Relevan, artinya dapat membantu pengguna laporan (investor, kreditor, manajemen, analis) dalam membuat keputusan ekonomi.

  • Andal, yakni dapat dipercaya dan mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya.

Laporan ini berfungsi sebagai media komunikasi kinerja perusahaan, sehingga pemangku kepentingan bisa menilai profitabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan prospek usaha di masa depan.

c. Prinsip Substansi Mengungguli Bentuk

Dalam PSAK terdapat prinsip penting yaitu substance over form (substansi ekonomi lebih diutamakan daripada bentuk formal transaksi). Artinya:

  • Jika secara hukum suatu transaksi terlihat sebagai sewa operasi biasa, tetapi secara ekonomi sebenarnya mengandung perpindahan manfaat dan risiko pemilikan, maka diakui sebagai sewa pembiayaan (capital lease).

  • Demikian pula, pendapatan diakui pada saat entitas memiliki hak atas pendapatan (misalnya ketika jasa sudah diberikan), walaupun kas belum diterima.

2. Laporan Fiskal (Perpajakan)

a. Basis Hukum & Prinsip

Berbeda dengan laporan komersial, laporan fiskal atau laporan pajak disusun berdasarkan aturan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), dan Surat Edaran DJP (SE DJP).

Regulasi ini mengatur secara spesifik bagaimana penghasilan, biaya, maupun fasilitas perpajakan diakui, dihitung, serta dilaporkan untuk tujuan menentukan besarnya kewajiban pajak (tax due) yang harus dibayar oleh wajib pajak kepada negara.

b. Tujuan

Fokus utama laporan fiskal adalah:

  • Menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang akan menjadi dasar pengenaan PPh.

  • Memastikan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan demi kelangsungan penerimaan negara.

c. Prinsip Bentuk Formal & Pengakuan Kas / Hak Legal

Laporan fiskal lebih menekankan pada prinsip form over substance yaitu:

  • Yang dilihat pertama kali adalah bentuk hukum formal transaksi, bukan analisis manfaat ekonominya. Misalnya, kalau dalam kontrak tercatat sebagai sewa operasi, maka secara pajak diakui sebagai sewa operasi, terlepas substansi ekonominya.

  • Banyak aturan perpajakan yang menggunakan basis kas atau hak legal. Contohnya:

    • Pendapatan diakui saat kas diterima atau saat hak hukum atas pembayaran muncul (misalnya invoice diterbitkan).

    • Biaya diakui saat kas keluar atau saat timbul kewajiban hukum yang sah menurut pajak.

Perbedaan Filosofis (Epistemik) Utama

(PPT Undira)
(PPT Undira)


Perbedaan filosofis atau epistemik yang menjadi inti pada slide kelima modul ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi laporan keuangan komersial dengan laporan fiskal bukan sekadar penyesuaian teknis angka, melainkan cerminan dari dua kerangka berpikir yang secara fundamental berbeda dalam memandang transaksi dan posisi keuangan perusahaan, di mana laporan komersial yang disusun berdasarkan Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berlandaskan pada prinsip substansi mengungguli bentuk sehingga lebih mengutamakan pencatatan transaksi berdasarkan hak dan kewajiban ekonomis yang timbul, dengan tujuan utama menyediakan informasi yang relevan dan andal bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh investor, kreditor, maupun manajemen, sedangkan laporan fiskal yang mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksananya lebih menekankan pada bentuk formal transaksi dan legalitas dokumentasi yang menjadi dasar hukum bagi negara dalam menetapkan besarnya kewajiban pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, suatu pendekatan yang lahir dari kepentingan fiskus untuk memperoleh kepastian hukum dan mengamankan penerimaan negara. Karena perbedaan tujuan inilah, maka seringkali terjadi perbedaan pengakuan baik atas pendapatan, biaya, maupun aset dan liabilitas, misalnya pada saat laporan komersial mengakui pendapatan berdasarkan metode akrual ketika hak timbul meskipun kas belum diterima, atau pada saat perusahaan mencatat provisi biaya seperti cadangan kerugian piutang dan imbalan kerja yang menurut PSAK boleh diakui berdasarkan estimasi terbaik manajemen, sementara menurut fiskal pengakuan biaya tersebut hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat formal yang tegas dalam peraturan perpajakan. Dengan demikian, perbedaan epistemik ini menjadi latar belakang utama kenapa rekonsiliasi mutlak diperlukan sebagai proses untuk menjembatani dua cara pandang yang berbeda terhadap transaksi ekonomi yang sama, agar laporan komersial yang merefleksikan realitas ekonomi tetap dapat digunakan sebagai dasar menghitung kewajiban pajak yang sah menurut hukum, sekaligus menjaga integritas laporan keuangan perusahaan dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi perpajakan yang berlaku.

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Struktur Rekonsiliasi Fiskal (Umum)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Proses rekonsiliasi ini tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga merupakan langkah kritis yang wajib dilakukan setiap wajib pajak badan untuk memastikan bahwa laporan keuangannya selaras dengan ketentuan perpajakan, serta untuk menghindari risiko koreksi fiskus dan potensi sanksi di kemudian hari.

 1. Dimulai dari Laporan Laba Rugi Komersial

Struktur rekonsiliasi fiskal pada dasarnya bermula dari laporan laba rugi komersial yang telah disusun berdasarkan prinsip PSAK. Laporan ini merefleksikan kinerja perusahaan yang dilaporkan kepada pemilik usaha, investor, maupun kreditor, dan menghitung laba sebelum pajak berdasarkan asas akrual dengan pendekatan substansi ekonomi. Di sinilah perusahaan melaporkan semua pendapatan yang timbul haknya dan seluruh biaya yang terjadi, meskipun tidak semua biaya ini nantinya boleh diakui untuk tujuan fiskal.

2. Rekonsiliasi Fiskal melalui Lampiran SPT (Formulir 1771 Lampiran 3A/3B)

Untuk kebutuhan perpajakan, laporan laba rugi komersial ini kemudian direkonsiliasi menggunakan format baku yang umumnya tertuang dalam Formulir 1771 Lampiran 3A atau 3B pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan. Struktur umum rekonsiliasi fiskal yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Koreksi Fiskal Positif

Merupakan penyesuaian untuk menambahkan item-item yang menurut akuntansi komersial boleh dikurangkan atau tidak dikenakan pajak, tetapi menurut fiskal justru harus menambah penghasilan kena pajak. Contoh klasiknya termasuk:

  • Beban representasi atau jamuan yang melebihi batas 0,5% dari omzet sesuai ketentuan fiskal.

  • Denda pajak atau sanksi administrasi yang diakui sebagai beban menurut PSAK.

  • Sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagai pengurang pajak.

b. Koreksi Fiskal Negatif

Sebaliknya, koreksi fiskal negatif adalah pengurang laba komersial karena terdapat pendapatan yang menurut UU Pajak merupakan non-objek atau terdapat biaya yang diperbolehkan fiskal meskipun tidak diakui secara komersial. Misalnya:

  • Dividen yang diterima dari sesama wajib pajak dalam negeri, yang menurut UU PPh Pasal 4 ayat (3) bukan objek pajak.

  • Penyusutan fiskal yang lebih besar dari penyusutan komersial pada tahun tertentu, sehingga untuk sementara menurunkan laba kena pajak.

3. Perlakuan Perbedaan Temporer

Catatan penting dalam format ini adalah bahwa perbedaan temporer tetap dicatat dalam rekonsiliasi fiskal karena akan memengaruhi perhitungan aset atau liabilitas pajak tangguhan sesuai PSAK 46. Namun, untuk kepentingan fiskal tahunan yang dilaporkan pada SPT, yang dihitung hanyalah laba fiskal atau penghasilan kena pajak, karena ini menjadi dasar pengenaan tarif pajak dan pelunasan pajak terutang pada tahun berjalan. Sementara konsekuensi masa depan dari perbedaan temporer diakui dalam laporan keuangan sebagai pajak tangguhan.

4. Mengapa penting memahami struktur ini?

Struktur rekonsiliasi fiskal ini tidak hanya sekadar prosedur pelaporan, tetapi menjadi alat transparansi dan dokumentasi formal yang akan diminta oleh otoritas pajak (DJP) bila terjadi pemeriksaan atau audit. Tanpa rekonsiliasi yang jelas, fiskus dapat menganggap laporan pajak tidak dapat dipertanggungjawabkan, yang berpotensi menimbulkan koreksi besar, sanksi administrasi, hingga sengketa pajak.

Dengan memahami struktur ini secara utuh, perusahaan dapat lebih teliti dalam memisahkan mana beban yang sah untuk fiskal dan mana yang hanya diakui dalam laporan komersial, serta memastikan setiap koreksi fiskal terdokumentasi dengan baik sesuai prinsip kehati-hatian perpajakan.

 

Contoh soal :

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

WHY

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Dalam konteks rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiskal, perbedaan temporer (temporary difference) merupakan salah satu aspek yang memiliki konsekuensi penting terhadap pencatatan pajak dalam laporan keuangan perusahaan. Perbedaan temporer muncul ketika terdapat selisih pengakuan pendapatan atau beban antara standar akuntansi komersial (PSAK) dengan peraturan perpajakan, yang sifatnya hanya sementara karena akan berbalik (reverse) di masa depan. Artinya, perbedaan ini tidak bersifat permanen, melainkan hanya menggeser waktu pengakuan pendapatan atau beban yang pada akhirnya akan sama dalam periode yang lebih panjang.

Berdasarkan PSAK 46 tentang Pajak Penghasilan, perbedaan temporer mengharuskan perusahaan mencatat dampak pajak masa depan yang timbul akibat perbedaan waktu pengakuan tersebut dalam bentuk aset atau liabilitas pajak tangguhan. Dengan demikian, laporan keuangan komersial tetap mampu mencerminkan beban pajak yang wajar dan akurat sesuai konsep matching antara pendapatan dan beban.

Sebagai contoh, apabila penyusutan fiskal lebih besar daripada penyusutan komersial pada periode berjalan, maka laba fiskal akan lebih kecil dibanding laba komersial. Hal ini menyebabkan perusahaan membayar pajak lebih kecil sekarang, tetapi di masa depan ketika aset sudah habis disusutkan fiskal sedangkan komersial masih menyusut, maka laba fiskal akan menjadi lebih besar. Keadaan ini menimbulkan kewajiban pajak di masa depan sehingga harus diakui sebagai liabilitas pajak tangguhan.

Sebaliknya, jika terdapat penyisihan piutang tak tertagih yang diakui dalam laporan komersial sesuai estimasi kerugian yang wajar, tetapi belum diperbolehkan diakui dalam fiskal karena belum memenuhi syarat perpajakan (misalnya belum ada penagihan aktif atau belum melewati jatuh tempo tertentu), maka laba fiskal akan lebih besar dibanding laba komersial. Ini berarti perusahaan membayar pajak lebih besar sekarang, tetapi ketika piutang tersebut benar-benar tidak tertagih dan kemudian diperkenankan fiskal, maka akan menurunkan laba fiskal di masa depan. Situasi ini menimbulkan hak penghematan pajak di masa depan, sehingga dicatat sebagai aset pajak tangguhan.

Untuk merekam konsekuensi masa depan dari perbedaan temporer ini, PSAK 46 mensyaratkan entitas melakukan pencatatan melalui jurnal umum. Jika terjadi aset pajak tangguhan, jurnalnya adalah:

Pajak Tangguhan (Aset)         x x x

     Beban Pajak Tangguhan                            xxx

Sebaliknya, jika muncul liabilitas pajak tangguhan, jurnalnya:

Beban Pajak Tangguhan                         xxx
      Pajak Tangguhan (Aset)                               xxx

Dengan pencatatan ini, laporan keuangan akan memperlihatkan beban pajak secara komprehensif yang mencakup beban pajak kini (current tax expense) serta beban atau penghematan pajak masa depan (deferred tax expense/benefit). Hal ini penting agar laporan laba rugi benar-benar memberikan gambaran total kewajiban pajak yang berkaitan dengan laba komersial perusahaan, tidak hanya pajak yang dibayar tahun berjalan.

Jika Tanpa Rekonsiliasi maka :

(PPT Undira)
(PPT Undira)

1. Kurang bayar pajak karena laba fiskal > laba komersial → potensi sanksi

Dalam banyak kasus, laba fiskal bisa lebih besar daripada laba menurut laporan komersial. Hal ini biasanya terjadi karena adanya biaya yang diakui secara komersial tetapi tidak boleh diakui untuk tujuan fiskal, misalnya denda pajak, biaya representasi yang melebihi batas, atau sumbangan tertentu yang tidak memenuhi syarat perpajakan. Jika perusahaan tidak melakukan rekonsiliasi, maka selisih ini tidak akan terdeteksi sehingga laba kena pajak yang dilaporkan dalam SPT akan lebih rendah dari yang seharusnya. Akibatnya terjadi kurang bayar pajak, yang saat ditemukan oleh otoritas pajak melalui pemeriksaan, akan dikenakan sanksi berupa bunga, denda administrasi, bahkan dapat membuka potensi penyidikan pidana perpajakan jika dianggap sebagai penggelapan pajak.

2. Lebih bayar pajak jika koreksi tidak dilakukan → rugi kas

Sebaliknya, bisa juga terjadi situasi di mana tanpa rekonsiliasi fiskal yang tepat, perusahaan justru membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya. Ini biasanya terjadi bila perusahaan tidak memanfaatkan koreksi fiskal negatif, seperti pendapatan yang seharusnya tidak menjadi objek pajak (misalnya dividen dari sesama wajib pajak dalam negeri), atau beban yang menurut fiskal dapat diperbolehkan meskipun tidak dicatat dalam laporan komersial. Kondisi ini membuat perusahaan membayar pajak lebih besar (overpaid tax), yang pada akhirnya berdampak langsung pada likuiditas kas perusahaan. Walaupun pengembalian pajak (restitusi) bisa diajukan, prosesnya panjang dan berpotensi memicu audit mendalam.

3. Audit pajak berisiko tinggi jika tidak ada dokumen rekonsiliasi yang memadai

Salah satu hal pertama yang diminta oleh pemeriksa pajak saat melakukan audit atau pemeriksaan bukti permulaan adalah dokumen rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dengan perhitungan fiskal. Jika perusahaan tidak memiliki dokumen rekonsiliasi yang memadai, hal ini dianggap sebagai indikasi kurangnya transparansi dan dapat memperbesar ruang koreksi fiskus, sekaligus memunculkan asumsi itikad tidak baik (bad faith) dari wajib pajak. Audit pajak yang semula bisa berjalan sederhana berpotensi diperluas (extensive audit), yang tentu saja meningkatkan risiko koreksi fiskal dalam jumlah besar dan memperpanjang proses administrasi pemeriksaan.

4. Kesalahan pelaporan dalam SPT Tahunan Badan

Tanpa rekonsiliasi fiskal yang benar, laporan laba rugi yang disajikan di SPT Tahunan (Formulir 1771) sangat berisiko mengandung data yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Akibatnya, laporan SPT dapat dinilai tidak benar (incorrect return). Hal ini selain dapat memicu koreksi pajak pada saat audit, juga dapat mengurangi reputasi perusahaan dalam penilaian kepatuhan pajak (tax compliance level) yang memengaruhi profil risiko di database DJP. Jika profil risiko perusahaan tinggi, maka kemungkinan perusahaan diperiksa di masa depan juga semakin besar.

Permanent Difference

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 46 tentang “Penyajian Laporan Keuangan

Konsolidasian.”

1. PSAK 46 sebenarnya tentang Pajak Penghasilan

Dalam literatur standar akuntansi Indonesia, PSAK 46 adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang secara khusus mengatur tentang “Akuntansi Pajak Penghasilan”, bukan tentang laporan keuangan konsolidasian. PSAK 46 memberikan pedoman bagaimana entitas harus mengakui, mengukur, menyajikan, dan mengungkapkan konsekuensi pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) dalam laporan keuangan.
Fokus utamanya adalah:

  • Mengakui aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan yang timbul dari perbedaan temporer.

  • Mengakui beban pajak kini dan beban pajak tangguhan pada periode terjadinya transaksi yang memicu pajak, agar beban pajak dicocokkan dengan laba akuntansi yang dilaporkan (matching concept).

Jadi, jika kita berbicara soal PSAK 46, maka ini terkait topik pajak penghasilan (current & deferred), bukan konsolidasi laporan keuangan.

 2. Laporan keuangan konsolidasian diatur oleh PSAK lain

Sementara itu, laporan keuangan konsolidasian yaitu laporan yang menyajikan posisi keuangan dan hasil usaha gabungan dari entitas induk dengan entitas anak (juga mencakup pengaruh atas entitas asosiasi dan pengendalian bersama) diatur dalam standar yang berbeda, yaitu:

  • PSAK 65: “Laporan Keuangan Konsolidasian”

  • PSAK 15: “Investasi pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama”

Dalam standar tersebut dijelaskan bahwa laporan keuangan konsolidasian menyajikan informasi keuangan seolah-olah entitas induk dan seluruh entitas anaknya adalah satu entitas ekonomi tunggal. Konsolidasi dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang aset, liabilitas, pendapatan, dan beban dari seluruh grup usaha.

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Contoh PSAK 46

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)


Struktur Chart Of Accounts (COA) – Rekonsiliasi Pajak, Contoh Struktur COA Yang Bisa Anda Gunakan Untuk Membantu Pelacakan Dan Rekonsiliasi Perbedaan Permanen Dan Temporer:

(PPT Undira)
(PPT Undira)
(PPT Undira)
(PPT Undira)

Praktik yang dapat dilakukan

(PPT Undira)
(PPT Undira)


(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)
(PPT Undira)
(PPT Undira)

HOW

Pemikiran Filsuf tentang Etika, Hukum, dan Tindakan Moral 

(PPT Undira)
(PPT Undira)

 Penjelasan lebih dalam 4 kritik pada rekonsiliasi

1. Duplikasi pekerjaan

  • Ini membuat pekerjaan akuntan menjadi dua kali lipat, padahal sebagian besar data yang digunakan sama.

  • Perlu waktu ekstra, biaya konsultan, audit tambahan, hingga beban mental tim keuangan.

2. Kebingungan bagi pemangku kepentingan

  • Investor bisa mempertanyakan kenapa laba komersial Rp 10 M, tapi laba fiskal hanya Rp 6 M (atau sebaliknya).

  • Kreditor juga bisa salah menilai kemampuan bayar jika hanya melihat salah satu laporan.

3. Tantangan IT & ERP

  • Sistem akuntansi (misalnya SAP, Oracle, Accurate) sering perlu customization agar bisa menghasilkan dua basis pencatatan.

  • Kalau tidak bisa otomatis, harus manual (rekonsiliasi di Excel) ➔ rentan salah hitung.

4. Potensi ketidakonsistenan & kesalahan

  • Jika rekonsiliasi tidak teliti, akan muncul temuan saat audit pajak (audit finding).

  • Bisa memicu sanksi administrasi pajak, denda, bahkan pidana jika dianggap manipulasi.


Mengapa meskipun "tidak efisien" rekonsiliasi ini tetap dilakukan?

Karena:

  • Aturan pajak memang mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian & pengungkapan yang berbeda dari PSAK.
    Contoh:

    • Pajak tidak mengakui penyusutan aset tertentu yang diakui dalam PSAK.

    • Biaya tertentu boleh dibebankan menurut PSAK tapi tidak menurut pajak.

  • Jika tidak melakukan rekonsiliasi, perusahaan bisa salah menghitung pajak terutang ➔ berisiko kurang bayar pajak & kena sanksi.

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Secara teori hukum fiskal

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Gambar di atas memuat penjelasan mengenai pandangan hukum dan filsafat mengenai pajak, khususnya dalam konteks bagaimana sistem perpajakan dapat menyulitkan wajib pajak (WP) secara moral maupun praktis. Secara teori hukum fiskal, pajak didefinisikan sebagai bentuk “paksaan sah” oleh negara, yang berarti bahwa selama pengenaan pajak diatur dalam undang-undang, maka tindakan tersebut legal meskipun tidak selalu rasional atau adil dalam pandangan pelaku usaha. Hal ini diperkuat oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Artinya, negara berhak menarik pajak secara memaksa, dan legitimasi hukum ini sudah cukup untuk menjadikan pungutan pajak sah. Dalam kerangka ini, pajak tidak harus selaras dengan logika ekonomi atau keadilan menurut sudut pandang dunia usaha, karena keabsahannya ditentukan oleh hukum, bukan oleh logika moral atau kepatutan etis.

Pandangan tersebut menimbulkan beban yang cukup berat bagi dunia usaha. Dalam praktiknya, perusahaan harus menyusun dua versi laporan keuangan, yaitu laporan komersial (berbasis PSAK) dan laporan fiskal (berbasis peraturan perpajakan). Selain menambah beban administratif dan biaya, perusahaan juga diwajibkan membayar pajak atas laba akuntansi yang belum tentu terealisasi dalam bentuk kas, seperti laba atas piutang yang belum tertagih. Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara menuntut kepastian penerimaan pajak dari laba “di atas kertas”, meskipun dari sisi arus kas perusahaan justru bisa merugi. Bahkan dalam situasi di mana interpretasi fiskus berbeda sedikit saja dari yang dilaporkan wajib pajak, risiko sanksi tetap mengintai, karena otoritas perpajakan memiliki kekuasaan untuk menafsirkan ketentuan secara sepihak.

Lebih jauh, gambar ini juga menyoroti kritik moral yang cukup tajam, yaitu bahwa negara tidak ikut menanggung risiko bisnis, tetapi tetap menuntut kepastian penerimaan pajak. Dalam realitasnya, perusahaan bisa saja mengalami tekanan likuiditas atau bahkan arus kas negatif, namun tetap dibebani kewajiban membayar pajak karena secara fiskal tercatat memperoleh laba. Kritik ini menyentuh aspek etika dan keadilan dalam hubungan antara negara dan pelaku usaha. Negara dianggap hanya hidup dalam satu dimensi: dimensi kepastian hukum, tanpa mempertimbangkan dimensi ekonomi yang lebih kompleks seperti risiko usaha, volatilitas pasar, dan tekanan keuangan yang dihadapi oleh wajib pajak.

Kritik Pada Rekonsiliasi

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial (PSAK) dan laporan fiskal sering dikritik karena dianggap melelahkan dan tidak kompatibel dengan realitas bisnis. Negara memang memaksa sistem perpajakan berjalan sesuai undang-undang, tetapi hal ini menimbulkan tekanan besar bagi wajib pajak, terutama UMKM. PSAK dinilai lebih rasional secara ekonomi, namun tetap harus direkonsiliasi karena tuntutan hukum dan kebutuhan transparansi.

Kritik muncul karena kebijakan ini bukan hanya salah secara teknis, tetapi juga secara moral dan etis. Negara menuntut kepastian pajak tanpa menyesuaikan dengan kondisi riil dunia usaha. Dalam sudut pandang etika, tindakan negara bisa dianggap menindas jika tidak memperhatikan keadilan substantif. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem perpajakan melalui kebijakan yang lebih adil serta teknologi akuntansi dan pajak yang efisien.

Kritik Pajak pada Tahapan Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg ;

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Tingkat Kritik Pajak pada Tahapan Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg ;

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Gambar pertama membahas kritik terhadap perpajakan dengan menggunakan teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg. Pada tahap prakonvensional, kepatuhan pajak muncul hanya karena rasa takut akan sanksi. Pada tahap konvensional, wajib pajak taat karena mengikuti norma umum, misalnya “semua orang bayar pajak.” Sedangkan tahap paling tinggi, pascakovenional, menggambarkan kepatuhan berdasarkan kesadaran moral, di mana wajib pajak mendukung sistem pajak yang adil dan manusiawi. Kritik muncul ketika negara hanya berhenti pada tahap prosedural tanpa memikirkan keadilan substansial. Jika hukum pajak hanya menekankan prosedur, maka ia kehilangan esensi moralnya, sebab aturan seharusnya melayani keadilan, bukan sekadar menegakkan kekuasaan.

Gambar kedua mengulas kritik berdasarkan filsafat Immanuel Kant, yang menekankan martabat manusia sebagai nilai moral tertinggi. Prinsip dasar etika Kant menyatakan bahwa setiap tindakan harus memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat. Dalam konteks pajak, ketika negara hanya menjadikan warga sebagai alat penerimaan negara tanpa mempertimbangkan kesejahteraan, otonomi, dan keadilan bagi wajib pajak, maka negara telah melanggar martabat manusia. Tabel di bagian bawah gambar mengaitkan prinsip Kant dengan pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan pajak, misalnya sistem pajak yang terlalu memaksa, menolak memberi ruang penilaian adil, mengutamakan penerimaan negara di atas kejelasan moral, serta mengabaikan transparansi dalam sistem akuntansi. Oleh karena itu, reformasi perpajakan idealnya tidak hanya berfokus pada aspek teknis fiskal, tetapi juga memperhatikan prinsip moral dan etika kolektif.

Sintesis Moral Pajak, rerangka Immanuel Kant (1724 –1804)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira
(PPT Undira

Etika moral Immanuel Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Dalam konteks perpajakan, negara tidak boleh menjadikan warga negara sebagai “alat fiskal” semata untuk mengejar penerimaan negara. Prinsip dasar Kant menyatakan bahwa martabat manusia bersifat intrinsik, dan setiap individu memiliki hak atas penghormatan moral, termasuk dalam kebijakan pajak.

Sistem perpajakan yang hanya menekankan kepatuhan teknis dan prosedural tanpa mempertimbangkan keadilan moral, dinilai telah melanggar nilai-nilai etika. Negara seharusnya menyusun kebijakan pajak yang tidak hanya sah menurut hukum, tetapi juga adil secara moral. Ini berarti sistem pajak harus dirancang secara transparan, rasional, dan menghormati hak serta martabat wajib pajak.

Sintesis dari pemikiran Kant tersebut menuntut negara untuk: (1) tidak memperlakukan warga sebagai objek pemungutan semata, (2) menciptakan sistem perpajakan yang manusiawi dan relevan dengan kondisi riil, dan (3) memastikan bahwa keabsahan hukum pajak juga sejalan dengan prinsip keadilan etis. Dengan demikian, pajak bukan hanya menjadi alat negara, tetapi juga cerminan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.

Kritik “Pajak” pada Manusia Satu Dimensi, Herbert Marcuse

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Gambar ini menjelaskan kritik filsafat Herbert Marcuse terhadap sistem pajak yang disebut sebagai “manusia satu dimensi”. Marcuse mengkritik bahwa sistem pajak dapat menjadi alat ideologi negara yang menutupi sifat aslinya sebagai mekanisme kontrol birokratis. Dalam konteks perpajakan, “patuh pajak” sering dipropagandakan sebagai tindakan baik dan nasionalis, sementara kritik terhadap sistem justru dicap negatif.

Selain itu, sistem teknokratis menekan manusia karena akuntan dan pelaku usaha diwajibkan melakukan rekonsiliasi ganda antara laporan komersial dan fiskal, tanpa ruang untuk mempertanyakan rasionalitasnya. Pemikiran alternatif, seperti menyatukan laporan komersial dan fiskal agar lebih efisien, dianggap terlalu naif atau bahkan radikal, sehingga tidak dipertimbangkan.

Marcuse juga menyoroti adanya “kebutuhan palsu” yang diciptakan oleh sistem, misalnya negara lebih mengutamakan “kepastian fiskal” meskipun itu justru menambah beban administratif bagi wajib pajak. Intinya, kritik Marcuse mengajak agar kita melawan sistem perpajakan yang hanya melihat satu dimensi kepentingan negara, tanpa memberi ruang untuk pertimbangan rasional, keadilan, dan kesejahteraan manusia secara utuh.


(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Kritik Pajak di Indonesia dan Diskurus Henry David Thoreau, Civil Disobedience

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Gambar tersebut menjelaskan kritik filsafat Herbert Marcuse terhadap sistem pajak yang disebut sebagai “manusia satu dimensi”. Marcuse mengkritik bahwa sistem pajak dapat menjadi alat ideologi negara yang menutupi sifat aslinya sebagai mekanisme kontrol birokratis. Dalam konteks perpajakan, “patuh pajak” sering dipropagandakan sebagai tindakan baik dan nasionalis, sementara kritik terhadap sistem justru dicap negatif.

Selain itu, sistem teknokratis menekan manusia karena akuntan dan pelaku usaha diwajibkan melakukan rekonsiliasi ganda antara laporan komersial dan fiskal, tanpa ruang untuk mempertanyakan rasionalitasnya. Pemikiran alternatif, seperti menyatukan laporan komersial dan fiskal agar lebih efisien, dianggap terlalu naif atau bahkan radikal, sehingga tidak dipertimbangkan.

Marcuse juga menyoroti adanya “kebutuhan palsu” yang diciptakan oleh sistem, misalnya negara lebih mengutamakan “kepastian fiskal” meskipun itu justru menambah beban administratif bagi wajib pajak. Intinya, kritik Marcuse mengajak agar kita melawan sistem perpajakan yang hanya melihat satu dimensi kepentingan negara, tanpa memberi ruang untuk pertimbangan rasional, keadilan, dan kesejahteraan manusia secara utuh.

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Prinsip Henry David Thoreau menekankan pentingnya mengikuti suara hati nurani daripada sekadar mematuhi hukum. Dalam konteks perpajakan modern, hal ini berarti praktisi dan pelaku usaha memiliki hak moral untuk menolak sistem pajak yang dianggap tidak rasional atau memberatkan. Penolakan seperti ini bukanlah tindakan kriminal, melainkan ekspresi tanggung jawab etika sebagai warga negara.

Kritik terhadap sistem perpajakan tidak dapat disamakan dengan sikap anti-negara, melainkan merupakan upaya menjaga agar kebijakan fiskal tetap adil dan manusiawi. Jika pajak justru menindas rakyat dan memperparah kesulitan hidup, maka sistem tersebut patut ditolak atau diperbaiki. Namun penolakan ini dilakukan secara damai, terbuka, dan bertujuan mendorong reformasi, bukan untuk menciptakan kekacauan. Dengan demikian, pemikiran Thoreau mengajarkan bahwa keberanian moral dalam menghadapi ketidakadilan adalah bentuk kesetiaan tertinggi pada keadilan itu sendiri.

Matriks Perbandingan Pemikiran Filsuf tentang Etika, Hukum, dan Tindakan Moral

(PPT Undira)
(PPT Undira)

(PPT Undira)
(PPT Undira)


                                                                                                                  Daftar Putsaka

  • Ikatan Akuntan Indonesia. (2019). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46: Pajak Penghasilan. Jakarta

  • Ikatan Akuntan Indonesia. (2017). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 65: Laporan Keuangan Konsolidasian. Jakarta

  • Ikatan Akuntan Indonesia. (2015). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 15: Investasi pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama. Jakarta

  • Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133.

  • Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 23A.

  • Direktorat Jenderal Pajak. (2023). Formulir SPT Tahunan PPh Badan (1771) dan Lampiran-lampirannya. Jakarta: DJP.

  • Mardiasmo. (2018). Perpajakan Edisi Terbaru. Yogyakarta: Andi.

  • Rudianto. (2017). Akuntansi Pajak: Konsep, Teori, dan Implementasi PSAK 46. Jakarta: Mitra Wacana Media.

  • Kant, I. (1785/2012). Groundwork of the Metaphysics of Morals (T. K. Abbott, Trans.). New York: Harper Perennial.

  • Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press.

  • Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development. San Francisco: Harper & Row.

  • Thoreau, H. D. (1849/2008). Civil Disobedience. New York: Penguin Classics.

  • Modul dan Slide Perkuliahan Akuntansi Perpajakan, Universitas Dian Nusantara (UNDIRA), 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun