Etika moral Immanuel Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Dalam konteks perpajakan, negara tidak boleh menjadikan warga negara sebagai “alat fiskal” semata untuk mengejar penerimaan negara. Prinsip dasar Kant menyatakan bahwa martabat manusia bersifat intrinsik, dan setiap individu memiliki hak atas penghormatan moral, termasuk dalam kebijakan pajak.
Sistem perpajakan yang hanya menekankan kepatuhan teknis dan prosedural tanpa mempertimbangkan keadilan moral, dinilai telah melanggar nilai-nilai etika. Negara seharusnya menyusun kebijakan pajak yang tidak hanya sah menurut hukum, tetapi juga adil secara moral. Ini berarti sistem pajak harus dirancang secara transparan, rasional, dan menghormati hak serta martabat wajib pajak.
Sintesis dari pemikiran Kant tersebut menuntut negara untuk: (1) tidak memperlakukan warga sebagai objek pemungutan semata, (2) menciptakan sistem perpajakan yang manusiawi dan relevan dengan kondisi riil, dan (3) memastikan bahwa keabsahan hukum pajak juga sejalan dengan prinsip keadilan etis. Dengan demikian, pajak bukan hanya menjadi alat negara, tetapi juga cerminan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Kritik “Pajak” pada Manusia Satu Dimensi, Herbert Marcuse
Gambar ini menjelaskan kritik filsafat Herbert Marcuse terhadap sistem pajak yang disebut sebagai “manusia satu dimensi”. Marcuse mengkritik bahwa sistem pajak dapat menjadi alat ideologi negara yang menutupi sifat aslinya sebagai mekanisme kontrol birokratis. Dalam konteks perpajakan, “patuh pajak” sering dipropagandakan sebagai tindakan baik dan nasionalis, sementara kritik terhadap sistem justru dicap negatif.
Selain itu, sistem teknokratis menekan manusia karena akuntan dan pelaku usaha diwajibkan melakukan rekonsiliasi ganda antara laporan komersial dan fiskal, tanpa ruang untuk mempertanyakan rasionalitasnya. Pemikiran alternatif, seperti menyatukan laporan komersial dan fiskal agar lebih efisien, dianggap terlalu naif atau bahkan radikal, sehingga tidak dipertimbangkan.
Marcuse juga menyoroti adanya “kebutuhan palsu” yang diciptakan oleh sistem, misalnya negara lebih mengutamakan “kepastian fiskal” meskipun itu justru menambah beban administratif bagi wajib pajak. Intinya, kritik Marcuse mengajak agar kita melawan sistem perpajakan yang hanya melihat satu dimensi kepentingan negara, tanpa memberi ruang untuk pertimbangan rasional, keadilan, dan kesejahteraan manusia secara utuh.
Kritik Pajak di Indonesia dan Diskurus Henry David Thoreau, Civil Disobedience