Pajak tidak mengakui penyusutan aset tertentu yang diakui dalam PSAK.
Biaya tertentu boleh dibebankan menurut PSAK tapi tidak menurut pajak.
Jika tidak melakukan rekonsiliasi, perusahaan bisa salah menghitung pajak terutang ➔ berisiko kurang bayar pajak & kena sanksi.
Secara teori hukum fiskal
Gambar di atas memuat penjelasan mengenai pandangan hukum dan filsafat mengenai pajak, khususnya dalam konteks bagaimana sistem perpajakan dapat menyulitkan wajib pajak (WP) secara moral maupun praktis. Secara teori hukum fiskal, pajak didefinisikan sebagai bentuk “paksaan sah” oleh negara, yang berarti bahwa selama pengenaan pajak diatur dalam undang-undang, maka tindakan tersebut legal meskipun tidak selalu rasional atau adil dalam pandangan pelaku usaha. Hal ini diperkuat oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Artinya, negara berhak menarik pajak secara memaksa, dan legitimasi hukum ini sudah cukup untuk menjadikan pungutan pajak sah. Dalam kerangka ini, pajak tidak harus selaras dengan logika ekonomi atau keadilan menurut sudut pandang dunia usaha, karena keabsahannya ditentukan oleh hukum, bukan oleh logika moral atau kepatutan etis.
Pandangan tersebut menimbulkan beban yang cukup berat bagi dunia usaha. Dalam praktiknya, perusahaan harus menyusun dua versi laporan keuangan, yaitu laporan komersial (berbasis PSAK) dan laporan fiskal (berbasis peraturan perpajakan). Selain menambah beban administratif dan biaya, perusahaan juga diwajibkan membayar pajak atas laba akuntansi yang belum tentu terealisasi dalam bentuk kas, seperti laba atas piutang yang belum tertagih. Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara menuntut kepastian penerimaan pajak dari laba “di atas kertas”, meskipun dari sisi arus kas perusahaan justru bisa merugi. Bahkan dalam situasi di mana interpretasi fiskus berbeda sedikit saja dari yang dilaporkan wajib pajak, risiko sanksi tetap mengintai, karena otoritas perpajakan memiliki kekuasaan untuk menafsirkan ketentuan secara sepihak.
Lebih jauh, gambar ini juga menyoroti kritik moral yang cukup tajam, yaitu bahwa negara tidak ikut menanggung risiko bisnis, tetapi tetap menuntut kepastian penerimaan pajak. Dalam realitasnya, perusahaan bisa saja mengalami tekanan likuiditas atau bahkan arus kas negatif, namun tetap dibebani kewajiban membayar pajak karena secara fiskal tercatat memperoleh laba. Kritik ini menyentuh aspek etika dan keadilan dalam hubungan antara negara dan pelaku usaha. Negara dianggap hanya hidup dalam satu dimensi: dimensi kepastian hukum, tanpa mempertimbangkan dimensi ekonomi yang lebih kompleks seperti risiko usaha, volatilitas pasar, dan tekanan keuangan yang dihadapi oleh wajib pajak.
Kritik Pada Rekonsiliasi
Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial (PSAK) dan laporan fiskal sering dikritik karena dianggap melelahkan dan tidak kompatibel dengan realitas bisnis. Negara memang memaksa sistem perpajakan berjalan sesuai undang-undang, tetapi hal ini menimbulkan tekanan besar bagi wajib pajak, terutama UMKM. PSAK dinilai lebih rasional secara ekonomi, namun tetap harus direkonsiliasi karena tuntutan hukum dan kebutuhan transparansi.