Salah satu hal pertama yang diminta oleh pemeriksa pajak saat melakukan audit atau pemeriksaan bukti permulaan adalah dokumen rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dengan perhitungan fiskal. Jika perusahaan tidak memiliki dokumen rekonsiliasi yang memadai, hal ini dianggap sebagai indikasi kurangnya transparansi dan dapat memperbesar ruang koreksi fiskus, sekaligus memunculkan asumsi itikad tidak baik (bad faith) dari wajib pajak. Audit pajak yang semula bisa berjalan sederhana berpotensi diperluas (extensive audit), yang tentu saja meningkatkan risiko koreksi fiskal dalam jumlah besar dan memperpanjang proses administrasi pemeriksaan.
4. Kesalahan pelaporan dalam SPT Tahunan Badan
Tanpa rekonsiliasi fiskal yang benar, laporan laba rugi yang disajikan di SPT Tahunan (Formulir 1771) sangat berisiko mengandung data yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Akibatnya, laporan SPT dapat dinilai tidak benar (incorrect return). Hal ini selain dapat memicu koreksi pajak pada saat audit, juga dapat mengurangi reputasi perusahaan dalam penilaian kepatuhan pajak (tax compliance level) yang memengaruhi profil risiko di database DJP. Jika profil risiko perusahaan tinggi, maka kemungkinan perusahaan diperiksa di masa depan juga semakin besar.
Permanent Difference
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 46 tentang “Penyajian Laporan Keuangan
Konsolidasian.”
1. PSAK 46 sebenarnya tentang Pajak Penghasilan
Dalam literatur standar akuntansi Indonesia, PSAK 46 adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang secara khusus mengatur tentang “Akuntansi Pajak Penghasilan”, bukan tentang laporan keuangan konsolidasian. PSAK 46 memberikan pedoman bagaimana entitas harus mengakui, mengukur, menyajikan, dan mengungkapkan konsekuensi pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) dalam laporan keuangan.
Fokus utamanya adalah: