Mohon tunggu...
Yakobus
Yakobus Mohon Tunggu... Relawan - Tuhan Penolong Abadi, I become minister

Membela kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Big Money" Menghancurkan Demokrasi

13 Februari 2018   18:30 Diperbarui: 13 Februari 2018   19:21 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jambi Zumi Zola (kiri) berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (22/1). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Hal ini mengindikasikan bahwa program-program pemerintah dalam rangka penurunan kemiskinan belum cukup nyata berpegaruh. Walaupun, sudah diberlakukan adanya desentralisasi kewenangan dan kenaikan jumlah dana desa dari 46,9 triliun tahun 2016 menjadi 120 triliun di tahun 2018. Lalu, kenapa adanya program dana desa ini tidak berpengaruh terhadap menurunnya angka kemiskinan ? Di tahun 2018 melakukan perubahan strategi. Presiden Joko Widodo menginstruksikan, program dana desa dan proyek infrastruktur pada kementerian/lembaga, harus berorientasi pada pembukaan lapangan pekerjaan serta komposisi dana desa untuk desa miskin (lebih banyak) akan dinaikkan dari 20 persen menjadi lebih dari 35 persen.

Dari perubahan strategi ini, kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) semestinya hanya perlu KERJA KERAS memfasilitasi dan mengkoordinasikan peran pemerintah tersebut bagi rakyatnya. Pejabat-pejabat Kepala Daerah yang ikut dalam pencalonan pimpinan daerah seharusnya mereka percaya diri. Tapi ternyata yang terjadi malah  "bunuh diri" dan membuat sistem demokrasi bertumbuh tak tentu arah.

Sebagai  bagian dari masyarakat yang telah menyerahkan sebagian haknya kepada negara, dimana dalam hal ini penyaluran aspirasi  dilakukan melalui pemerintah (dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi)  dan lembaga legislatif merasa kecewa. Kecewa karena di sebagian daerah  ternyata terbalik, pemimpin daerah dan dewan perwakilan bukannya mengawasi tetapi memanfaatkan anggaran pembangunan.

Tetapi, calon pemimpin daerah masih boleh belajar dari Pembiayaan Publik Donor Kecil seperti yang pernah dilakukan di Propinsi DKI Jakarta.  Walaupun peran serta publik melalui kampanye organisasi relawan tersebut belum sampai Final dalam mendorong konstentan calon kadidat Gubernur DKI Jakarta tersebut maju melalui jalur independen. Tetapi, semangat itulah yang harus menjadi daya bagi calon kepala daerah saat ini dan kedepan.

Dalam Undang-Undang  No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, dalam Pasal 74 menambahkan satu sumber dana kampanye untuk Pasangan Calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik yaitu dari Pasangan Calon. Sumber Dana Kampanye lainnya diperoleh dari sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon dan sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. Sayangnya, ruang besar yang disediakan oleh undang-undang ini tidak dimanfaatkan oleh partai pendukung dan calon pemimpin daerah.

Belajar dari permasalahan tentang buruknya kaderisasi partai, maka perlu penetapan ambang batas parlemen 7,5 % dan memerlukan serangkaian reformasi yang komprehensif yang bersifat pendek dan menengah. Pertama, perbaiki kaderisasi partai untuk calon pemimpin daerah dan bukan Last Minute Candidate. Kedua, Pembiayaan Donor/Publik yang lebih transparan. Ketiga, Pengungkapan Belanja Politik dan Keempat, Penegakan aturan yang real tentang keuangan kampanye.

Namun, pemeran utama adalah Kesekjenan Partai. Kesekjenan yang merupakan otak dari mesin penggerak partai harus memperbaiki sistem yang tak seimbang ini. Atau mereka hanya membiarkan lobang gelap yang dalam di jalan transisi demokrasi kita.

Penulis : 

Anggota ISKA, Anggota Korps Cendekiawan Menwa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun