Seperti diketahui dua stasiun televisi swasta yaitu RCTI dan iNews melakukan gugatan terhadap UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Pihak RCTI maupun iNews menilai ada perbedaan perlakuan dari sisi regulasi baik antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio (televisi) dengan penyelenggara penyiaran Over The Top (OTT) yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix.
Menanggapi gugatan RCTI dan iNews, pihak dari Kemenkominfo mengemukakan bilamana gugatan dikabulkan, maka ada kemungkinan ditutupnya fitur siaran di media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, dan Facebook Live.Â
Namun pihak RCTI dan iNews membantah bahwa uji materi tersebut dapat berimbas kepada masyarakat tak bisa live di media sosial.
Corporate Legal Director MNC Group, Christophorus Taufik mengatakan pihaknya tidak ingin mengkebiri kreativitas pegiat medsos. Namun menurutnya, untuk mengusung kesetaraan dan tanggung jawab moral konstitusional.
"Itu tidak benar. Permohonan uji materi RCTI dan iNews tersebut justru dilatarbelakangi keinginan untuk melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat YouTuber dan selebgram dari berbagai belahan dunia dan mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian," sambungnya. - Detik.com
Melihat kasus diatas, Penulis sebagai orang awam selayaknya mafhum dengan kegelisahan yang dialami baik oleh RCTI dan iNews.
Terlepas dari intrik bisnis yang besar kemungkinan melatarbelakangi lahirnya delik aduan ini. Karena bila kita jujur-jujuran di balik layar keberadaan penyelenggara penyiaran Over The Top (OTT) secara terang-terangan dari hari ke hari kian menggerus periuk nasi pertelevisian nasional dimana potensi pendapatan dari sisi iklan yang didapati oleh stasiun televisi beralih ke media yang kini diminati banyak kalangan yang perlahan meninggalkan media konvesional televisi sebagai sarana utama hiburan.
Namun jika ditelaah lebih lanjut bahwasanya delik aduan ini bertujuan agar adanya kesetaraan regulasi baik kepada stasiun televisi maupun penyelenggara penyiaran OTT yang menggunakan internet maka Penulis mengatakan mungkin memang ada benarnya juga.
Kembali kalau kita boleh jujur-jujuran, baik konten dari penyelenggara penyiaran OTT yang menggunakan internet bahwasanya masih perlu disaring. Sebagai contoh konten pada Netflix tak sedikit menampilkan unsur-unsur yang tidak umum, seperti adegan-adegan yang bisa dibilang berseberangan dengan budaya ketimuran.Â
Begitupun dengan konten-konten lokal di Youtube yang mohon maaf tak sedikit yang menjual gaya hidup hedois dan konten-konten mengundang kontroversi.
Memang jika diberlakukannya aturan penyiaran maka konten-konten tersebut selayaknya akan mendapatkan perlakuan serupa layaknya industri pertelevisian. Lantas yang jadi pertanyaan dengan pemberlakuan yang serupa, apakah konten pada penyelenggara penyiaran OTT menjadi tidak menarik dan mengurangi peminatnya? Itu kiranya hal yang perlu ditinjau lebih lanjut.