Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menatap Pemilu 2014

12 September 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:59 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai pemilih, kita mesti bertanya, apa yang berbeda Pemilu 2014 nanti dengan pemilu-pemilu sebelumnya? Adakah secercah harapan dan perubahan yang akan dicetuskan dari hasilPemilu 2014 nanti?

Kalau melihat wajah-wajah caleg baik yang lokal maupun nasional, nampaknya harapan dan perubahan setelah Pemilu 2014 kecil. Dari baliho-baliho dan spanduk-spanduk yang bertebaran di mana-mana saya tidak menangkap dan merasakan akan adanya kesungguhan serta keseriusan para caleg tersebut untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di lembaga legislatif. Betapa tidak, foto-foto caleg yang nampak umumnya adalah caleg-caleg baru dan lama yang tidak punya rekam jejak yang sungguh memperjuangkan maslahat rakyat. Mereka adalah para caleg yang hanya menebar pesona. Mereka adalah para caleg yang hanya mengandalkan pencitraan belaka. Mereka adalah para caleg yang mempraktikkan money politik. Jadi, apa dasarnya perubahan bisa ditorehkan dari para celag tersebut?

Sejauh mata memandang dan sejauh telinga mendengar, caleg-caleg alternatif dalam Pemilu 2014 amat minim – kalau tidak mau dibilang tidak ada. Pemilu 2014 sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang digelar sejak runtuhnya orde baru. Pemilu-pemilu pasca orde baru sesungguhnya adalah kontestasi para elite politik, pemodal, dan figur artis-an. Para caleg yang bersaing dalam pemilu adalah orang-orang yang memiliki modal dan jaringan kekuasaan. Para caleg yang mencalonkan diri adalah orang-orang yang punya popularitas belaka. Para caleg dengan modal kompetensi, kepemimpinan dan program kerakyatan amat sulit ditemukan dalam kontestasi Pemilu 2014 ini. Yang lolos dan dominan mengisi daftar kursi pencalegkan parpol adalah mereka-mereka yang dekat dengan kekuasaan, punya modal besar, dan popularitas. Caleg-caleg inilah yang masuk dalam barisan dinasti politik, oligarki kekuasaan, dan persohor.

Caleg yang lahir dari proses pergumulan sosial, penyadaran sosial dan pemikiran kritis amat sulit ditemukan dalam daftar caleg Pemilu 2014. Bagi kita, caleg yang bisa menawarkan perubahan sosial di tengah kehidupan masyarakat adalah mereka yang pernah bergumul dan hidup bersama rakyat. Bukan caleg yang hanya duduk di menara gading. Caleg yang bisa memberikan harapan perubahan bagi bangsa dan negara ini adalah mereka yang sudah terbukti memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan caleg yang hanya pandai berwacana dan beretorika di media tetapi tidak pernah bekerja sungguh-sungguh untuk kemaslahatan rakyat. Caleg yang bisa mencetuskan perubahan di ruang lembaga legislatif adalah mereka yang memiliki gagasan dan pemikiran kritis. Bukan caleg yang hanya pandai menebar pesona.

Fenomena dominasi caleg yang berasal dari barisan dinasti politik, oligarki kekuasaan, dan kaum pesohor adalah indikasi tiadanya perubahan tatanan politik bangsa. System politik demokrasi kita masih transaksional. Kultur politik kita masih terlalu elitis, dan praktik politik bangsa masih korup. Tatanan politik seperti ini jelas tidak akan bisa melahirkan calon-calon pemimpin yang bisa diharapkan untuk melakukan terobosan dan transformasi sosial politik, ekonomi dan hukum. Pemimpin-pemimpin bangsa yang bisa lahir dari tatanan politik transaksional adalah para konservatif yang tidak menginginkan perubahan pada tatanan politik. Dan pemimpin-pemimpin negara yang lahir dari praktik politik korup jelas adalah para koruptor baru yang akan menggasak uang rakyat.

Dengan begitu, bagi saya, harapan dan optimisme perubahan bangsa dari proses Pemilu 2014 masih amat tipis. Kita hanya bisa optimis apabila ada calon presiden (capres) yang terpilih pada Pemilu 2014 adalah calon alternatif yang punya track record kepemimpinan, idealisme, prinsip kerakyatan dan kenegaraan. Dan sejauh yang saya amati, capres yang mendekati itu adalah Pak Jokowi. Kenapa Pak Jokowi?

Fenomena Jokowi adalah angin segar bagi perubahan kepemimpinan bangsa. Jokowi meski bukan anak kandung dari sebuah gerakan sosial, ia adalah seorang pemimpin yang memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan. Model kepemimpinan Jokowi membersitkan harapan bahwa pemimpin tidak selayaknya hanya bekerja di balik meja. Seorang pemimpin sejatinya harus turun ke akar rumput, menyaksikan langsung kesulitan dan penderitaan rakyat. Seorang pemimpin harus turun langsung ke lapangan merasakan denyut nadi kehidupan ekonomi rakyat. Seorang pemimpin harus terjun langsung ke lapangan untuk membenahi kemandekan dan tersumbatnya masalah. Seorang pemimpin tidak cukup hanya berbicara atau pidato di ruang-raung ber-AC menara gading, tetapi harus lebih sering bersentuhan langsung dengan rakyatnya untuk menyerap beragam aspirasi.

Model kepemimpinan itulah yang telah ditunjukkan oleh Jokowi semasa menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Sebuah model kepemimpinan yang akrab disebut “blusukan”. Bagi sebagian orang blusukan barangkali adalah sebuah pencitraan. Namun bagi saya, blusukan Jokowi adalah langkah nyata yang dibuktikan langsung dengan sebuah kebijakan.

Terbukti ketika baru beberapa bulan ini Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah berhasil membuat gebrakan perubahan seperti kebijakan Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar yang memihak pada masyarakat. Bukan itu saja, Jokowi berhasil membenahi pedagang kaki lima di Pasar Minggu dan Pasar Tanah Abang tanpa merugikan para pedagang.

Kita berharap akan lahir “Jokowi-Jokowi” baru yang bisa menawarkan sebuah kepemimpinan yang merakyat. Bukan model sebuah kepemimpinan yang minta dilayani dan dipuaskan nafsu-nafsunya.

Sabah, 8 September 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun