Bukan hanya judul, isi materi berita di media sosial sering jauh dari kaidah penulisan berita yang diajarkan dalam perkuliahan jurnalistik. Beberapa ketidakselarasan yang umum terjadi antara lain:
Tidak jelas sumbernya informasi hanya berdasarkan "kata orang", tanpa menyebut siapa yang berkata dan dari mana sumber itu didapat.
Bahasa emosional dan provokatif seperti "terguncang hebat!", "dihantam telak!", "memalukan sekali!", yang bertujuan memancing emosi, bukan memberi informasi.
Tidak memenuhi 5W+1H hanya menjawab satu atau dua unsur, sisanya dibiarkan menggantung agar pembaca mencari ke sumber lain.
Campur aduk fakta dan opini pembuat konten sering menyelipkan pendapat pribadinya di tengah narasi, sehingga informasi kehilangan objektivitas.
Padahal, dalam jurnalistik, semua itu harus dijaga. Fakta dan opini harus dipisahkan, bahasa harus netral, sumber harus kredibel, dan isi harus utuh.
Inilah yang kemudian menjadi keprihatinan tersendiri bagi para lulusan Jurnalistik. Bukan semata soal profesi mereka "tergusur", tetapi soal bagaimana nilai-nilai etis, akurasi, dan integritas yang selama ini diajarkan di bangku kuliah menjadi seakan tidak penting di hadapan algoritma dan popularitas.
Fenomena ini juga membawa tantangan baru bagi dunia pendidikan dan media profesional. Harus ada upaya lebih keras untuk meningkatkan literasi media digital di masyarakat.
Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
Pendidikan literasi media di sekolah, agar sejak dini anak-anak diajarkan cara memilah informasi.
Kolaborasi antara media profesional dan platform digital untuk menandai konten yang kredibel.