Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Money

Demi Bisnis, Asbestos "Dipaksa" Aman

11 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 11 Juli 2019   14:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami menuntut, pada pertemuan ini, krisotil dapat dimasukkan dalam daftar Apendiks III atau bahwa Konvensi di reformasi untuk memastikan hal ini. Harapan kami adalah semua delegasi disini mendukungnya. Bagaimana mungkin kepentingan finansial menghalangi kepentingan perlindungan pekerja seperti saya, dari pajanan bahan beracun."

Dingin yang menusuk di luar ruang sidang utama, terasa juga di dalam. Negara-negara peserta konvensi yang juga menginginkan krisotil masuk dalam daftar PIC, terdiam menyimak kesaksian korban krisotil untuk yang kedua kalinya. Belasan anggota perwakilan organisasi non pemerintah internasional ikut berdiri menyatakan dukungannya terhadap kesaksian Subono.

"Sudah banyak korban nyata di berbagai belahan dunia. Anda tidak dapat terus menahan krisotil (masuk dalam daftar PIC) dan mengorbankan manusia hanya demi konsensus," ujar salah satu delegasi NGO dari Australia.

Presiden COP, Osvaldo lvarez-Prez, melanjutkan sidang dengan menanyakan sikap dari peserta intervensi lainnya. Satu dari serikat buruh krisotil Rusia, Kazakhstan dan dari asosiasi manufaktur asbestos di India. Tampak upaya diplomatis dari pimpinan sidang untuk meminta sikap negara-negara penolak krisotil masuk dalam daftar PIC sambil terus meminta negara pendukung untuk memberi argumentasi.

"Krisotil ini sudah dibawa dari COP 8 dan 4 COP sebelumnya. Jika belum ada konsensus dalam sidang ini, maka akan dibawa pada contact group dan dibahas kembali dalam COP selanjutnya," jelas Prez mengingatkan.

Persis sama seperti yang terjadi pada COP 8, suara korban yang diperdengarkan di ruang sidang tidak juga membuat krisotil disepakati menjadi salah satu material di dalam daftar konvensi Rotterdam. Hanya karena masih ada negara yang ragu bahkan menolak memasukan krisotil dalam daftar tambahan konvensi Rotterdam, maka krisotil pun masih harus dibahas pada pertemuan sidang berikutnya.

"Setidaknya, suara kita telah terdengar dan sidang tidak hanya dikuasai oleh para pendukung asbes krisotil," ujar Phillip Hazelton wakil dari organisasi non pemerintah dari Australia.

Mekanisme Konsensus Penghambat

Mekanisme pengambilan keputusan pada sidang konvensi Rotterdam memang mengharuskan konsensus penuh negara anggota. Artinya, walau hanya tertinggal satu negara pun yang berlawan sikap dengan negara lainnya, pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan. Uniknya untuk konvensi Rotterdam ini tidak satupun negara yang berupaya mengajukan perubahan mekanisme.

Dalam triple COP (Bassel, Rotterdam dan Stockholm) yang berlangsung 29 April -10 Mei sebenarnya ada satu sejarah baru. Untuk pertama kalinya pengambilan keputusan dalam sidang dilakukan dengan mekanisme voting terhadap isu mekanisme komplain. Walaupun ada sejumlah catatan yang diberikan oleh negara yang menolak mekanisme voting dan isu yang dibahas, namun sidang memutuskan bulat terkait mekanisme komplain negara anggota konvensi.

Sayangnya terhadap isu daftar material yang diusulkan untuk masuk dalam PIC list, mekanisme yang sama tidak dapat diberlakukan. Bahkan Swiss yang dalam pembahasan mekanisme komplain begitu kuat melobi dan berargumentasi pun tidak bersuara untuk mengubah mekanisme konsensus terhadap daftar material yang perlu PIC.  Walhasil, krisotil masih tetap menjadi material yang tidak memerlukan PIC dan tidak dikenakan aturan mekanisme komplain terhadap negara-negara yang mentransaksikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun