Mohon tunggu...
Madjid Lintang
Madjid Lintang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa yang masih terus belajar.

Di hadapan Tuhan aku hanya sebutir debu yang tak berarti. Pembelajar yg tak henti belajar, dan seorang hamba Tuhan yang penuh dosa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pejabat Menguras, Aparat Memeras, Rakyat Tertindas

13 Desember 2011   22:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:20 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan salah zaman jika dari "rahim"-nya lahir anak-anak yang saling memangsa. Bukan pula salah Ibu Pertiwi jika "melahirkan" anak-anak beringas dan buas, karena tugas Ibu Pertiwi hanya "melahirkan", begitu juga dengan zaman.

Anak-anak itu sendiri yang salah menempa diri. Sekarang, zaman telah melahirkan manusia-manusia beringas, ganas, dan buas. Para pemuda yang berseragam organisasi lebih ganas dari singa lapar, demi membela pemilik lahan mereka tega menganiaya wartawan dan polisi yang sedang bertugas.

Mahasiswa pun ganas "memakan" sesama. Sepanjang tahun sejak reformasi para mahasiswa saling serang, menganiaya, dan merusak aset kampus danproferti. Mereka tak segan saling melukai. Mahasiswa seakan kehilangan agenda dan sasaran setelah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

Para pelajar pun demikian, tak kalah beringasnya. Pelajar menyerang pelajar, bahkan ada sekelompok pelajar menyerang dan menganiaya wartawan.

Mungkin benar kata peramal Ronggowarsito dalam ramalan Joyoboyo. Ini zaman edan. Siapa tidak ikut edan tidak kebagian. Tapi sebaik-baik orang edan, masih lebih baik dan mulia orang yang ingat dan waspada.

Zaman Edan melahirkan generasi gila. Generasi ganas dan beringas. Buas memangsa sesama. Para koruptor menghisap darah dan keringat rakyat melalui perbuatan korupsinya. Mereka punya andil besar memiskinkan negeri ini.

Penjahat kecil meraup yang kecil, penjahat besar memangsa yang besar. Rakyat kecil terjepit, mencari nafkah sulit, membayar biaya sekolah anak tak punya duit. Hidup serba sulit semakin lama semakin menghimpit.

Para elit negeri sibuk dengan program persiapan pemenangan pemilu. Mereka sibuk menyusun kekuatan dan dukungan politik. Bersiap menghimpun kawan dan menumbangkan lawan.

Nasib rakyat makin tidak terpikirkan. Kesehatan dan pendidikan rakyat kian terpinggirkan. Jeritan rakyat tak lebih hanya sebuah teriakan di ruang hampa tanpa gema.

Aparat keamanan pun semakin beringas dan ganas memeras rakyat. Mengancam, memukul dan menganiaya seakan menjadi hal biasa. Hukum seakan palu tanpa alas. Tak punya kekuatan terhadap yang kuat, tapi sangat keras terhadap rakyat kecil dan lemah.

Negeri ini jadi panggung sandiwara. Pemainnya adalah para elit. Honor "main" mereka dibayar rakyat melalui urang pajak, retribusi dan pungutan lain baik yang resmi maupun tidak resmi, atau mereka mengambil sendiri dari pundi-pundi negara.

Indonesia sekarang seakan tak bertuan. Hukum seakan berada di awang-awang, mengambang tanpa kekuatan. Pelaksana hukum ikut mengeruk untung dari setiap episode sandiwara yang dipertontonkan.

Rakyat adalah para penonton yang terbawa arus cerita sandiwara. Mereka hanya bisa ikut mendesah ketika adegan mempertontonkan kesedihan, ikut terbakar ketika adegan penuh amarah. Rakyat tak sadar tengah dipermainkan. Ada yang sadar tapi tak kuasa berbuat apa-apa.

Pejabat di tingkat elit adalah maling besar, pejabat di bawah menjadi maling kecil. Kalau tidak bisa menjadi penguras mereka menjadi pemeras, keringat dan darah rakyat yang terkuras.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun