Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ulasan Film "Call Me by Your Name" dalam Perspektif Seorang Partikularis

4 Januari 2018   20:16 Diperbarui: 5 Januari 2018   19:02 5274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: texasartfilm.net

"Zwischen Immer und Nie. Between always and never"

Frasa ini dinukil dari puisi karya Paul Celan, penyair terkenal pasca Perang Dunia II. Penggambarannya akan konflik perasaan digunakan penulis buku "Call Me By Your Name" untuk kepentingan karakter utamanya, Elio.

Sepuluh tahun sesudah novel itu rilis, kisah karangan Andre Aciman telah sukses tertranskrip ke dalam seni sinematografi oleh Luca Guadagnino; yang diperankan aktor muda, Timothee Chalamet (Elio) serta Armie Hammer sebagai Oliver dalam judul yang sama.

Film ini sebenarnya sudah beredar di layar-layar festival internasional pada awal tahun 2017, namun mulai memasuki layar bioskop di kisaran bulan November; itu pun terbatas. Entah kenapa? Meski begitu, "Call Me By Your Name" masuk ke jajaran 20 box office Amerika di minggu terakhir Desember 2017, dengan meraup total pendapatan 4 juta U.S Dollar.

Sinopsis

Kisah bermula saat Oliver menjadi tamu musim panas keluarga Pearlman di sebuah kota kecil di utara Italia. Kedatangan pemuda 24 tahun itu merupakan bagian undangan magang profesor Pearlman (Michael Stuhlbarg), dan sekaligus untuk melengkapi penelitian program doktoralnya.

Sekalinya bertemu, Elio menyaksikan sikap Oliver yang serupa koboi. Tampak arogan; tak sungkan mendeklarasikan identitasnya sebagai seorang Yahudi; dan seolah acuh tak acuh itu menggubris benak anak semata wayang keluarga Pearlman. "Lihat saja, itu caranya ia berpisah kepada kita kala waktunya tiba dengan seraya berkata, 'Later' (nanti)!" hasut Elio di tengah acara makan malam yang tak dihadiri Oliver.

Penolakan bisa jadi bentuk lain dari hipokrit. Hanya saja, Elio tidak langsung memahami. Ia menyadari bahwa sesuatu berbeda terjadi di dalam dirinya: ia merasakan kontradiksi antara membenci dengan memuja seorang Oliver. Terpuruk; pemuda 17 tahun itu pun terjebak dengan rasa cinta kepada La Muvi Star, demikian sebutan lain ibunya untuk tamu mereka.

"Untuk sementara, kita harus betah bersamanya sepanjang enam minggu lamanya," Annella Pearlman (Amira Casar) memberikan pengertian. Enam minggu bukanlah waktu yang lama, bukan juga waktu yang dapat disimpan selamanya. Elio Pearlman hanya mampu berharap dan berspekulasi di kesempatan yang singkat itu untuk selalu bersama sang Americano. Musim panas tahun 1983 kala itu menjadi momen pendewasaan diri Elio dan Oliver.

Resume

"Call Me By Your Name" memvisualisasi diri dengan penuh perasaan, sehingga tak ada karakter antagonis di dalam film ini kecuali perasaan itu sendiri. Di dalamnya juga mengekspos kulit tubuh manusia, gairah masa muda, dan unsur-unsur yang sedemikian sensual ala musim panas Italia.

Hingga-hingga, Armie Hammer merasa harus berbicara secara personal dengan Luca Guadagnino sebelum ia menyetujui ikut berperan sebagai Oliver. Armie mengaku sempat khawatir akan berakting vulgar menampilkan alat kelaminnya di depan kamera, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan anak-anaknya kelak ketika dewasa.

Kemahiran Luca selaku sutradara pun terbukti. Jalannya cerita dibuat bukan untuk mengeksploitasi fantasi seksual penonton, meski dibuat dengan konsep sejati sineas Eropa yang terkenal liberal.

Film ini cukup menguras rasa putus asa, kesendirian, dan kehilangan. Elio yang kesehariannya hidup dalam tradisi Jewish in discretion kehilangan arah dalam hal romansa. Eksplorasi ketertarikannya terhadap tubuh Marzia (Esther Garrel) hilang berganti atas kesadarannya untuk memiliki Oliver secara utuh.

Beberapa karakter, latar dan kejadian di dalam novel memang tidak sepenuhnya teradaptasi di film ini. Namun Luca mentranskripsinya dalam nuansa yang persis sama, seperti terlihat di salah satu scene"play that again".

Di dalam adegan itu, Elio memamerkan kemampuannya memainkan instrumen musik di hadapan Oliver. Ia yang terdidik dalam lingkaran terpelajar mampu mentranskripsi notasi Bach yang didedikasikan untuk sang adik lelaki kesayangan ke dalam versi Litz maupun Buzzone.

Maka, terdengarlah dinamika piano yang berbeda di tiap versinya. Kemudian saya sadari bahwa apa yang dimainkan Elio di hadapan Oliver adalah sebuah rayuan gombal alih-alih sekadar pamer. Seperti itulah nuansa sinematik "Call Me By Your Name" versi Luca Guadagnino.

Melalui scene "play that again", kemampuan akting Timothee juga mendapat apresiasi dari para kritikus film. Keahliannya memainkan piano dilakukan secara real. Adegan sepanjang 1 menit 55 detik itu pun hanya diambil dalam sekali take. 

Sedikit sekali saya menemui adaptasi film seapik ini. Saya sepenuhnya menyukai ramuan "Call Me By Your Name" ini ke dalam film. Saya juga terpesona dengan kemampuan akting Timothee Chalamet sebagai Elio. Begitu pun, saya menghargai universalitas pesan di dalamnya, meski saya penganut hukum partikularisme sebagaimana negara saya anut.

Penutup

Pada bagian monolog yang terkenal itu, profesor Pearlman mengawali pesannya untuk membesarkan hati anaknya "nature has cunning ways to finding our weakest spot." Pesan ini merangkum peran alam dalam kontribusinya mendatangkan cobaan pada manusia. 

Cobaan tidak saja datang dalam bentuk kerusakan alam itu sendiri, tetapi juga dalam bentuk kerasukan jiwa sehingga memberikan tantangan kepada manusia lainnya.

Di detik berikutnya, Profesor Pearlman mengaku ia hampir mengalami apa yang terjadi antara hubungan anaknya dengan Oliver. Namun apa yang dialami sang ayah tidak sejauh apa yang dibayangkan. "Something always help me back," yang menegaskan bahwa menjadi homoseksual adalah sebuah pilihan, dan bukan hadir dari lahir.

Memang, semangat dari kutipan monolog di atas merefleksikan pendapat tentang alamiah homoseksualitas. Namun kata-kata tak melulu membeku pada terjemahan suatu perspektif tertentu, terlebih lagi dalam dunia literasi. 

Penikmatnya dapat mengambil kutipan monolog itu sebagai sebuah inspirasi. Dan bagaikan sumber mata air, penikmatnya dapat membawa air itu ke arus mana saja yang diinginkan. Maka dari itu, arus pemikiran akan tetap mengalir dari penjurunya masing-masing dan memberikan kehidupan serta gejolak bagi tiap-tiap manusia; tergantung di mana mereka tinggal dan di waktu kapan mereka berada.

Berikut trailer film "Call Me By Your Name",

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun