Belakangan ini, isu childfree --- keputusan sadar untuk tidak memiliki anak --- menjadi semakin banyak diperbincangkan, terutama di kalangan anak muda Indonesia. Melalui media sosial, forum diskusi, hingga pemberitaan nasional, semakin banyak generasi muda yang secara terbuka menyatakan pilihan mereka untuk tidak memiliki keturunan. Fenomena ini memunculkan berbagai respons, mulai dari dukungan atas hak menentukan hidup sendiri, hingga kritik atas anggapan bertentangan dengan nilai budaya dan agama.
Pada dasarnya, keputusan untuk childfree adalah bentuk dari otonomi personal. Setiap individu memiliki hak untuk memilih jalan hidup yang mereka anggap paling sesuai dengan nilai, cita-cita, dan kondisi pribadinya. Banyak anak muda yang mempertimbangkan faktor-faktor rasional sebelum mengambil keputusan ini, seperti kekhawatiran atas kestabilan ekonomi, ketidakpastian masa depan, perubahan iklim, biaya pendidikan yang tinggi, hingga kesadaran akan tanggung jawab besar dalam membesarkan anak.
Namun, di sisi lain, meningkatnya tren childfree juga bisa dilihat sebagai refleksi dari krisis sosial yang lebih luas. Kondisi ekonomi yang semakin sulit, minimnya jaminan sosial, ketidakstabilan politik, tekanan hidup yang tinggi, hingga ketidakpercayaan terhadap masa depan menjadi latar belakang yang mendorong generasi muda untuk mempertanyakan nilai-nilai tradisional, termasuk soal berkeluarga dan memiliki keturunan.
Di banyak negara maju, tren childfree sudah lebih dulu berkembang seiring modernisasi. Indonesia, sebagai negara yang masih sangat menjunjung tinggi nilai keluarga, baru belakangan ini mulai melihat pergeseran ini secara nyata. Ini mengindikasikan adanya perubahan nilai di masyarakat: dari fokus pada keberlangsungan keturunan, menuju fokus pada kesejahteraan pribadi dan kualitas hidup.
Fenomena ini tentu membawa tantangan baru. Dalam jangka panjang, jika tren ini terus meningkat tanpa diimbangi kebijakan sosial yang adaptif, bisa berdampak pada struktur demografi negara --- misalnya, populasi menua lebih cepat, tenaga kerja produktif berkurang, hingga ketidakseimbangan beban ekonomi antar generasi.
Namun, menyikapi pilihan childfree tidak bisa hanya dengan label moral atau sosial semata. Yang lebih penting adalah memahami konteks di balik pilihan tersebut: bagaimana kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan psikologi individu berperan. Daripada menghakimi, masyarakat perlu membuka ruang dialog yang lebih inklusif, agar setiap pilihan hidup --- memiliki anak atau tidak --- dihargai dan didukung dengan adil.
Pada akhirnya, keputusan untuk childfree tetaplah keputusan personal, namun fenomena meluasnya pilihan ini menyuarakan kegelisahan kolektif atas tantangan zaman. Ini menjadi pengingat bahwa untuk membangun masa depan yang berkelanjutan, bukan hanya soal mendorong lahirnya generasi baru, tapi juga menciptakan dunia yang layak untuk mereka tumbuh dan berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI