Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Di Mana Kamu Merasa Paling di "Rumah", Ulfie?

27 November 2018   10:44 Diperbarui: 27 November 2018   20:51 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Tanggal 26 November kemarin adalah hari pertama rangkaian acara Enambelas Film Festival yang diadakan untuk ikut berpartisipasi bersama dunia merayakan 16 hari tanpa kekerasan. Saya sudah menunggu-nunggu festival film ini sejak bulan lalu berharap saya bisa berpartisipasi sebanyak-banyaknya.

Saya mengawalinya pertama-tama dengan menonton rangkaian 3 film pendek di Institut Francais d'Indonesie di wilayah Thamrin. Ketiga film pendek ini sangat berkesan bagi saya tapi saya hanya akan mengulas 1 saja yaitu film garapan sutradara Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer berjudul Ulfie Pulang Kampung.

Adegan pembukaan film ini menggambarkan Ulfie, seorang transpuan, menyanyi di atas panggung. Setelah lagunya selesai, Ulfie tiba-tiba berpidato singkat di depan penonton yang hadir, menceritakan pengalamannya sebagai ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Adegan awal ini saja sudah membuat hati saya berteriak "Ulfie! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bercerita begitu kepada orang banyak? Orang akan menstigma kamu!"

Selama 30 menit durasi film ini, perasaan saya diaduk-aduk. Film ini terasa pendek dan sederhana tetapi begitu sarat akan makna, begitu banyak isu yang dimunculkan seakan dengan tidak sengaja. Saya bahkan tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.

Ulfie berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Zulfikar. Ia terlahir sebagai laki-laki tetapi tidak pernah merasa laki-laki. Ia merantau ke Jakarta, awalnya menjadi make up artist, lalu berhasil membuka salon sendiri. Setelah sekian lama, uang berhasil dikumpulkan, sekarang Ulfie ingin pulang kampung menemui keluarganya di Aceh.

Seperti kita semua ketahui, Aceh menerapkan hukum syariat Islam, yang antara lain menganggap transgender adalah sebagai dosa. Seharusnya sulit bagi Ulfie untuk kembali ke sana, membayangkan bagaimana penerimaan keluarga dan masyarakat terhadapnya. Tetapi dengan berani ia tetap berangkat.

Ia kunjungi keluarganya satu per satu. Syukurnya sebagian besar menerima, tetapi ada juga yang berharap Ulfie kembali berperilaku layaknya laki-laki. Ulfie tentu tidak bisa menyenangkan semua orang, meskipun dia sudah berusaha maksimal. 

Setiap hasil jerih payahnya di Jakarta selalu dia sisihkan untuk keluarganya, ia bahkan membelikan telepon genggam untuk salah satu abangnya agar mudah dihubungi, ia mencatat semua nomor rekening saudaranya agar ia bisa mengirim uang. 

Soal pengiriman uang tidak ada yang protes, tetapi soal identitas gender Ulfie ada saja yang protes. Ulfie bahkan tetap dipanggil dengan panggilan laki-lakinya oleh keluarganya. 

Ulfie juga berniat mengunjungi makam ayahnya di atas bukit, sayang akses ke bukit terputus akibat adanya longsor yang entah sejak kapan. Ulfie akhirnya hanya mendoakan ayahnya di tepian longsor. Bila Ulfie saja tidak bisa melewati bukit, pikirkan bagaimana petugas kesehatan bisa mengunjungi warga?

Padahal peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan bagi masyarakat khususnya di daerah terpencil. Ulfie sendiri membuktikan, betapa terisolasinya warga transgender di kampung-kampung Aceh, mereka tidak mendapatkan edukasi dan pendampingan yang intensif mengenai kesehatan seksual. Begitu banyak sahabat Ulfie meninggal karena HIV AIDS, entah tercatat atau tidak, karena mereka tidak tahu bahwa HIV bisa dicegah penularannya hanya dengan menggunakan kondom. 

Padahal daerah sekecil Takengon, Aceh Tengah, tempat banyak sahabat Ulfie tinggal, seharusnya bisa dicover oleh paling tidak 1 petugas kesehatan saja, yang khusus memberikan edukasi dengan kesehatan seksual secara terus-menerus.

Ulfie bahkan mengunjungi salah satu instansi pemerintahan terkait ketika ia di Banda Aceh untuk menanyakan mana peran pemerintah dalam menolong warganya. Seperti biasa, Ulfie seperti bicara dengan tembok, perwakilan dari instansi tersebut mati-matian yakin bahwa ada seorang petugas yang sudah rutin memberikan edukasi di Takengon dan selalu memberikan laporan yang baik. Padahal selama Ulfie berada di Takengon, nama orang itu bahkan tidak pernah disebut.

Tetapi permasalahan bukan hanya berasal dari pihak pemerintah saja, karena seandainya pemerintah tidak mau membantu, sudah ada LSM dan yayasan yang bersedia membantu. Tetapi dari masyarakatnya sendiri, khususnya yang transgender yang selama ini mendapat stigma negatif dari warga sekitarnya, juga enggan untuk memeriksakan diri. Privasi menjadi alasan utama. Warga transgender merasa selalu berada di bawah sorotan, bila mereka memeriksakan diri, mereka khawatir akan meresahkan masyarakat karena petugas yang memeriksa adalah kerabat atau kenalan mereka yang juga dikenal oleh keluarga dan sahabat merea yang lain. Mereka sudah cukup harus menahan malu, rasanya sulit kalau harus ditambah 1 beban lagi.

 Sendirian Ulfie berusaha mengatasi masalah ini. Ia menghubungi semua sahabatnya di Takengon satu per satu, mengajak mereka untuk pergi ke Banda Aceh untuk memeriksakan diri, di mana tidak ada yang mengenal mereka. 

Sayangnya tetap tidak ada yang menanggapi. Stigma yang terlalu negatif dari membuat mereka terlalu takut untuk mengetahui apakah mereka sudah terinfeksi HIV atau belum. Betapa sayang! Jika sudah begini, dosa siapa?

Ulfie akhirnya memboyong ibunya ke Jakarta agar bisa hidup lebih nyaman di rumahnya. Selama ibunya di rumahnya, Ulfie berusaha berpakaian semaskulin mungkin untuk menjaga perasaan ibunya. Ia menyayangi ibunya, tetapi ia juga ingin menjadi diri sendiri. Betapa sedihnya ketika diri kita yang sesungguhnya justru menyakiti hati orang yang kita sayangi. Siapa yang akan kita pilih untuk kita khianati? Diri kita atau orang yang kita sayangi? Pilihan yang sulit.

Belum berhenti sampai di situ, Ulfie juga masih berperang dalam dilemma, mengenai kondisi kesehatannya. Ia tidak ingin ibunya mengetahui kondisinya. Tetapi dengan semakin aktifnya Ulfie dalam kampanye HIV, bagaimana selamanya ia mau menutupi hal ini dari ibunya?

Aduh, pikiran saya pun jadi sesak ketika harus memikir beratnya kehidupan Ulfie. Saya hanya berharap saya tidak menjadi salah satu orang yang ikut-ikutan menambah beban hidup Ulfie dan teman-temannya.  

 ***

Bagi para Kompasianer yang tertarik untuk mengikuti rangkaian acara Enambelas Film Festival dapat follow instagram @enambelasffest untuk melihat jadwal acara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun