Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Helen Keller dari Indonesia

26 Mei 2018   13:58 Diperbarui: 26 Mei 2018   14:55 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 23 Mei 2018 lalu saya mengunjungi Yayasan Helen Keller Indonesia (HKI) di Yogyakarta. Berkat kemudahan menggalang dana dan berdonasi via platform kitabisa.com saya berhasil mengumpulkan dana hampir 10 juta untuk membantu meringankan kebutuhan operasional dari Yayasan HKI.

Yayasan HKI membawahi sebuah SLB G/A-B berasrama, artinya Sekolah Luar Biasa untuk tuna ganda (G) dengan keutamaan tuna netra (A) atau tuna rungu (B). Tuna ganda atau tuna multipel artinya mereka memiliki dua disabilitas atau lebih. Utamanya tuna rungu atau tuna netra atau minimal low vision ditambah dengan disabilitas lainnya seperti autisme atau cerebral palsy atau kelainan organ lainnya.

Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak didik di sana lahir terlalu premature sehingga banyak organnya yang belum terbentuk sempurna termasuk mata dan telinga atau lahir dari ibu yang menderita TORCH (Toxoplasmosis, Other Infection, Rubella, Citomegalovirus dan Herpes Infection) selama kehamilan sehingga bila janin tidak meninggal, kemungkinan besar akan lahir dengan cacat bawaan multiorgan.

Berawal dari melihat kenyataan banyaknya SLB yang kesulitan menerima anak tuna multipel, didirikanlah yayasan ini dengan mengambil nama seorang tokoh teladan bagi warga tuna multipel di seluruh dunia yaitu Helen Keller.

Pemilihan nama inilah yang menurut saya kurang tepat dan membawa dampak yang cukup merepotkan. Secara administratif, sudah lama ada yayasan internasional yang menggunakan nama sama yaitu Helen Keller International yang didirikan sendiri oleh sang legenda pada tahun 1915 yang berkomitmen menolong anak-anak dengan gangguan penglihatan dan malnutrisi.

Kesamaan nama ini sering menyulitkan yayasan HKI untuk mendapatkan donasi karena calon donatur sering beranggapan bahwa yayasan ini adalah cabang atau anak yayasan dari Helen Keller International sehingga tentu selalu mendapatkan bantuan internasional. Padahal HKI adalah yayasan swadaya yang tidak terafiliasi dengan Helen Keller International maupun organisasi internasional manapun.

Di luar hal administratif, saya pribadi merasa pemilihan nama Helen Keller terlalu naif. Pendiri yayasan tentu berharap bisa menyerap semangat dan kegigihan Helen Keller bagi anak-anak tuna multipel di Indonesia agar bisa berprestasi juga tetapi let's be honest, anak-anak tuna multipel ini tidak akan bisa berprestasi secemerlang Helen Keller.

Sebelum Anda menghujat pesimisme saya, ijinkan saya memberikan penjelasan atas sikap saya ini.

Bagi Anda yang pernah membaca biografi Helen Keller dan pernah berinteraksi dengan anak tuna multipel, ada pasti menyadari ada satu pembeda penting antara Helen Keller dengan anak-anak ini. Satu faktor yang sangat signifikan yang memungkinkan Helen Keller bisa menjadi seorang Helen Keller sementara anak-anak ini tidak, yaitu: Helen Keller tumbuh dalam lingkungan sosioekonomi kelas menengah atas.  

Ayah Helen adalah seorang tentara dan keluarganya memiliki perkebunan kapas. Ibunya adalah wanita berpendidikan dengan pemikiran terbuka. Sejak Helen menjadi buta dan tuli saat usianya belum genap 2 tahun, kedua orang tuanya berusaha mencari solusi untuk pengobatan dan pendidikan Helen. Saat usia 6 tahun, orang tuanya berangkat dari Tuscumbia, Alabama ke Baltimore, Maryland membawa Helen menemui seorang spesialis THT dr. Julian Chisolm.

Dokter ini kemudian mengarahkan Helen ke Alexander Graham Bell, sang penemu telepon, yang pada saat itu tengah meneliti anak-anak tuna rungu. Bell kemudian mengarahkan Helen pada Michael Anaganos, dekan Perkins Institute for the Blind di Boston, Massachussets. Michael Anaganoslah yang mempertemukan keluarga Keller dengan Anne Sulivan, yang selanjutnya menjadi penentu prestasi Helen Keller dan mendampingi Helen sampai akhir hayatnya.

Helen didampingi dan dididik oleh Sullivan 24jam sehari secara privat dan intensif dengan keleluasaan di rumahnya yang luas. Sullivan mendapat bayaran yang layak dan fasilitas mengajar yang mumpuni. Helen masuk ke sekolah terbaik seperti Horace Mann School for the Deaf, SLB B tertua di Amerika Serikat dan Wright Humason School for the Deaf.

Dia bergaul dengan kaum cendekiawan dan filantropis termasuk penulis kenamaan Mark Twain dan Henry H. Rogers, salah satu pejabat Standard Oil, sehingga ketika keluarga Keller tidak sanggup lagi membayar Sulivan dan biaya pendidikan Helen di Radcliffe College Harvard University, sahabatnya ini segera memberikan beasiswa dan membantu biaya hidup mereka.

Tanpa mengecilkan keterbatasan dan kesulitan Helen Keler, serta terlepas dari kegigihan dan kerja keras duo Keller-Sullivan ini, kita tidak bisa mengesampingkan kenyataan bahwa Helen mendapat kesempatan yang lebih luas, pilihan yang lebih banyak dan akses yang lebih mudah berkat lingkungan yang lebih baik.

Bagaimana bila Helen berasal dari keluarga miskin? Apakah orang tuanya akan mampu mengantar dia dari Alabama ke Baltimore yang jaraknya lebih dari 1200km untuk menemui dokter spesialis? Apakah mereka mampu membayar guru privat untuk Helen?

Bagaimana bila orang tua Helen, seperti anak-anak di Yayasan HKI hanya petani biasa, hanya kerja serabutan, yang bahkan tidak memiliki uang dan akses untuk melakukan perawatan antenatal yang terjadwal, yang menyebabkan anak-anak ini lahir dengan kondisi demikian? Syukur bila masih bisa diketahui orang tuanya, bagaimana bila Helen seperti anak-anak ini, bahkan tidak bisa dihubungi lagi orang tuanya, dibuang begitu saja di panti?

Seumur hidup, anak-anak tuna multipel tidak akan bisa mandiri, mereka butuh pendamping sampai akhir hayatnya. Bahkan seorang Helen Keller pun tetap tinggal bersama Sulivan sampai Sulivan menikah, sampai Sulivan berpisah dari suaminya, sampai Sulivan meninggal. Setelah itu Helen didampingi oleh sekretarisnya, Polly Thompson sampai ia meninggal tahun 1968.

Di tengah ketidakberuntungannya, Helen Keller sebenarnya sangat beruntung. Tidak banyak orang sekualitas Anne Sullivan, tidak juga banyak orang yang mau mengabdikan seluruh hidupnya mendampingi satu anak tuna multipel, tidak tentu dalam sejuta pertemuan seseorang seperti Helen bisa bertemu seseorang miracle worker seperti Anne Sullivan. Bila demikian dengan Helen Keller, bagaimana dengan anak-anak ini?

Kisah hidup Helen Keller seringkali dielu-elukan dan dijadikan pemacu semangat bagi warga tuna multipel padahal cerita itu hanyalah fatamorgana belaka, karena bila kita yang ditanya, maukah kita menjadi Anne Sullivan bagi mereka? Maukah kita minimal mencarikan dan membiayai 1 pendamping untuk 1 anak? Maukah kita menyediakan lingkungan yang terbuka dan memberdayakan bagi mereka agar mereka bisa belajar, bereksplorasi dan berkarya maksimal? Mungkin jawaban kita masih ngeles aja kayak bajaj.


  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun