Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Alasan Mengapa Saya Berhenti Jadi Dokter UGD

19 Desember 2017   09:57 Diperbarui: 24 Oktober 2018   10:52 21770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak sanggup. Itulah jawaban singkat saya. Saya tidak mau lagi jadi dokter UGD karena saya tidak sanggup. Untuk menjadi dokter UGD dibutuhkan kecepatan berpikir, ketepatan bertindak, ketenangan dalam menjelaskan situasi pasien kepada keluarga, kemampuan berempati bila ada pasien yang meninggal dalam perawatan, selanjutnya kembali lagi pada kecepatan berpikiran dan ketepatan bertindak untuk menghadapi pasien selanjutnya dengan kasus yang berbeda.

Begitu seterusnya sampai shift jaga berakhir. Menjadi dokter UGD membutuhkan fisik yang kuat dan mental baja. Pasien datang tidak akan menunggu kita selesai makan, juga tidak peduli bila kita sedang mules menahan BAB.

Menjadi dokter UGD seakan-akan kita harus mempunyai tombol dalam diri kita. Satu tombol membuat kita harus tegas dan agresif dalam menghadapi situasi darurat. Segera menentukan langkah-langkah terapi. Satu tombol membuat kita harus bersikap lembut dan mampu berempati pada keluarga pasien.

Enam tahun saya berpraktek sebagai dokter, sebagian besar adalah sebagai dokter UGD. Selama 6 tahun tersebut saya bekerja di 3 UGD yang berbeda (1 UGD RSUD, 1 UGD RS swasta dan 1 UGD klinik di area perusahaan). 

Masing-masing UGD memiliki kondisi yang berbeda. Ada yang memiliki fasilitas memadai dan ada yang fasilitasnya hanya cukupan. Tetapi situasi kerja di ketiganya sama. Biasanya saat jaga UGD digabung dengan jaga bangsal juga. Satu dokter untuk meng-cover semua pasien gawat darurat dan sekian banyak pasien rawat inap.

Saya selalu merenungkan apa yang saya lakukan setiap kali saya selesai kontrak di suatu tempat. Saya mengambil kesimpulan, saya rasa saya tidak cocok untuk pekerjaan ini. Menjadi dokter UGD merupakan tugas yang terlalu berat bagi saya, terlalu hardcore. Saya kesulitan mengatur perasaan saya bila ada pasien yang meninggal dalam perawatan saya. 

Saya sering kehilangan ketegasan saat saya harus berhadapan dengan keluarga pasien yang menjadi emosi karena menganggap pelayanan di UGD tidak maksimal. Saya kesulitan tampil normal kembali untuk menghadapi pasien berikutnya setelah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Situasi di UGD bisa jadi sangat chaotic dan tidak terkontrol, menguras energi dan terkadang membuat saya ingin ikut terkapar lemas di samping pasien. 

Tengah malam, pasien datang dalam kondisi tidak sadar, tidak responsif diantar oleh sekian banyak keluarganya. Sambil melakukan pertolongan pertama, menjaga jalan nafas pasien tetap terbuka, pasien tetap bernafas dengan lancar dan mengatur kondisi cairan tubuh pasien, saya berusaha menggali riwayat kesehatan pasien, berusaha mencari tahu penyebab tidak sadarnya pasien. 

Masing-masing keluarga yang mengantar memberikan informasi yang berbeda-beda. Saya ambil intisarinya. Setelah saya mendapat gambaran tentang riwayat kesehatan pasien saya melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengonfirmasi informasi yang saya dapatkan. Sambil saya memeriksa, pasien henti nafas. Saya segera melakukan resusitasi terhadap pasien. Keluarga yang datang semakin banyak, memenuhi ruang UGD.

Sebagian sudah histeris mengelilingi pasien, sebagian berusaha menghalangi saya melakukan resusitasi karena mengira saya menyakiti pasien, perawat dan security berusaha menghalau keluarga pasien keluar agar saya bisa leluasa bekerja. Saya lakukan resusitasi 20 menit sesuai protap tetapi pasien tidak bisa diselamatkan. Saya menyampaikan berita sedih ini kepada keluarga. Seketika itu juga jerit tangis pecah di seluruh UGD. 

Saya tidak sempat berbelasungkawa dengan keluarga pasien karena sudah ada pasien kecelakaan yang datang.Pasien luka-luka di sekujur tubuhnya dengan kecurigaan patah tulang paha kirinya. 

Setelah luka dibersihkan, saya menilai luka-lukanya hanya superficial,tidak perlu dijahit, tetapi kecurigaan saya tentang tulang pahanya harus dikonfirmasi. Saya sarankan pasien foto rontgen. Tiba-tiba lampu mati, keluarga gelisah menunggu genset dinyalakan. Setelah genset nyala, pasien difoto rontgen. Kecurigaan saya benar, tulang paha kiri pasien patah.

Saya sarankan pasien dirujuk ke spesialis orthopedi untuk penanganan lebih lanjut. Pasien dan keluarga menolak, mereka mau ke Sangkal Putung yang katanya terkenal di kampung mereka. 

Saya jelaskan risiko yang bisa terjadi bila pasien kondisi patah tulang tidak dirawat dengan benar. Pasien dan keluarga tetap kukuh dengan pendiriannya. Maka setelah menandatangani surat pernyataan menolak melanjutkan perawatan sesuai saran dokter, pasien saya ijinkan pulang. 

Saya baru mau pergi ambil minum, seorang ibu datang menggendong anaknya sambil menangis-nangis. Ia berteriak minta tolong sambil diikuti oleh beberapa keluarganya. 

Anaknya demam tinggi 3 hari dan barusan saja kejang di rumah. Saat tiba di klinik, pasien sudah tidak kejang. Saya sarankan pasien dirawat inap untuk observasi lebih lanjut. Keluarga setuju, saya berikan terapi sesuai protap, termasuk pemasangan infus. Tiba-tiba pasien kejang lagi, saya segera memberikan diazepam lewat anus lalu menunggu kejangnya reda. Keluarga pasien marah-marah, mengatakan pasien kejang karena obat yang baru saja diberikan.

Keluarga merasa pelayanan di UGD tidak memuaskan dan menuntut pasien dirujuk ke RS yang lebih besar. Saya terpaksa menyetujui. Saya siapkan rujukan sesuai prosedur. Saya membuat surat rujukan, menelepon ke RS tujuan melaporkan akan merujuk, menyiapkan ambulans dan petugas medis yang akan mengantar. Selama proses tersebut, keluarga pasien terus mendesak agar rujukan dilakukan dengan segera.

Akhirnya semua persiapan selesai. Pasien bisa berangkat dirujuk. Saya bisa minum, terdengar suara adzan subuh. Perawat di bangsal melapor pasien di Ruang Aster ada yang mengeluh sesak. 

Itu hanya salah satu pengalaman saya sebagai dokter UGD. Tidak selalu seperti itu, sih. Tetapi cukup sering terjadi! Saya yakin ini belum apa-apa dibandingkan dengan pengalaman sejawat-sejawat saya di RS yang lebih besar di kota besar dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan kasus yang lebih kompleks. 

Saya pribadi sering sulit menghilangkan pikiran tentang pasien yang baru saja meninggal. Saya memikirkan apakah benar pasien meninggal karena perbuatan saya seperti yang dituduhkan oleh keluarga pasien. 

Saya jadi sering merasa lelah berkepanjangan padahal pagi harinya saya harus memeriksa pasien di bangsal atau melayani pasien di poliklinik. Saya yakin jika saya menemui pasien dengan wajah yang kelihatan lelah atau kurang senyum, pasien pasti merasa tidak nyaman.

Maka setelah melalui banyak perenungan, saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja di UGD dan sekitarnya. Saat ini saya bekerja di salah satu klinik kecantikan. Pasien klinik kecantikan datang dengan tenang dan rileks, tidak dengan kondisi gawat darurat, tidak juga diantar oleh keluarga yang sudah dalam kondisi panik dan agitasi. 

Saya tahu selama saya masih berpraktik sebagai dokter, saya tidak akan bisa menghindar dari situasi darurat. Bahkan, di klinik kecantikan ada hal-hal darurat yang harus diwaspadai, tetapi paling tidak saya berusaha mengurangi kemungkinan tersebut.

Sampai saat ini saja saya masih trauma dimaki-maki pasien batuk pilek karena beliau merasa saya tidak memeriksa dengan benar, hanya karena saya tidak menyarankan beliau untuk foto rontgen!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun