Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Alasan Mengapa Saya Berhenti Jadi Dokter UGD

19 Desember 2017   09:57 Diperbarui: 24 Oktober 2018   10:52 21800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah luka dibersihkan, saya menilai luka-lukanya hanya superficial,tidak perlu dijahit, tetapi kecurigaan saya tentang tulang pahanya harus dikonfirmasi. Saya sarankan pasien foto rontgen. Tiba-tiba lampu mati, keluarga gelisah menunggu genset dinyalakan. Setelah genset nyala, pasien difoto rontgen. Kecurigaan saya benar, tulang paha kiri pasien patah.

Saya sarankan pasien dirujuk ke spesialis orthopedi untuk penanganan lebih lanjut. Pasien dan keluarga menolak, mereka mau ke Sangkal Putung yang katanya terkenal di kampung mereka. 

Saya jelaskan risiko yang bisa terjadi bila pasien kondisi patah tulang tidak dirawat dengan benar. Pasien dan keluarga tetap kukuh dengan pendiriannya. Maka setelah menandatangani surat pernyataan menolak melanjutkan perawatan sesuai saran dokter, pasien saya ijinkan pulang. 

Saya baru mau pergi ambil minum, seorang ibu datang menggendong anaknya sambil menangis-nangis. Ia berteriak minta tolong sambil diikuti oleh beberapa keluarganya. 

Anaknya demam tinggi 3 hari dan barusan saja kejang di rumah. Saat tiba di klinik, pasien sudah tidak kejang. Saya sarankan pasien dirawat inap untuk observasi lebih lanjut. Keluarga setuju, saya berikan terapi sesuai protap, termasuk pemasangan infus. Tiba-tiba pasien kejang lagi, saya segera memberikan diazepam lewat anus lalu menunggu kejangnya reda. Keluarga pasien marah-marah, mengatakan pasien kejang karena obat yang baru saja diberikan.

Keluarga merasa pelayanan di UGD tidak memuaskan dan menuntut pasien dirujuk ke RS yang lebih besar. Saya terpaksa menyetujui. Saya siapkan rujukan sesuai prosedur. Saya membuat surat rujukan, menelepon ke RS tujuan melaporkan akan merujuk, menyiapkan ambulans dan petugas medis yang akan mengantar. Selama proses tersebut, keluarga pasien terus mendesak agar rujukan dilakukan dengan segera.

Akhirnya semua persiapan selesai. Pasien bisa berangkat dirujuk. Saya bisa minum, terdengar suara adzan subuh. Perawat di bangsal melapor pasien di Ruang Aster ada yang mengeluh sesak. 

Itu hanya salah satu pengalaman saya sebagai dokter UGD. Tidak selalu seperti itu, sih. Tetapi cukup sering terjadi! Saya yakin ini belum apa-apa dibandingkan dengan pengalaman sejawat-sejawat saya di RS yang lebih besar di kota besar dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan kasus yang lebih kompleks. 

Saya pribadi sering sulit menghilangkan pikiran tentang pasien yang baru saja meninggal. Saya memikirkan apakah benar pasien meninggal karena perbuatan saya seperti yang dituduhkan oleh keluarga pasien. 

Saya jadi sering merasa lelah berkepanjangan padahal pagi harinya saya harus memeriksa pasien di bangsal atau melayani pasien di poliklinik. Saya yakin jika saya menemui pasien dengan wajah yang kelihatan lelah atau kurang senyum, pasien pasti merasa tidak nyaman.

Maka setelah melalui banyak perenungan, saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja di UGD dan sekitarnya. Saat ini saya bekerja di salah satu klinik kecantikan. Pasien klinik kecantikan datang dengan tenang dan rileks, tidak dengan kondisi gawat darurat, tidak juga diantar oleh keluarga yang sudah dalam kondisi panik dan agitasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun